Tragedi Kanjuruhan, MA Perberat Hukuman Panitia Pelaksana Arema FC
Mahkamah Agung memperberat hukuman Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris yang dinilai lalai atau alpa sehingga menyebabkan tewasnya 135 suporter bola dalam Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Spanduk bernada tuntutan untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan masih terpampang di sejumlah titik di area Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, sebagaimana diabadikan Kamis (20/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Satu tahun menjelang peringatan Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Mahkamah Agung memperberat hukuman Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris. MA menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum dan memperberat hukuman dari 1,5 tahun menjadi dua tahun penjara.
Putusan kasasi itu dibacakan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Dwiarso Budi Santiarto, Senin (25/9/2023). Dwiarso didampingi anggota majelis hakim lainnya, yaitu Jupriyadi dan Prim Haryadi.
Dilansir dari sistem informasi perkara MA, Selasa (26/9/2023), perkara memang sudah diputus oleh Mahkamah Agung. Namun, minutasi perkaranya atau proses menjadikan berkas-berkas perkara menjadi arsip negara masih diproses sehingga belum sepenuhnya diunggah ke sistem informasi penelusuran perkara MA.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara MA Suharto membenarkan mengenai putusan tersebut. Majelis hakim menolak kasasi jaksa penuntut umum dan memperbaiki vonis terdakwa Abdul Haris dari 1,5 tahun menjadi dua tahun penjara. ”Tentang pertimbangan hukumnya tunggu saja putusan lengkapnya. Nantinya akan diunggah di sistem informasi administrasi perkara MA,” ujar Suharto singkat.
Terdakwa Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris (kanan) dan Security Officer Suko Sutrisno duduk bersama sebelum dimulainya sidang kasus Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/3/2023).
Seperti diberitakan sebelumnya, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan kecewa dengan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri Surabaya. Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris hanya divonis 1,5 tahun penjara. Abdul Haris adalah salah satu terdakwa yang bertanggung jawab dalam kasus tragedi yang menewaskan 135 suporter pada 1 Oktober 2022 (Kompas.id,9 Maret 2023).
Majelis hakim yang diketuai Abu Achmad Sidqi dan anggota majelis hakim Mangapul serta I Ketut Kimiarsa itu menyatakan Haris lalai sehingga menyebabkan 135 nyawa hilang dan 674 orang lainnya terluka seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. Haris dinilai lalai karena tak mengantisipasi kondisi darurat yang terjadi dalam laga tersebut.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena berpendapat, di luar diperberatnya hukuman sejumlah terdakwa dalam Tragedi Kanjuruhan, ia mengingatkan agar pemerintah menggunakan momentum ini untuk mengevaluasi total penggunaan kekuatan oleh kepolisian. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak melihat putusan itu berdiri secara tunggal. Sebab, ada masalah struktural yang juga penting untuk dievaluasi, yaitu penggunaan gas air mata secara serampangan oleh aparat keamanan.
”Sesudah Tragedi Kanjuruhan, kita masih melihat penggunaan gas air mata yang serampangan oleh aparat kepolisian. Terutama untuk menangani kerumunan massa seperti di Dago Elos, Bandung, Jawa Barat, dan Rempang, Kepulauan Riau,” kata Wirya.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena berbicara dalam konferensi pers soal penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai, Papua, Rabu (27/7/2022).
Setelah ada putusan dari MA, masyarakat diminta untuk bersama-sama mendesak agar kepolisian mengevaluasi penggunaan kekuatan saat menghadapi kerumunan massa, baik itu aksi protes, demonstrasi, maupun peristiwa lainnya. Ia melihat, pascakejadian ini, pemerintah dan kepolisian belum serius dalam mengevaluasi aspek tersebut. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi pola yang dinormalisasi dalam prosedur standar operasi (SOP) penanganan kerumunan massa atau masalah sosial oleh kepolisian.
Wirya menilai, akuntabilitas dalam perkara ini tidak bisa dilihat tunggal dari tanggung jawab orang per orang, tetapi melihat konstruksi perkara secara utuh. Oleh karena itu, akuntabilitas yang perlu ditekankan adalah evaluasi institusional Polri. Sesudah kasus Kanjuruhan, perlu dilakukan evaluasi total agar situasi serupa tidak terulang kembali.
”Keadilan baru bisa dicapai saat ada evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian terhadap penggunaan kekuatan yang berlebihan. Kanjuruhan menjadi titik kulminasinya sehingga makin jelas kebutuhan evaluasi itu,” kata Wirya.
Ia mengutip instrumen HAM internasional tentang penggunaan gas air mata dan penggunaan kekuatan oleh Polri. Gas air mata tidak boleh digunakan sebagai instrumen utama dalam menangani konflik sosial. Instrumen HAM itu juga memuat tentang panduan dan penjelasan tentang gas air mata tidak boleh digunakan di ruang-ruang tertentu, seperti ruangan yang sempit. Hal-hal itu dinilainya sudah cukup jelas diatur dalam panduan internasional yang bisa dipedomani oleh aparat keamanan.