Pameran ”Merawat Ingat Menolak Lupa” Tragedi Kanjuruhan
Bertajuk ”Merawat Ingat Menolak Lupa”, ada sekitar 52 karya di Galeri Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pameran bersama mengenang Tragedi Kanjuruhan digelar di Galeri Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, 25-29 September. Pameran ini digelar sebagai gerakan melawan lupa.
Bertajuk ”Merawat Ingat Menolak Lupa”, ada sekitar 52 karya yang dipamerkan, mulai dari lukisan, poster, sketsa, foto, puisi, hingga kliping berita, terkait tragedi yang menewaskan 135 orang itu.
Peserta pameran adalah mahasiswa hingga seniman grafis di luar kampus. Untuk menutup pameran, pada 29 September, menurut rencana, ada pemutaran film bersama Miftahuddin Ramli alias Midun yang sebelumnya naik sepeda dilengkapi keranda dari Malang ke Jakarta.
Tragedi Kanjuruhan terjadi 1 Oktober 2022 setelah laga Arema FC menjamu Persebaya Surabaya berakhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya, di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang. Selain jumlah korban jiwa yang mencapai 135 orang, lebih dari 500 suporter lainnya terluka.
Dengan melihat pameran ini saya teringat kembali momen-momen saat 135 nyawa melayang.
Ketua penyelenggara pameran, M Rafi A, yang juga dari Komite Aksi Kamisan Malang, Senin (25/9/2023), mengatakan, pameran ini merupakan bentuk bagaimana mereka merawat ingatan akan tragedi itu secara terus-menerus.
”Ini adalah keprihatinan kami terkait lumayan memudarnya pengingat terkait tragedi itu. Kami mencoba menjadi nyala lilin di acara itu,” ujarnya.
Menurut Rafi, melalui pameran ini pihaknya berupaya melawan ”politik pelupaan”. Jika pemerintah punya segala macam cara untuk tidak mengusut tuntas tragedi kelabu itu—dengan cara menguasai pengadilan dan lainnya—ada satu hal yang belum bisa mereka kuasai, yakni ingatan semua orang.
Dia mengatakan, setahun ini upaya membuat lupa terhadap tragedi itu terjadi di Malang. Bagaimana poster dan grafiti yang dulunya banyak menghiasi sudut kota di Malang sekarang berangsur lenyap dan bersih.
Salah satu mahasiswa Jurusan Seni Rupa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Natyaka (18), menuturkan, Tragedi Kanjuruhan begitu mencekam dan mengundang prihatin banyak warga Malang, bahkan Indonesia dan dunia. ”Dengan melihat pameran ini saya teringat kembali momen-momen saat 135 nyawa melayang,” katanya.
Natyaka yang warga Blitar tetapi berdomisili di Malang menambahkan, saat laga Arema vs Persebaya, dirinya sebenarnya sudah mengantongi tiket. Namun, karena ada tugas kuliah, dia lantas memberikan tiket itu ke kawan sehingga urung melihat laga derbi Jatim itu.
Natyaka pun mengamati perkembangan proses hukum akan tragedi tersebut. Menurut dia, penegakan hukum masih kurang maksimal meski demo-demo kerap dilakukan. ”Semuanya, seolah kurang didengar,” katanya.
Seperti diketahui, proses hukum penanganan laporan Model A yang ditangani pihak kepolisian menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka kemudian menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Kelima orang itu adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris (divonis 1 tahun 6 bulan penjara), Security Officer Arema FC Suko Sutrisno (divonis 1 tahun penjara), dan Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim Hasdarmawan (divonis 1 tahun 6 bulan penjara).
Selain itu, ada mantan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi dan Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Wahyu S Pranoto. Keduanya divonis bebas oleh majelis hakim PN Surabaya. Namun, dalam kasasi di Mahkamah Agung, Bambang dihukum 2 tahun penjara, sedangkan Wahyu 2 tahun 6 bulan.
Selain laporan Model A, dua orang keluarga korban juga membuat laporan Model B di Polres Malang dengan sangkaan pembunuhan dan pembunuhan berencana, yakni Pasal 338 dan 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun, Polres Malang—setelah melakukan gelar perkara, termasuk dengan keluarga korban—menyatakan unsur-unsur dalam pasal yang disangkakan tidak terpenuhi.