Dilema Ekonomi ”Surga Nikel” Sultra
Seiring tumbuhnya industri pengolahan beberapa tahun terakhir, sektor ini perlahan menjadi motor penggerak postur ekonomi daerah. Di satu sisi, kondisi berbeda terjadi di sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan.
Wilayah Sulawesi Tenggara disebut ”surga” nikel sebab cadangannya mencapai puluhan miliar ton. Ribuan hektar lahan dibuka dan berbagai industri pengolahan berdiri. Hanya saja, meski produksi nikel melesat bak meteor, sektor ini belum berdampak luas. Lebih jauh, ekses pertambangan ke masyarakat terus terjadi, sektor pertanian dan kelautan pun terus terpinggirkan.
Memasuki usia ke-59, Sulawesi Tenggara terus berkembang. Pertumbuhan ekonominya selalu di atas angka rata-rata nasional. Terakhir, pada 2022, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,53 persen, bahkan saat pandemi Covid-19 perekonomiannya masih cukup baik.
Salah satu yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah semakin menggeliatnya pertambangan dan industri pengolahan mineral, khususnya nikel. Bahan tambang ini memang tersebar di wilayah daratan Sultra dengan cadangan mencapai 97 miliar ton.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor golongan besi dan baja dari wilayah Bumi Anoa, sebutan untuk Sultra, terus melambung. Pada 2022, nilainya mencapai 5,826 miliar dollar AS atau Rp 87 triliun. Nilai ini juga mencapai 99,92 persen dari total ekspor.
Ekspor ini didorong oleh sektor industri pengolahan nikel di Sulawesi Tenggara yang tumbuh signifikan. Nilainya mencapai 16,74 persen pada 2022. Tumbuhnya industri pengolahan ini merupakan yang tertinggi tiga tahun terakhir. Pada 2020, pertumbuhan sektor ini di angka 10,19 persen, lalu turun menjadi 6,38 persen pada 2021.
Tingginya pertumbuhan industri pengolahan ini didorong pengolahan nikel yang semakin masif beberapa tahun terakhir dan kenaikan harga nikel di pasar dunia. Tak ayal, pembangunan smelter juga terus bertambah di kawasan ini. Hal ini juga seiring upaya hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah beberapa tahun terakhir. Ekspor ore nikel tidak dibolehkan lagi.
Sekretaris Daerah Sultra Asrun Lio menjabarkan, kehadiran pertambangan di Sultra, hingga upaya hilirisasi nikel saat ini, secara garis besar telah membantu perekonomian daerah. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi daerah yang stabil secara regional.
”Pertumbuhan ekonomi Sultra di 2022 mencapai 6,09 persen. Ekonomi kita stabil dan cukup baik. Meski ada inflasi, kita telah lakukan intervensi,” kata Asrun, Senin (17/4/2023).
Berbagai program utama Pemprov Sultra, ia melanjutkan, terus berjalan. Mulai dari jalan pariwisata Toronipa, Rumah Sakit Jantung, hingga perpustakaan internasional. Tidak ketinggalan beberapa sektor prioritas lainnya, utamanya di masa pemerintahan Ali Mazi-Lukman Abunawas (2018-2023) ini.
Meski begitu, Asrun mengakui, sebagian besar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional ini masih didorong oleh sektor konvensional. Sementara peran sektor pertambangan dan industri pengolahan memang belum maksimal, khususnya untuk penerimaan daerah. Dengan begitu, meski nilai ekspor tinggi, perekonomian secara luas belum berdampak dari sektor ini.
”Dana bagi hasil itu belum maksimal. Karena kita penghasil tambang (nikel), seharusnya DBH-nya lebih besar lagi. Belum lagi soal perizinan tambang yang semuanya diambil pusat. Itu membuat rentan tanggung jawab terlalu jauh,” ujarnya.
Selama ini, meski telah berjalan bertahun-tahun, pertambangan belum dikelola secara maksimal. Salah satu yang terlihat adalah para pekerja terdidik yang belum terserap merata di sektor ini. Dengan demikian, dampak dari sektor ini belum begitu terasa hingga ke masyarakat.
Baca Juga: Segenggan Dunia di Pelosok Routa
Pertanian dan perkebunan
Seiring tumbuhnya industri pengolahan beberapa tahun terakhir, sektor ini perlahan menjadi motor penggerak postur ekonomi daerah. Perannya semakin besar dari waktu ke waktu. Di satu sisi, kondisi berbeda terjadi di sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan. Selama bertahun-tahun, sektor yang menjadi tumpuan utama masyarakat ini justru turun.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Syamsir Nur menjelaskan, tumbuhnya industri pengolahan ini sejalan dengan hasil kajiannya terhadap peran sektor ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Sultra. Selama 2010-2021, kontribusi industri pengolahan menunjukkan angka rata-rata 6,40 persen. Angka per tahun terus tumbuh stabil hingga 7,09 persen di 2021.
Menurut Syamsir, peranan signifikan sektor industri pengolahan ini memiliki dua sisi yang akan berpengaruh terhadap ekonomi wilayah. Meningkatnya peranan sektor ini berarti menegaskan terjadinya hilirisasi produk nikel dan tidak lagi membawa material mentah ke luar negeri seperti sebelumnya.
Sementara itu, di sisi lain, tumbuh signifikannya industri pengolahan nikel tidak diimbangi dengan peningkatan sektor utama daerah. Selama puluhan tahun, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan tulang punggung utama masyarakat. Petani dan nelayan mengandalkan sektor ini untuk bertahan hidup.
Situasi ini, serupa menaruh semua apel dalam satu keranjang yang keranjangnya kita tidak pegang. Beda halnya dengan pertanian dan perkebunan yang memang menjadi tulang punggung daerah selama puluhan tahun dan dilakukan lapisan masyarakat kecil.
Namun, dalam kajiannya pada periode yang sama, yaitu 2010-2021, kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan. Pada 2010, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Sultra mencapai 28,39 persen. Angka ini terus turun setiap tahun sehingga menjadi 22,87 persen pada 2021.
”Sektor primer ini terus turun dan justru sektor sekundernya (industri pengolahan) yang terus tumbuh signifikan,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Syamsir, terjadi karena banyak faktor, mulai dari alih fungsi lahan pertanian, tidak produktifnya tanaman dan lahan, hingga tenaga kerja yang beralih. Sayangnya, para pekerja yang beralih ini tidak terserap ke industri pengolahan karena tidak memiliki kualifikasi yang sesuai.
Dalam kondisi seperti ini, Sultra menumpukan ekonomi di satu bidang saja, yaitu pertambangan dan pengolahan nikel, sebuah bidang yang padat modal, membutuhkan pekerja terampil, serta teknologi terkini.
”Situasi ini, serupa menaruh semua apel dalam satu keranjang yang keranjangnya kita tidak pegang. Beda halnya dengan pertanian dan perkebunan yang memang menjadi tulang punggung daerah selama puluhan tahun dan dilakukan lapisan masyarakat kecil,” tuturnya.
Terpusat
Belum lagi dengan tujuan ekspor Sultra yang terpaku pada satu negara saja, yaitu China. Sebanyak 99 persen hasil olahan ini memang dikirim ke Negeri Tirai Bambu tersebut. Potongan kecilnya baru dikirim ke beberapa negara lain, seperti India dan Amerika Serikat.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjabarkan, selama lima tahun terakhir, konfigurasi ekspor Sultra terus didominasi produk besi dan baja. Ini, utamanya, berbagai turunan pengolahan nikel dalam bentuk fero nikel dan NPI setelah ekspor bahan mentah nikel dihentikan.
Namun, ekspor yang tinggi ini belum berdampak banyak pada perekonomian daerah. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi Sultra yang berada di 5-6 persen. Padahal, daerah lain penghasil nikel, seperti Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Maluku Utara (Malut), jauh di atas angka tersebut. Pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di angka 11 persen, sementara Malut bahkan di angka 24 persen.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, penerimaan daerah juga minim. Selain dana bagi hasil, penerimaan pajak tidak tinggi akibat belum optimalnya penerimaan pajak di kawasan pertambangan. Akibatnya, nilai tambah sektor pertambangan tidak begitu terasa meski ekspor terus melejit.
Oleh sebab itu, kondisi ini harus diperhatikan betul oleh pemerintah daerah. Terobosan penting dilakukan agar sektor pertanian dan kelautan kembali berkembang. ”Industri pengolahan jangan hanya di mineral saja, tetapi juga di sektor pertanian dan kelautan. Dengan begitu, nilai tambah sektor ini bertambah dan memberi peluang yang lebih baik untuk masyarakat luas,” ucapnya.
Di luar itu, ia berharap pemerintah tetap mengupayakan peningkatan sektor di luar pertambangan. Sebab, struktur yang timpang berbahaya bagi ekonomi daerah. Saat sektor pertambangan mandek, sektor-sektor lain yang bergantung akan ikut tertahan yang membuat masyarakat merasakan dampak buruknya. Padahal, sektor pertanian dan kelautan adalah dua sektor utama yang menopang perekonomian selama ini.
Baca Juga: Sinyal Bahaya Ekonomi Sultra
Dalam dua gelombang menjamurnya pertambangan di Sultra, terjadi migrasi tenaga kerja yang tinggi, khususnya dari sektor pertanian. Dalam periode pertama, 2008-2012, tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 139.201 orang. Pada periode kedua meningkatnya sektor pertambangan, terjadi penurunan tenaga kerja sektor pertanian sebanyak 49.960 orang dalam kurun 2016-2018.
Dalam dua gelombang tersebut, daerah ini pernah ”mati suri” akibat berhentinya pertambangan. Hotel sepi dan banyak yang dijual oleh pemiliknya. Hal ini terjadi karena moratorium pertambangan dan pelarangan eskpor nikel mentah. Sektor lain yang turut mengikut, baik transportasi maupun logistik, ikut mandeg.
Direktur Walhi Sultra Andi Rahman mengingatkan, nikel merupakan sumber daya alam yang suatu saat akan habis dan tidak bisa dikeruk lagi. Sementara itu, dampak pertambangan akan terus menghantui masyarakat yang juga jauh dari sejahtera.
”Kita ini Bumi Anoa, tapi suatu saat Anoa-nya akan habis seiring hutan yang terus dibuka dan bukit yang terus dikeruk. Apakah kita akan menjadi Bumi Nikel yang hanya merasakan dampak negatifnya?” kata Rahman.
Refleksi kritis di hari jadi ke-59 Sultra ini setidaknya menjadi pelecut untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kesejahteraan bagi warga. Selamat ulang tahun Bumi Anoa!