Peluang Mineral Indonesia Bersaing di AS-Eropa Masih Terbuka
Peluang mineral Indonesia untuk bersaing di pasar Amerika dan Eropa masih terbuka di tengah restriksi yang diberlakukan. Perjanjian level regional dapat dimanfaatkan Indonesia untuk lepas dari impitan aturan tersebut.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu menggiatkan kerja sama tingkat regional, khususnya dengan negara penghasil mineral lain, agar dapat terhindar dari restriksi Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, pembangunan ekosistem kendaraan listrik untuk transisi energi harus dipandang sebagai upaya kolaborasi, bukan kompetisi.
Guru Besar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Mari Elka Pangestu menjelaskan, upaya Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi manufaktur China, khususnya di sektor baterai dan kendaraan listrik, melalui Inflation Reduction Act (IRA) dapat memengaruhi upaya hilirisasi mineral yang dilakukan Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan China. Oleh karena itu, baterai dan kendaraan listrik yang dibuat dari nikel Indonesia tidak dapat bersaing di pasar Amerika.
Perubahan drastis itu bisa mengganggu jaringan rantai pasok global karena adanya perubahan lokasi produksi menuju AS. Meski demikian, kesempatan tetap terbuka mengingat penghasil mineral untuk baterai listrik terkonsentrasi di beberapa negara saja, seperti China, Indonesia, Chile, dan Australia.
”Harus ada kerja sama global karena negara-negara umumnya hanya memiliki cadangan besar dalam satu jenis mineral saja. Apabila ingin membuat baterai listrik, membutuhkan mineral lainnya yang dimiliki negara lain pula,” ujar Menteri Perdagangan 2004-2011 ini dalam diskusi yang diselenggarakan Peterson Institute for International Economics (PIIE), Jumat (28/4/2023).
Indonesia bisa menempuh beberapa cara agar dapat dikecualikan dari larangan dalam aturan IRA. Pertama, bekerja sama dengan negara penghasil nikel lain, seperti Filipina, untuk mendorong mineral dari kedua negara masuk ke kawasan Barat. Cara ini dapat ditempuh lewat Indo Pacific Economic Framework yang diinisiasi Presiden AS Joe Biden tahun lalu.
Cara kedua melalui kerangka Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Kawasan atau Regional Comprehensive Economic Partnerships (RCEP). Melalui RCEP, Indonesia tetap dapat bekerja sama dengan China, lalu mengekspor mineralnya dari negara-negara anggota RCEP, yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS atau Uni Eropa.
Poin penting lain yang disampaikan Mari adalah, untuk membangun industri baterai dan kendaraan listrik di dalam negeri yang kuat, dibutuhkan kerja sama seluas-seluasnya sembari mengurangi hambatan perdagangan. Indonesia membutuhkan ekspor litium dan grafit dari luar negeri agar investor mau mendirikan pabrik baterainya.
”Pemerintah harus membuat industri menjadi menarik, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sulit dicapai kalau industrinya tidak kompetitif,” ujar Mari.
Bukan kompetisi
Upaya menciptakan dunia yang bersih harusnya dilakukan dengan semangat kolaborasi, bukan kompetisi. Senior Fellow PIIE Cullen Hendrix menerangkan, kebijakan pembatasan yang dilakukan AS lewat IRA ataupun Uni Eropa lewat Critical Material Act membuat dunia seakan kembali ke zaman perlombaan antariksa (space race) antara negara adidaya di era Perang Dingin dahulu. Presiden Joe Biden menyebut program ini seperti keberhasilan pendaratan di bulan.
Padahal, menciptakan dunia yang bersih bukan perlombaan, melainkan tujuan bersama setiap negara. Terlebih lagi, teknologi baterai China yang dinilai lebih maju belasan tahun ketimbang produk Amerika dan Eropa membuat kerja sama semakin penting.
AS tetap membutuhkan Indonesia dan negara penghasil mineral penting lainnya karena AS membutuhkan nikel dan kobalt untuk membuat baterai kendaraan listrik. Untuk litium, AS sendiri sudah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Chile yang memiliki litium dalam jumlah yang besar.
”Upaya diversifikasi rantai pasok sebaiknya tidak diarahkan hanya untuk dechinafying, tetapi soal membangun rantai pasok yang berkelanjutan,” ujarnya.
Mantan Komisioner Dagang Uni Eropa (UE) Cecilia Malmstrom menerangkan, negara anggota UE juga melakukan hal yang mirip lewat Critical Raw Material Act. Meski demikian, sulit mengimplementasikannya mengingat jumlah mineral tanah jarang (rare earth) yang ditambang di Eropa sangat sedikit. Untuk itu, kerja sama dengan negara kaya mineral tetap diperlukan.
Sebenarnya Eropa memiliki cadangan rare earth yang relatif besar di Perancis, Portugal, Swedia, dan Finlandia, tetapi lokasinya cukup dalam. Bahkan, perusahaan tambang milik Pemerintah Swedia, Luossavaara Kiirunavaara Aktiebolag (LKAB), Januari lalu mengumumkan pihaknya menemukan satu juta ton mineral tanah jarang di daerah Kiruna, utara Swedia.
”Namun, butuh waktu yang panjang untuk menambangnya belum lagi ada di lokasi adat yang dilindungi konstitusi kami. Maka itu, lebih baik kita fokus kepada cadangan yang sudah ada,” tutur Cecilia.