Mengejar Pertumbuhan di Tengah Risiko Bencana
Di tengah kepungan patahan geologi, kerawanan bencana di Sulawesi Tengah meningkat akibat aktivitas pertambangan. Namun, sektor ini belum signifikan mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah berada di angka 15,17 persen. Capaian ini menempatkan provinsi yang tahun ini berusia 59 tahun itu menjadi daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia setelah Maluku Utara. Namun, apakah itu bermakna bagi masyarakat luas?
Tak hanya pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah (PAD) juga meningkat signifikan dari Rp 900 miliar pada 2021 menjadi lebih dari Rp 1,7 triliun tahun lalu. Dengan capaian ini, Sulteng seolah ingin memproklamirkan kebangkitan usai gempa yang memorak-porandakan Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong pada 2018 yang disusul hantaman pandemi Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi dan PAD ini sebagian besar disumbang dari sektor pertambangan. Selama lebih dua tahun terakhir, Pemerintah Provinsi Sulteng jor-joran membuka pintu investasi untuk sektor pertambangan.
Saat ini tambang menjadi primadona di Sulteng. Tambang serupa gula yang menarik semut. Jika membuka kata kunci ”daftar perusahaan tambang di Sulteng” pada mesin pencari Google, akan muncul deretan panjang nama-nama perusahaan tambang, kebanyakan berpusat di Morowali dan Morowali Utara. Ada pula di Banggai, Palu, Donggala, dan sejumlah kabupaten lain.
Wakil Gubernur Sulteng Ma’mun Amir mengatakan, Sulteng dikaruniai sumber daya alam berupa tambang beraneka jenis. Bahan tambang ini antara lain emas, nikel, timah, gas alam, hingga pasir dan batu. Potensi ini yang diakui banyak dilirik dan mendatangkan investor.
Dia mengatakan, potensi tambang ini dan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah membuat investor percaya untuk datang ke Sulteng. Bahkan, peristiwa gempa yang meluluhlantakkan Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong tahun 2018 tak lagi jadi kekhawatiran investor.
”Kalau peluang ada, kenapa kita tidak tangkap peluang itu? Kalau mau stabil untuk jangka panjang, memang pertanian dan perkebunan. Namun, untuk mendapatkan peluang pendapatan, maka pertambangan hari ini yang prioritas dan pertumbuhan Sulawesi Tengah ini ditopang oleh pertambangan,” katanya.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Sulteng Dibenahi
Peluang menjadi kata kunci yang membuat banyak pengusaha tambang masuk ke Sulteng. Tak perlu jauh ke Morowali, di sepanjang pesisir Teluk Palu dan Donggala, aktivitas tambang pasir dan batu sangat masif. Sebagian besar batu dan pasir ini dikirim untuk menopang proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Pemprov Sulteng bahkan menyebut daerah ini adalah mitra strategis IKN.
Masifnya eksploitasi tambang pasir dan batu untuk IKN berdampak pada perubahan kontur alam pada perbukitan yang mengelilingi Teluk Palu dan yang membentang di pesisir Donggala. Luka menganga pada perbukitan sangat tampak secara kasatmata. Aktivitas tambang galian C di wilayah ini bahkan membuat perbukitan tampak seolah berkabut setiap saat. ”Kabut” itu berasal dari debu akibat aktivitas pengerukan.
Di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, sejumlah perusahaan besar dan kecil berlomba mengeruk nikel. Morowali dan Morowali Utara seperti berdiri di atas area izin usaha pertambangan.
Maraknya pertambangan di kedua kabupaten ini nyatanya membuat angka pertumbuhan ekonomi tumbuh di atas rata-rata kabupaten lain di Sulteng. Tahun 2021, misalnya, pertumbuhan ekonomi Morowali mencapai 25,31 persen, disusul Morowali Utara 10,47 persen.
Aktivis dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan akademisi menilai upaya pemerintah meningkatkan pendapatan dengan memprioritaskan tambang adalah meningkatkan risiko bencana. Pemerintah bahkan dinilai tidak kreatif untuk mengelola atau menggali potensi lain yang tak kalah menjanjikan, seperti pertanian, perkebunan, hingga perikanan.
Mestinya paradigma pembangunan itu sudah menuju kepada pertumbuhan berkeadilan.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu, menyebut, angka-angka pembangunan yang dibangga-banggakan ini sebenarnya semu. Selama pemerintah hanya mengejar pertumbuhan belaka dengan bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, maka ke depan pembangunan hanya akan membenamkan.
”Pemerintah Sulteng nyaris belum berubah, masih mengagungkan pertumbuhan ekonomi. Mestinya paradigma pembangunan itu sudah menuju kepada pertumbuhan berkeadilan, dari growth oriented menjadi equity for growth. Jika paradigmanya pertumbuhan dan angka-angka, pasti orientasinya sumber daya alam, salah satunya yaitu pertambangan,” katanya.
Ma’mun Amir menyebut, soal pertambangan ini sebenarnya lebih banyak andil pemerintah pusat. Sebab, kewenangan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kini dipegang langsung oleh pemerintah pusat.
Pegiat literasi dan kebencanaan Sulteng, Neni Muhidin, menyebut, logika pembangunan berbasis pertambangan seperti menyimpan bom waktu. Kerusakan lingkungan dan konflik sosial adalah ancaman nyata di tengah potensi bencana geologis di sejumlah wilayah di Sulteng.
”Kalau angka-angka pertumbuhan ini dianggap sebagai capaian, menurut saya bermasalah logika investasinya. Situasi itu membuat akhirnya kebijakan pengurangan risiko bertabrakan dengan IUP di mana-mana,” ujarnya.
Dia menambahkan, mengurangi risiko bencana harusnya mengurangi izin ekstraksi pertambangan. Situasi ini jadi dilematis karena di satu sisi pemerintah butuh pendapatan, tetapi di saat yang sama mereka tidak punya kreativitas untuk membangkitkan ekonomi rakyat.
Baca juga: Tantangan Mitigasi Ganda di Sulteng
Neni mengatakan, sejumlah daerah di Sulteng memiliki potensi bencana geologis. Bencana ini akan makin besar skalanya karena berhadapan dengan situasi ekstraksi pertambangan. Dalam hal ini, ekstraksi pertambangan akan meningkatkan skala percepatan kerusakan ruang. Dengan kondisi Sulteng yang dikepung patahan geologis serta pada saat yang sama tutupan lahan terus berkurang, maka bencana lebih besar ada di depan mata.
Dia menjelaskan, selama lima tahun pascabencana, aspek regulasi dan kelembagaan sudah terpenuhi untuk memahami siklus kebencanaan. Kabupaten/kota punya kajian risiko. Namun, di saat yang sama pemerintah justru membuat kebijakan yang meningkatkan risiko.
”Kita berada dalam situasi penuh kecemasan. Kita belum melihat dampaknya hari ini, tetapi ekstraksi pertambangan akan mempercepat. Pertanyaannya, siapa yang sejahtera dari kondisi ini? Pembangunan ini menjadi paradoks. Yang menjadi sejahtera adalah pemilik modal dan pemburu rente. Ini seperti menyimpan ’bom waktu’ dari apa yang disebut pembangunan,” kata Neni.
Di tengah meningkatnya risiko bencana akibat eksploitasi tambang dan tingginya angka-angka yang menjadi barometer pertumbuhan, kemiskinan masih juga menjadi masalah. Selain itu, juga soal kesehatan, angka gizi buruk, hingga pengangguran. Sebagai gambaran, pada tahun 2022, angka kemiskinan di Sulteng 12,3 persen. Angka itu hanya turun tipis dibandingkan tahun 2021, yakni 12,33 persen.
”Morowali yang menjadi pusat industri tambang nyatanya kemiskinannya masih tinggi. Begitu juga pengangguran. Kenapa? Karena yang mendorong lapangan pekerjaan bukan padat karya, melainkan padat modal, yakni industri yang ada di Morowali,” ujar Ahlis Djirimu.
Angka-angka itu semu dan bisa jadi bumerang.
Menurut dia, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tahun lalu di atas 70 juga semu karena lebih banyak hanya dipengaruhi oleh paritas daya beli. Angka IPM ini mendapat dorongan positif dari Morowali karena tahun 2002 pendapatan per kapitanya mencapai Rp 500 juta. Lalu, Morowali Utara Rp 100 juta,” katanya.
Menurut dia, indikator daya beli yang mendorong naiknya angka IPM justru tidak merata, hanya berputar pada golongan tertentu. Dia mengingatkan ada sejumlah indikator yang memengaruhi keberhasilan pembangunan.
Indikator itu adalah pertumbuhan ekonomi, IPM, kemiskinan, ketimpangan, angka pengangguran, dan indeks kualitas lingkungan hidup. Di Sulteng, keberhasilan pembangunan baru pada PAD dan pertumbuhan ekonomi. Sementara, indikator keberhasilan lainnya masih dipertanyakan.
”Dengan kondisi yang ada sekarang, maka pada 13 April di Hari Ulang Tahun Sulteng, indikator pembangunan itu sebenarnya tidak berhasil dan tidak tercapai. Angka-angka itu semu dan bisa jadi bumerang,” ujar Ahlis.
Menurut dia, fondasi ekonomi rapuh karena hanya pertumbuhan saja yang tinggi, itu pun bukan dari sisi pertanian, melainkan dari sektor pertambangan yang kebanyakan merusak lingkungan. ”Mestinya angka-angka yang dinilai sebagai capaian ini dilihat lagi dan dimaknai, ada apa di baliknya?” katanya.
Baca juga: Ada Pemodal di Balik Tambang Emas Ilegal