Kebijakan IRA Berpotensi Hambat Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia
Aturan Inflation Reduction Act atau IRA berpotensi menurunkan minat perusahaan asing mengakselerasi investasinya di sektor mineral Indonesia. Meski demikian, pemerintah optimistis nikelnya tetap dilirik dunia.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Kebijakan Inflation Reduction Act yang ditandatangani Presiden Amerika Joe Biden tahun lalu berpotensi menghambat upaya Indonesia menjadi jaringan rantai pasok ekosistem kendaraan listrik global. Pemerintah optimistis nikel dalam negeri tetap akan dilirik para investor karena perkembangan kendaraan listrik ke depan tetap membutuhkan mineral dalam jumlah besar yang dimiliki Indonesia.
Peneliti mitra di Center For Indonesian Policy Studies, Krisna Gupta, menerangkan, melalui Inflation Reduction Act (IRA), Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan menggelontorkan subsidi pajak sebesar 7.500 dollar AS bagai mereka yang membeli kendaraan listrik. Meski demikian, subsidi diberikan dengan syarat komponen mineral pembentuk baterai kendaraan tersebut haruslah ditambang, diproses, dan dirakit di AS ataupun negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan Amerika Serikat.
Subsidi akan diberikan ke lebih dari 30 jenis model mobil listrik hingga tahun 2032. ”Rayuan” ini diharapkan menarik minat perusahaan baterai dan kendaraaan listrik untuk berinvestasi di AS atau negara sahabatnya saja.
Akibatnya, kebijakan IRA berpotensi menurunkan minat perusahaan baterai atau kendaraan listrik untuk mengakselerasi investasinya di Indonesia, khususnya mereka yang berorientasi ekspor. Apalagi, pasar mobil listrik di Amerika ataupun Eropa dinilai lebih menjanjikan dalam beberapa waktu mendatang ketimbang pasar domestik.
”Indonesia tetap bisa menjual mobil listrik atau baterai ke Amerika, tetapi kemungkinan kalah saing karena harga jual mobilnya tidak kompetitif. Sebab, mobil yang dibuat langsung di sana mendapat insentif jadi lebih murah,” ucap Krisna, di Jakarta, Kamis (27/4/2023).
Selain itu, nikel Indonesia berpotensi tidak dilirik karena Amerika memiliki perjanjian FTA dengan Chile dan Australia, dua negara pemilik cadangan mineral kualitas tinggi, seperti litium dan nikel, dalam jumlah yang cukup besar.
Dengan ruang fiskal yang terbatas, Indonesia dianggap tidak akan mampu memainkan strategi yang sama, seperti yang ditempuh AS, karena berpotensi tidak efisien. Meski demikian, Indonesia tetap mampu menjadi pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik di segmen kendaraan roda dua.
”Nikel Indonesia tetap dilirik, tetapi untuk kendaraan listrik roda dua karena potensinya besar di dalam negeri,” ujarnya.
Upaya pemerintah
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan menerangkan, kebijakan IRA dinilai dapat mencederai upaya negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam membangun kemandirian ekonomi dalam negeri, khususnya untuk mencapai target yang ditetapkan dalam Silver Development Goals (SDGs) tahun 2030.
Untuk mencapai target SDGs, seperti pengentasan warga dari kemiskinan dan mewujudkan kesetaraan jender, pemerintah memerlukan biaya yang besar. Menumbuhkan ekonomi dalam negeri yang kuat tentu menjadi salah satu upaya mewujudkannya. Delegasi BKPM berencana berangkat ke Amerika Serikat pada Juni mendatang untuk mendiskusikan hal ini.
”Kalau negara-negara ini melakukan aturan pembatasan seperti ini, bagaimana negara-negara lain akan maju. Kita butuh ekonomi kita kuat supaya target bersama bisa terwujud,” ucapnya.
Ia melanjutkan, tingkat komponen mineral baterai listrik yang diatur dalam IRA akan bertambah setiap tahunnya. Pada 2023 kandungan lokal baterai adalah sebesar 40 persen, lalu bertambah sekitar 10 persen setiap tahunnya, hingga tingkat kandungan baterai yang dibuat di AS menjadi sebesar 80 persen pada 2026.
Pemerintah optimistis nikel Indonesia akan tetap dilirik mengingat permintaan akan kendaraan listrik bakal terus naik dalam satu dekade ke depan. Pihaknya akan mengupayakan agar setidaknya mineral katoda dari nikel dalam negeri bisa dikecualikan dalam kebijakan ini.
”Permintaan kendaraan listrik akan terus naik dan kebutuhan akan nikel naik pula. Indonesia punya cadangan nikel terbesar. Kita akan usahakan setidaknya material katodanya saja dari Indonesia bisa masuk, kalau jadi baterai sel tidak apa-apa di sana (AS),” ucapnya.
Kepastian investasi
Beberapa perusahaan disebut telah memiliki ketertarikan untuk turut serta dalam mengolah nikel di Indonesia, sebut saja LG Energy Solution (LGES) dari Korea Selatan ataupun Contemporary Amperex Technology (CATL) dari China. Direktur Utama Pt Aneka Tambang Tbk (Antam) Niko Kanter menampik kabar bahwa LGES telah mundur investasinya di Indonesia.
Pihaknya akan bertemu dengan pihak LGES pada Mei 2023 untuk memfinalisasi struktur konsorsium antara keduanya. Pertemuan juga akan membahas mengenai teknologi yang akan digunakan nantinya.
Mengenai kelanjutan kerja sama CATL melalui anak usahanya Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL), transaksi penjualan nikel akan direalisasikan pada Oktober 2023 ini karena harus menunggu keputusan dari Pemerintah China. Transaksi akan dilakukan antara CBL dan anak perusahaan Antam, yaitu PT Sumberdaya Arindo.
”LGES ada sedikit perubahan dalam konsorsiumnya, tetapi kita targetkan bisa berjalan dengan lancar di tahun ini,” ujarnya.