Kemampuan Industri Memitigasi Bencana Alam Masih Minim
Kapabilitas untuk memitigasi bencana diperlukan agar Indonesia tetap dinilai prospektif menjadi jaringan rantai pasok global. Apalagi, pemerintah tengah giat menjajakan nikel dalam negeri sebagai upaya menarik investor.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
DOKUMENTASI PT IMIP
Karyawan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, menggelar simulasi evakuasi karena gempa beberapa waktu lalu. Morowali termasuk rawan gempa karena dilalui sesar aktif Matano.
JAKARTA, KOMPAS — Industri di Indonesia perlu membangun kapabilitas untuk memitigasi kerugian akibat bencana alam yang dapat mengganggu operasional perusahaan. Kemampuan mitigasi bencana diperlukan agar Indonesia tetap dilirik sebagai salah satu tujuan pembangunan jaringan rantai pasok global.
Peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Muhammad Habib Abiyan, menerangkan, program hilirisasi nikel yang dimulai sejak tiga tahun lalu menjadi salah satu pendorong utama perekonomian Indonesia. Namun, upaya untuk mengakselerasi program ini bisa terhambat karena lokasi cadangan dan industri pengolahan atau smelter berada di kawasan rawan bencana, khususnya gempa.
Mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Sulawesi dan Maluku Utara sebagai daerah rawan gempa, dengan rata-rata gempa berkekuatan magnitudo 6,5 sejak 2009-2020.
Hal ini perlu menjadi catatan mengingat hampir 90 persen cadangan nikel Indonesia berada di Sulawesi dan Maluku Utara. Bukan hanya cadangan, di sana juga terdapat pabrik pengolahan atau smelter skala besar seperti di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Halmahera, Maluku Utara.
Kapabilitas untuk memitigasi bencana diperlukan agar Indonesia tetap dinilai prospektif menjadi jaringan rantai pasok global. Apalagi, pemerintah tengah giat menjajakan nikel dalam negeri sebagai upaya menarik investor, khususnya dalam membangun ekosistem kendaraan listrik.
”Kemampuan industri memitigasi bencana akan memengaruhi sisi kompetitif Indonesia untuk masuk dalam jaringan rantai pasok dunia,” ujar Habib dalam diskusi yang digelar oleh Organization for Economic Cooperation and Development bekerja sama dengan Yusof Ishak Institute, Selasa (25/4/2023).
Melihat ke belakang, bencana alam terbukti mengganggu operasional perusahaan di sana. Pada 2019, bencana banjir bandang di Konawe yang menyebabkan produksi nikel di sana turun 20 persen, dan juga longsor tahun 2021 yang mengganggu operasional smelter nikel di Morowali Utara.
Selain dampak terhadap operasional, gempa Morowali pada Februari 2021 sempat memengaruhi harga jual nikel dari 20.000 dollar AS per ton menjadi sekitar 17.000 dollar AS per ton. Ditambah lagi dengan adanya ancaman dari sesar Matano yang berpotensi melahirkan gempa besar lainnya di Sulawesi.
Berkaca pada hal tersebut, Pemerintah Indonesia perlu membangun kapabilitas mitigasi bencana. Salah satunya dengan mengevaluasi persyaratan kebijakan analisis dampak lingkungan (amdal).
”Indonesia belum mengantisipasi ini. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah memasukkan poin kemampuan mitigasi bencana geologi di amdal, selama ini hanya soal lingkungan dan limbah. Kemampuan mitigasi bencana harus jadi isu strategis,” jelas Habib.
Pemerintah Indonesia perlu membangun kapabilitas mitigasi bencana. Salah satunya dengan mengevaluasi persyaratan kebijakan analisis dampak lingkungan (amdal).
Hal senada diungkapkan oleh Archanun Kohpaiboon, profesor bidang ekonomi dari Thammasat University Thailand. Banjir besar tahun 2011 yang melanda belasan provinsi di Thailand menyebabkan industri produksi cakram keras (hard disk) terganggu. Akibat bencana itu, nilai ekspor cakram keras mengalami penurunan tajam dari bulan September 2011 sekitar 1,1 miliar dollar AS menjadi 200 juta dollar AS pada November 2011.
Bona (40) dan putranya mengangkut barang menggunakan sampan akibat kediaman mereka terendam banjir, di Desa Laloika, Pondidaha, Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (13/7/2020). Banjir setinggi 1 meter menerjang dua desa di Konawe. Kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit juga pertambangan membuat banjir terus berulang.
Produksi mulai normal pada awal tahun 2012, seiring surutnya banjir. Pemulihan yang relatif cepat ini terjadi karena adanya panduan manajemen krisis yang sudah disiapkan perusahaan, dengan menyiapkan mesin baru untuk produksi apabila banjir sudah surut.
Selain mengganggu jaringan rantai pasok, dampak lain dari operasional yang terganggu adalah melambungnya harga barang yang dibeli konsumen. ”Mereka membuat keputusan yang cepat, yang membuat saat banjir surut, produksi langsung bisa berjalan baik. Perusahaan harus memiliki resiliensi menghadapi bencana alam adalah valid,” jelasnya.
Dana bencana
Selain membangun kemampuan operasional, kemampuan pendanaan di tengah krisis akibat bencana alam juga perlu dibangun. Pada 2019, ASEAN meluncurkan ASEAN Disaster Risk Financing and Insurance Phase-2 (ADRFI-2) yang bertujuan melatih para negara anggota memiliki kemampuan manajemen resiko dan pengelolaan dana saat bencana alam terjadi.
ADRFI-2 diharapkan membantu negara anggota ASEAN untuk mulai mengelola keuangan, baik lewat pendanaan amupun perlindungan lewat asuransi bencana. Head of Asia Desk OECD Development Centre Kensuke Tanaka menjelaskan, tingkat dampak kerugian yang ditanggung asuransi akibat bencana alam di Asia Tenggara masih rendah. Padahal, hal itu dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak kerugian di masa depan.
Sebagai perbandingan, sebanyak 37,6 persen dampak kerugian akibat bencana di Jepang sudah ditanggung asuransi, sementara di Korea angkanya sebesar 19,4 persen. Hal ini berbanding jauh dengan situasi di negara ASEAN seperti Indonesia di mana dampak kerugian bencana yang ditanggung asuransi hanya 5,5 persen, lalu ada Thailand sebesar 0,8 persen, atau Vietnam sebesar 0,3 persen.
Selain dengan asuransi, negara-negara ASEAN juga dapat mendapatkan pendanaan mitigasi bencana dengan menerbitkan obligasi bencana atau catastrophe bonds. Negara-negara ASEAN perlu memikirkan hal ini agar tetap menjadi kawasan potensial perdagangan di masa depan.
”Ini penting bagi negara-negara untuk memiliki desain besar mengenai risiko pendanaan bila terjadi bencana,” ucapnya.