Renovasi Stadion Kanjuruhan dan Suara Mendahulukan Proses Hukum
Stadion Kanjuruhan saat ini sedang direnovasi. Sejumlah pihak pun mengaku keberatan sebelum proses hukum berkeadilan tuntas.
Sebuah becak motor melintas di luar pagar renovasi Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (28/9/2023).
MALANG, KOMPAS — Sejak tiga pekan lalu, aktivitas di Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, berbeda dengan biasanya. Jika biasanya warga bisa menongkrong sambil menikmati kuliner di warung-warung kopi, belanja jersei dan lainnya di luar stadion, hal itu kini tidak bisa dilakukan.
Saat ini, pagar setinggi sekitar 2 meter dipasang mengelilingi stadion yang pembangunannya diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 9 Juni 2004 itu. Di dalamnya, para pekerja sibuk membongkar pintu dan dinding kios (warung) yang berderet mengelilingi stadion.
Sementara puluhan pedagang, baik yang sebelumnya menyewa kios maupun pedagang kaki lima (PKL) nonkios, digeser ke ruang kosong di sisi selatan (di utara kolam renang). Bangunan semipermanen dari bahan tripleks dan tempat terbuka tengah disiapkan bagi mereka.
Baca juga: Menanti Pemenuhan Janji Transformasi Sepak Bola Indonesia
Area di dalam pagar steril dari aktivitas orang yang dinilai tidak punya kepentingan. Sementara di luar pagar, masih di dalam kompleks stadion, warga masih bisa beraktivitas seperti biasa.
Setelah tragedi kelabu 1 Oktober 2022, kondisi stadion yang berjarak 25 kilometer di sisi selatan Kota Malang itu tidak terurus. Pintu-pintu terkunci, rumput di dalam stadion tumbuh liar, sedangkan pada dinding stadion terdapat berbagai grafiti yang menuntut dilakukan pengusutan sampai tuntas tragedi itu.
Berdasarkan pantauan Kompas, pemagaran itu secara otomatis juga membatasi keluarga korban tragedi kanjuruhan, Aremania, dan warga yang hendak berziarah ke pintu 13. Selama ini, Gate 13 menjadi salah satu titik di mana terdapat banyak korban jiwa pada tragedi kelabu 1 Oktober 2022 itu.
”Hari ini, kami datang untuk berziarah, ternyata juga tidak bisa masuk, ada pagarnya,” ujar Hani (41), salah satu peziarah asal Bandulan, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Kamis (28/9/2023).
Hani memanfaatkan waktu senggang libur Maulid Nabi Muhammad SAW yang sekaligus berdekatan dengan momentum satu tahun Tragedi Kanjuruhan untuk berziarah.
Baca juga: Pameran Merawat Ingat Menolak Lupa Tragedi Kanjuruhan
Kan, belum jelas juga siapa yang jadi tersangka utamanya. ’Saudara-saudara ku (korban), kan, sik onok ndek kene. (saudara-saudara ku masih ada di sini)’.
Soal renovasi, Hani mengaku sebetulnya kurang begitu sreg (setuju) karena pengusutan sampai tuntas tragedi tersebut belum selesai dilakukan. ”Kan, belum jelas juga siapa yang jadi tersangka utamanya. ‘Saudara-saudara ku (korban), kan, sik onok ndek kene. (saudara-saudara ku masih ada di sini),” ucapnya.
Sejumlah keluarga korban tragedi Kanjuruhan juga mengaku keberatan dengan renovasi itu dengan alasan masih diperlukan untuk proses hukum. Rekonstruksi di Kanjuruhan masih diperlukan karena dalam persidangan kasus laporan model A rekonstruksi dilakukan di lapangan Polda Jatim di Surabaya.
Aspirasi terkait penolakan itu juga sempat mereka sampaikan saat beraudiensi dengan DPRD Kabupaten Malang, Juli lalu.
Cholifatul Nur (40) atau yang biasa disapa Iffa, salah satu orangtua korban asal Bululawang, Kabupaten Malang, Jumat (29/9/2023), mengatakan sama sekali tidak setuju dengan renovasi stadion selama keadilan belum didapatkan oleh keluarga korban.
Baca juga: ”Momen of Silence”, Sekadar Gimik Peringatan Tragedi Kanjuruhan
Saat doa bersama beberapa waktu lalu, menurut Iffa, salah satu pegawai dari Dinas Pemuda dan Olaharaga (Dispora) Kabupaten Malang mengatakan, jika stadion itu tidak ada direnovasi lebih dulu. ”Di DPRD waktu audiensi, juga bilangnya seperti itu. Tapi, kenyataannya jadi direnovasi,” ujarnya.
Miftahuddin Ramly alias Midun—yang satu bulan lalu naik sepeda dari Malang menuju Jakarta untuk menyuarakan pengusuatan tuntas tragedi yang menewaskan 135 orang itu—juga mengaku kurang sependapat dengan proses renovasi yang terkesan tergesa-gesa. Menurut dia, proses hukum seharusnya didahulukan.
Kios semipermanen untuk pedagang selama proses renovasi Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (28/9/2023).
”Proses hukum di antaranya, kan, rekonstruksi. Mestinya mendahulukan rekonstruksi daripada renovasi. Kalau sudah rekonstruksi, silakan kalau mau direnovasi,” ucapnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dispora Kabupaten Malang Firmando H Matondang mengatakan, renovasi tidak mengubah bentuk konstruksi, tetapi lebih pada penguatan struktur konstruksi sesuai standar FIFA. Desain tangga, pintu, dan tempat duduk penonton juga disesuaikan menjadi kursi tunggal dengan kapasitas penonton sebanyak 21.728, terdiri atas VVIP, VIP, dan kelas ekonomi.
Total anggaran renovasi Rp 331 miliar dengan waktu pengerjaan 16 bulan. ”Soal renovasi saat ini, semua sudah diserahkan ke pihak Waskita Karya,” ujarnya.
Baca juga: MA Perberat Hukuman Panitia Pelaksana Arema FC
Antropolog Universitas Brawijaya Malang, Hatib Abdul Qadir, menilai, renovasi stadion sebagai upaya untuk menghilangkan ingatan. Ini yang dilakukan oleh penguasa di beberapa tempat terkait situs yang dulu menjadi lokasi terjadinya kekerasan yang dilakukan aparatur pemerintah.
Hal paling mudah yang bisa dilakukan oleh penguasa untuk menangani Tragedi Kanjuruhan, menurut Hatib, ialah penyelesaian dari sisi teknikal yang sifatnya kebendaan dan infrastruktur ketimbang hal yang substansial atau mengusut pihak yang paling bertanggung jawab.
”Terakhir di Aceh saat ada rumah bekas pelanggaran HAM berat, rumah Geudong di Piddie menjadi tempat ibadah. Caranya melupakan dengan dilakukan renovasi. Itu juga ketidakmauan pemerintan untuk mengusut sampai tuntas. Cara yang dilakukan adalah melupakan itu,” tuturnya seusai diskusi dalam rangka penutupan Pameran Seni Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.