Babak Baru Hilirisasi Nikel di Pulau Obi
Hilirisasi nikel terus dipacu untuk menciptakan nilai tambah dan keuntungan sebesar-besarnya bagi Indonesia, termasuk dalam tren kendaraan listrik saat ini.

Pemandangan kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).
Genderang hilirisasi sektor pertambangan terus ditabuh pemerintah. Nikel, bahan mineral yang melimpah di Indonesia, menjadi bintang utamanya, terutama sejak tren kendaraan listrik menanjak. Di Pulau Obi, Maluku Utara, aliran menuju hilir itu kian dekat.
Obi terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Jaraknya sekitar 240 kilometer garis lurus di selatan Ternate. Dari Labuha, ibu kota Halmahera Selatan di Pulau Bacan, jaraknya lebih kurang 100 kilometer. Satu-satunya akses ke pulau itu hanya melalui transportasi laut. Rute penerbangan komersial cuma sampai di Labuha.
Pulau seluas sekitar 2.500 kilometer persegi atau hampir empat kali luas DKI Jakarta ini menyimpan ratusan juta ton deposit bijih nikel yang telah teruji. Entah berapa banyak lagi potensi yang belum tereksplorasi.
Awalnya, seperti yang terjadi di daerah penghasil nikel lain sejak booming komoditas ini pada 2008, nikel yang ditambang dari pulau tersebut hanya diekspor dalam bentuk mentah atau bijih (ore). Artinya, tanah yang mengandung nikel dikeruk kemudian langsung dikapalkan untuk diolah di pabrik-pabrik di luar negeri.
Itu pun hanya nikel berkadar tinggi atau saprolit (kandungan di atas 1,5 persen) yang dapat diolah menjadi produk setengah jadi seperti feronikel. Dari feronikel, pengolahan dilanjutkan lagi untuk menghasilkan barang jadi seperti baja nirkarat, komponen elektronik, otomotif, hingga koin logam.

Feronikel hasil pengolahan smelter milik grup Harita Nickel, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).
Semua itu berubah sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel pada 2014. Perusahaan-perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ”dipaksa” membangun industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah bahan tambang itu sebelum mengekspornya.
Salah satunya adalah Harita Nickel, grup pertambangan dan industri pengolahan yang berbasis di Pulau Obi sejak 2010. Melalui bendera PT Trimegah Bangun Persada (TBP), grup tersebut mengantongi dua IUP seluas total 5.523 hektar di sisi barat Obi, tepatnya di Desa Kawasi, Kecamatan Obi.
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendorong perusahaan tersebut membangun pabrik peleburan bijih nikel (smelter) berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) pada 2015. Pada 2016, perusahaan itu mulai menghasilkan feronikel dengan kapasitas produksi mencapai 240.000 ton per tahun.
Tren kendaraan listrik yang terus meningkat di seluruh dunia membawa angin kedua bagi hilirisasi nikel di Tanah Air. Nikel adalah bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Logam itu memiliki kepadatan energi tertinggi sehingga baterai dapat menyimpan energi lebih besar dan kendaraan bisa melaju lebih jauh.

Menangkap peluang
Pemerintah pun melirik peluang ini. Apalagi, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yakni 25 persen. Karena itu, hilirisasi nikel diarahkan untuk mendukung industri kendaraan listrik.
Harita menangkap kesempatan tersebut. Berpartner dengan Lygend, perusahaan asal China, mereka menambah fasilitas pemurnian nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) pada 2018 melalui PT Halmahera Persada Lygend.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Kompas bersama sejumlah media lain diundang untuk melihat operasi tambang dan industri pengolahan Harita Nickel di Pulau Obi pada 7-9 April 2023. Ini termasuk fasilitas HPAL yang menjadi tulang punggung baterai kendaraan listrik.
Berbeda dengan RKEF yang mengolah bijih nikel menjadi feronikel, HPAL mengolah bijih nikel menjadi produk bernama Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). MHP inilah yang digunakan untuk menghasilkan nickel sulfate dan cobalt sulfate, dua komponen katoda baterai kendaraan listrik.

Suasana pabrik HPAL milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (9/4/2023).
Perbedaan lain, MHP diolah dari nikel berkadar rendah atau limonit (kandungan di bawah 1,5 persen). Di Indonesia, deposit limonit bisa dua kali lipat lebih besar dari saprolit. Adapun nilai jual MHP setidaknya empat kali lipat dari feronikel.
Director of Operations PT TBP Younsel Evand Roos mengatakan, sebelum ada teknologi HPAL, limonit hanya dianggap sebagai lapisan overburden atau tanah permukaan yang menutupi lapisan tanah saprolit. Lapisan itu disingkirkan untuk mencapai lapisan saprolit yang bernilai ekonomi. ”Biasanya ketebalan lapisan limonit 4-5 meter dari permukaan, baru kemudian di bawahnya lapisan saprolit,” ujarnya.
Baca juga: Baterai Kendaraan Listrik Ditarget Sudah Diproduksi pada 2024
Harita pun menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi MHP pada Juni 2021, disusul kemudian oleh dua perusahaan lain di Morowali, Sulawesi Tengah, yakni Huayue Nickel Cobalt dan QMB New Energy Materials.
Namun, Harita melangkah lebih jauh lagi. Saat ini, mereka melakukan tahap akhir uji coba produksi nickel sulfate dan cobalt sulfate. Jika berhasil, produksi dari Pulau Obi itu bisa langsung dipasok ke industri pembuatan prekursor baterai kendaraan listrik. Ini juga menjadi yang pertama di Indonesia.

Head of Technical Support PT Halmahera Persada Lygend Rico W Albert memegang MHP nikel, produk yang dihasilkan pabrik HPAL milik grup Harita Nickel itu, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (9/4/2023).
”Kami menargetkan pertengahan tahun ini sudah mulai berproduksi. Targetnya nanti bisa mencapai 240.000 metrik ton nickel sulfate dan 30.000 metrik ton cobalt sulfate per tahun. Ini menjadi yang terbesar di dunia,” ujar Head of Technical Support PT Halmahera Persada Lygend Rico W Albert.
Dalam konteks peningkatan nilai tambah, berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, nikel dalam wujud nickel sulfate bernilai 11,4 kali lipat ketimbang nikel berupa bijih limonit. Dalam konteks pembangunan ekosistem kendaraan listrik, produksi nickel sulfate dan cobalt sulfate akan membuat rantai pasok yang dapat dipenuhi di dalam negeri kian lengkap.
Semua aspek lingkungan hidup dikelola secara ketat dan sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Indonesia pun jadi makin atraktif bagi produsen baterai hingga mobil/sepeda motor listrik karena sebagian besar bahan baku utamanya telah tersedia. Sejumlah produsen baterai kendaraan listrik memang sedang dan akan membangun pabrik mereka di Indonesia, termasuk dua raksasa baterai kendaraan listrik dunia, CATL dan LG.
Namun, semua itu bukan tanpa tantangan. Teknologi baterai kendaraan listrik terus berkembang, salah satunya karena kekhawatiran soal mineral pendukungnya, termasuk nikel, yang jumlahnya terbatas dan mahal.

Pekerja menunjukkan nickel sulfate yang diproduksi pabrik HPAL milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (9/4/2023).
Sejumlah inovasi baterai yang tidak menggunakan nikel pun telah muncul di pasaran, di antaranya baterai lithium iron phosphate (LFP) dan baterai sodium-ion. Keduanya menggunakan bahan yang ketersediaannya lebih melimpah ketimbang nikel, yakni besi, fosfat, dan sodium.
Produsen mobil listrik ternama Tesla pun mulai melirik baterai LFP untuk menggantikan baterai litium-ion berbasis nikel. Adapun CATL mengembangkan baterai sodium-ion. Raksasa otomotif Toyota bahkan juga merancang mobil bertenaga hidrogen.
Baca juga: Menghitung Kembali Biaya Mobil Listrik
Belum lagi perihal dampak lingkungan dari pertambangan nikel yang kerap menjadi sorotan. Industri pengolahan nikel juga menghasilkan limbah yang besar, yang jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Director of Health, Safety, and Environment PT TBP Tonny H Gultom mengatakan, semua aspek lingkungan hidup dikelola secara ketat dan sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini mencakup, antara lain, pengelolaan polusi asap, air, hingga limbah dari aktivitas produksi smelter RKEF dan HPAL.

Pemandangan kawasan industri pengolahan nikel milik grup Harita Nickel, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023) malam.
Tonny menjelaskan, sebanyak 90 persen volume bijih nikel yang dipakai dalam proses produksi di RKEF dan HPAL akan menjadi sisa hasil pengolahan (SHP), yakni slag di RKEF dan tailing di HPAL. ”Semua telah dites dan tidak mengandung bahan beracun bagi manusia dan lingkungan,” ujarnya.
Sebagian slag yang wujudnya seperti kerikil itu dimanfaatkan sebagai bahan bangunan di kompleks industri Pulau Obi dan sebagian besar sisanya dipakai untuk menutup lubang bekas tambang. Begitu pula tailing yang berwujud tanah keringyang ditimbun di lahan bekas tambang. Tonny mengatakan, tidak ada SHP yang dibuang ke laut atau sungai.
Baca juga: Pertambangan Nikel Berkontribusi Tingkatkan Kerusakan Ekologis
Terkait masa depan nikel dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik, Chief Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, masih berkelanjutan. Apalagi, Indonesia memiliki cadangan yang besar dan pemerintah berkomitmen mengembangkan hilirisasi ke arah sana.
Babak baru hilirisasi nikel pun kini bergulir dari Pulau Obi. Sukses atau gagal? Tinggal waktu yang akan menjawabnya.