Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara
Sejak hilirisasi nikel, ekonomi Maluku Utara tumbuh hampir lima kali lipat rerata nasional. Ironisnya, kemiskinan dan ketimpangan menganga.
Memasuki usia ke-24 tahun, Maluku Utara menorehkan capaian impresif dalam pertumbuhan ekonomi. Berkat pertambangan dan hilirisasi nikel, daerah ini menjadi salah satu provinsi yang meraih pertumbuhan ekonomi dua digit pada 2023. Namun, bagaikan pedang bermata dua, pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari sektor ekstraktif ini juga harus dibayar mahal dengan kemiskinan dan ketimpangan yang dalam.
Badan Pusat Statistik Maluku Utara pada triwulan II-2023 mencatat, pertumbuhan ekonomi daerah yang juga kaya akan rempah-rempah dan ikan ini mencapai 23,89 persen. Hampir lima kali lipat dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan usaha ekstraktif nikel yang berpusat di dua wilayah, yakni Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, menyokong capaian tersebut.
Mineral yang menjadi bahan baku baterai, termasuk bagi kendaraan listrik itu, berpeluang besar masuk ke dalam rantai pasok perdagangan dunia. Perkembangan usaha ekstraktif itu pun seolah tidak terbendung. Tahun ini, pemerintah akan melelang tiga wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) nikel di Maluku Utara, yakni Blok Kaf di Halmahera Tengah, serta Blok Marimoi dan Blok Wailukum di Halmahera Timur dengan luas 5.255 hektar.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga 2022, total investasi yang masuk ke Maluku Utara mencapai 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 150 triliun. Mayoritas investasi masuk ke sektor pertambangan dan pengolahannya.
Menariknya lagi, dalam tiga survei Indeks Kebahagiaan Provinsi yang diadakan oleh BPS periode 2014, 2017, dan 2021, Maluku Utara berada di posisi pertama.
Atas capaian itu, Presiden Joko Widodo sampai memuji Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba. ”Di mana di dunia ini ada provinsi bisa tumbuh sampai 27 persen, hanya di Maluku Utara. Hati-hati Pak Gubernur, hati hati jangan sampai investasi terhambat. Provinsi ini juga masyarakatnya paling bahagia,” kata Presiden dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia pada 2022.
Dalam kenyataannya, capaian Maluku Utara itu dibangun di atas fondasi sektor pertambangan yang cenderung eksklusif. Abdul Gani pun mengakui, ada ketimpangan di balik capaian positif itu.
Baca juga: Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
Dalam Musyawarah Besar Fagogoru kelima di Ternate, Jumat (6/10/2023), Abdul Gani mengatakan, meski jadi provinsi terbahagia dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, masyarakat di dua lokasi konsesi tambang nikel terbesar, yakni Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, masih terjerat kemiskinan. ”Dua kabupaten ini kaya tetapi menyimpan kemiskinan paling besar juga. Siapa yang salah, saya tidak tahu juga,” ujarnya yang disambut tawa hadirin.
Fagogoru merupakan institusi adat yang mempersatukan beberapa kelompok suku di Pulau Halmahera yang berasal dari kawasan Weda, Patani, Maba, dan Gane. Kini, kawasan ini menjadi lokasi tambang beberapa perusahaan nikel raksasa.
Ironi nikel
Sejak hilirisasi, Maluku Utara tidak lagi hanya mengandalkan ekspor nikel mentah. Kehadiran fasilitas pengolahan atau smelter membuat bijih nikel kini bernilai tinggi. Nikel di Maluku Utara sudah dapat diolah menjadi bentuk feronikel dan mixed hydroxide precipitate. Kedua bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan komponen elektrik seperti baterai, turbin, dan lainnya.
Kini, bertambahnya jumlah smelter dengan teknologi terbaru membuat nikel juga telah diolah menjadi nickel matte dan terbaru nickel sulfate. Pengolahan nikel ini banyak dikerjakan di kawasan industri Weda, Halmahera Tengah, serta oleh Harita Nickel di Obi, Halmahera Selatan. Kedua produk turunan ini juga dapat menjadi bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik. Hingga awal 2023, terdapat 18 smelter yang beroperasi di Maluku Utara.
Terdapat dua tipe smelter yang mampu mengolah nikel menjadi dua produk tersebut. Pertama, smelter tipe rotary kiln electric furnace (RKEF) yang beroperasi di kawasan industri Weda, Halmahera Tengah. RKEF menggunakan tungku putar dan tungku listrik untuk mengubah bijih nikel menjadi nickel matte. Lalu, ada smelter tipe high pressure acid leach (HPAL), yang salah satunya dimiliki Harita Group, yang mampu mengolah bijih nikel menjadi nickel sulfate dengan bantuan asam sulfat.
Ekonomi Maluku Utara pun diprediksi terus melesat dengan kehadiran fasilitas HPAL terbaru di Obi, Halmahera Selatan, awal 2023. Fasilitas pengolahan yang dimiliki Harita Group ini diklaim sebagai yang terbesar di dunia.
Meski demikian, tingkat kemiskinan di wilayah lingkar tambang malah mencatatkan angka tertinggi di provinsi. Dua kabupaten dengan puluhan IUP, yakni Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, menjadi dua area dengan tingkat kemiskinan terbesar. Berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen.
Angka tersebut menunjukkan ironi karena produk domestik regional bruto (PDRB) daerah tersebut melonjak tajam sejak hilirisasi. Contoh, tingkat PDRB Halmahera Tengah pada 2020 tercatat Rp 3 triliun. Namun, seiring bertambahnya jumlah smelter, PDRB Halmahera Tengah pada 2022 naik tujuh kali lipat menjadi Rp 21,14 triliun.
Capaian di tingkat provinsi juga tidak lebih baik. Penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2023 tercatat 6,46 persen, naik 0,09 persen poin dibandingkan September 2022 dan naik 0,23 persen poin dibandingkan Maret 2022. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 tercatat 83.800 orang, bertambah 1.660 orang dibandingkan September 2022 dan naik 3.930 orang dibandingkan Maret 2022.
Masalah kemiskinan bukan hanya soal persentase penduduk, melainkan juga seberapa parah dan dalam kemiskinan itu dirasakan. Data BPS 2023 menyebutkan, Indeks Kedalaman Kemiskinan Maluku Utara pada Maret 2023 tercatat 1,083 atau naik dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 0,912. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,199 (Maret 2022) menjadi 0,230 (Maret 2023).
Upaya Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk mengurangi ketimpangan pun tidak sesuai target. Hingga Maret 2023, indeks rasio gini berada di angka 0,3, belum sesuai target tahun ini, 0,289.
Daya beli rendah
Wakil Bupati Halmahera Timur Anjas Taher mengakui, pertumbuhan impresif Maluku Utara belum memberi dampak yang optimal di daerahnya. Tahun lalu, hampir setengah PDRB Halmahera Timur disokong oleh industri pertambangan dan pengolahan. Namun, pertumbuhan bersifat eksklusif ke beberapa kelompok saja, khususnya yang berkaitan dengan pengolahan mineral di kawasan industri Buli.
Konsekuensi utama dari kenaikan industri ekstraktif adalah menurunnya sektor pendapatan warga asli yakni pertanian dan kelautan. Akibatnya, kemiskinan sulit dientaskan. Belum lagi, daya beli warga terus merosot akibat kenaikan harga pascahadirnya industri tambang di Halmahera Timur. Pemerintah menaruh perhatian besar agar permasalahan harga pangan bisa diatasi.
Selain upaya stabilitasi harga, pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menjadi salah satu cara menekan kemiskinan di sana. Ia berharap agar pembangunan Bandara Loleo di Sofifi, Maluku Utara, bisa segera terlaksana. Pemerintah juga berharap mendapatkan porsi saham di perusahaan yang beroperasi di daerahnya agar dapat memiliki anggaran tambahan untuk pengentasan kemiskinan.
Baca juga: Hilirisasi dan Pengembangan Industri
”Harga-harga itu naik tapi daya beli masyarakat di lingkar tambang stagnan. Barang dijual dengan harga mahal karena dianggap akan habis dibeli pekerja di pertambangan. Ketimpangan semakin besar. Kami fokus untuk membuka akses agar pertanian dan kelautan bisa mendukung pangan di pertambangan, tidak impor dari Jawa terus,” ujarnya.
Di Halmahera Tengah, kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi 102 persen tahun lalu juga masih dilanda kemiskinan. Terdapat 47 IUP di sini. Tujuh IUP di antaranya ada di Pulau Gebe dan 40 IUP sisanya di kawasan Weda Tengah, Weda Utara, dan Weda Timur. Di tempat ini pula berdiri kawasan industri pengolahan nikel, PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP).
Potensi perikanan tangkap di daerah ini pun coba didorong. Perairan Halmahera Tengah berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan 715 meliputi Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau.
Namun, masalah kemiskinan bukan hanya soal persentase penduduk, melainkan juga seberapa parah dan dalam kemiskinan itu dirasakan.
Penjabat Bupati Halmahera Tengah Ikram Sangadji mengatakan, pengembangan produksi perikanan di tempat ini bisa menjadi strategi pengentasan kemiskinan mengingat potensi perikanan tangkapnya mencapai 1,2 juta ton per tahun.
”Nelayan tidak produktif karena kapasitas terbatas, ikan pun didatangkan dari Bitung, Sorong, ataupun Jaya. Untuk itu kita bangun pabrik es di Weda, Patani, dan Gebe. Alat penangkapan ikan juga ditambah,” ujarnya.
Kinerja anggaran
Tahun lalu, PDRB Maluku Utara tercatat Rp 70 triliun dan 40 persen di antaranya berasal dari sektor pertambangan dan pengolahan. Angka ini naik sejak akhir 2020. Menggeliatnya sektor ini membuat jumlah dana transfer yang diberikan pusat ke daerah ikut naik.
Kepala Kantor Direktorat Jendral Perbendaharaan Kementerian Keuangan Wilayah Maluku Utara, Tunas Agung Jiwa Brata mengatakan, transfer ke daerah (TKD) pemerintah ke Provinsi Maluku Utara tercatat Rp 11 triliun. Angka ini turun dari TKD tahun lalu sebesar Rp 12 triliun, tetapi secara tahunan sejak hilirisasi bergulir, jumlah ini konsisten naik.
Sayangnya, penggunaan TKD sebagai salah satu sumber APBD habis untuk belanja pegawai sehingga belum berfokus pada belanja modal untuk pelayanan masyarakat.
Pengelolaan APBD Maluku Utara juga masih buruk. Salah satu contohnya terlihat dari serapan anggaran untuk sektor ekonomi yang cenderung turun setiap tahunnya. Hingga Juni 2023, realisasi APBD untuk sektor ekonomi hanya 17,24 persen atau Rp 497 miliar dari total pagu anggaran Rp 2,8 triliun. Realisasi anggaran pendidikan hanya 3,08 persen atau Rp 99 miliar dari total pagu anggaran Rp 3,2 triliun. Selain itu, hingga Oktober 2023, realisasi Dana Alokasi Khusus Fisik untuk mendanai berbagai program prioritas nasional dan daerah baru 53 persen.
Dari sisi pengeluaran, PDRB Maluku Utara triwulan II-2023 mayoritas didorong oleh ekspor turunan nikel sebesar 193 persen. Di sisi lain, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam PDRB terus merosot dari 53,92 persen di tahun 2020, menjadi hanya 31,78 persen di pertengahan tahun 2023. Perlu ada kebijakan pemerintah agar peran konsumsi masyarakat dalam ekonomi tidak terus merosot, agar pertumbuhan benar dinikmati oleh semua.
”Penting bagi daerah untuk mengalokasikan anggarannya untuk ekonomi, perlindungan sosial, dan pendidikan karena ini strategi dasar pengentasan kemiskinan,” ujarnya.
Baca juga: Peluang Mineral Indonesia Bersaing di AS-Eropa Masih Terbuka
Dampak lingkungan
Kehadiran tambang di Maluku Utara membawa berkah bagi sebagian kelompok, tetapi juga petaka bagi kelompok lain. Perubahan corak hidup menjadi awal derita bagi warga yang tidak ikut menikmati ingar bingar hilirisasi. Sekretaris Komisi III DPRD Halmahera Tengah Munadi Kilkoda menjelaskan, berbagai upaya pengembangan yang dilakukan pemerintah mulai dari pertanian hingga kelautan seakan percuma. Hal ini karena lingkungan sebagai tulang punggung akselerasi dua sektor tersebut nyatanya rusak.
Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara ini menyebut, kerusakan alam seperti yang terjadi di Sungai Sagea baru-baru ini menjadi satu dari sekian masalah alam yang terus datang. Pemerintah membantah pencemaran di sungai yang mengalir menuju Goa Boki Maruru karena eksplorasi tambang. Namun, pemerintah telah menyetop sementara aktivitas eksplorasi di sekitar kawasan sungai. Adapun kawasan ini berdekatan dengan beberapa konsesi tambang salah satunya milik PT Weda Bay Nickel. Meski distop, kecurigaan muncul karena Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah juga ikut mencabut status Goa Boki Maruru sebagai Geosite.
Selain kerusakan alam, tekanan manusia juga ikut andil dalam kerusakan lingkungan, serta berpotensi menciptakan konflik sosial. Munadi menyebut, sejak kehadiran tambang nikel, laju pertumbuhan penduduk di Halmahera Tengah meningkat pesat.
Pada 2017, jumlah penduduk Halmahera Tengah sebanyak 50.164 jiwa, tetapi pada 2022 sudah mencapai 59.096 jiwa.
Masyarakat yang dahulu menanam cengkeh, pala, dan kopra, ataupun melaut terpaksa mengubah pekerjaan, seperti mendirikan toko ataupun menjadi sopir akibat semakin rusaknya alam sekitar.
”Dahulu mengelola pertanian dan perikanan jadi cara mereka mempersiapkan masa depan, tetapi sekarang sudah tergantikan dengan pekerjaan di tambang yang sewaktu-waktu bisa berubah. Selama masih ada perusakan lingkungan, keadaan warga lingkar tambang sulit sejahtera,” tuturnya.
Baca juga: Kebijakan IRA Berpotensi Hambat Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia
Peneliti di Center for Indonesian Policy Studies, Krisna Gupta, mengingatkan, penambangan yang tidak ramah lingkungan membuat produk turunan nikel Indonesia sulit menembus pasar global. Meski demikian, pembeli dinilai tetap akan melirik nikel karena kebutuhannya terus meningkat, khususnya dari negara investor utama, China.
Tidak hanya itu, nikel Indonesia juga terancam posisinya dalam percaturan global karena semakin masifnya penelitian teknologi baterai lithium ferro phosphate (LFP), akibat sulitnya mengakses nikel milik Indonesia. Baterai ini disebut tidak membutuhkan nikel sebagai bahan bakunya.
Mendiang Romo Herry Priyono, dosen STF Driyarkara jebolan London School of Economics, pernah menulis, ekonomi pertama-tama haruslah berbicara mengenai kesejahteraan orang miskin dan hampir miskin, bukan soal pasar. Ekonomi perlu diarahkan kepada hal yang menuju pada perbaikan kualitas hidup. ”Terdengar naif memang, tetapi lebih baik terkesan naif daripada kehilangan inti masalah,” tulisnya.
Catatan tersebut kiranya dapat menjadi salah satu refleksi penting bagi Maluku Utara yang menginjak usia 24 tahun pada 12 Oktober 2023.