Komnas HAM: Ada Indikasi Pengerahan Kekuatan Berlebih di Insiden Rempang
Meskipun ada indikasi, Komnas HAM masih perlu memverifikasi ke pihak-pihak terkait untuk mencari fakta-fakta dan peristiwa sebenarnya dalam insiden yang terjadi di Pulau Rempang.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendalami indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa kericuhan di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat pengerahan kekuatan berlebihan dari gabungan aparat dan penggunaan gas air mata kepada masyarakat pada 7 September 2023.
”Meskipun ada indikasi, sebagai lembaga negara kami perlu memverifikasi ke pihak-pihak terkait untuk mencari fakta-fakta dan peristiwa sebenarnya,” kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin P Siagian, seusai menerima audiensi Solidaritas Nasional untuk Rempang di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Saurlin menjelaskan, pihaknya melakukan investigasi di Pulau Rempang selama tiga hari pada Jumat–Minggu, 15–17 September 2023. Temuan Komnas HAM hampir sama dengan laporan Solidaritas Nasional untuk Rempang yang menyatakan adanya dimensi pelanggaran HAM di Pulau Rempang.
Baca juga: Rempang, Proyek Strategis Nasional, dan Luka Sosial
Temuan tersebut, misalnya, terkait adanya jumlah aparat beserta kendaraan taktisnya dan tidak terukurnya tindakan aparat dalam menembak gas air mata.
Selain itu, pada peristiwa 7 September 2023, polisi yang menembakkan gas air mata di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, hingga luka fisik pada anak-anak yang sedang melakukan pembelajaran. Padahal, pihak sekolah sudah mengimbau dan memperingatkan agar polisi tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah.
”Kami juga mendapatkan temuan mengenai selongsong gas air mata. Tetapi, kami perlu melihat lebih lanjut apakah selongsong itu memang dipakai oleh aparat, sudah ada di sana sebelum kejadian, atau ada yang menempatkan di sana, itu perlu kami verifikasi lebih lanjut. Kami akan membuat kesimpulan dan rekomendasi,” jelas Saurlin.
Ia menyebutkan, sebelum peristiwa bentrokan di Rempang terjadi, Komnas HAM telah menerima aduan masyarakat mengenai penolakan relokasi dan adanya penggusuran paksa masyarakat di Pulau Rempang. Aduan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Komnas HAM dengan melakukan mediasi dan pertemuan dengan pihak-pihak terkait pada Juni lalu untuk menghentikan rencana relokasi warga Rempang.
Baca juga: Memahami Kasus Pulau Rempang
”Kami sedang membicarakan agar masyarakat tidak mengalami penggusuran paksa, tetapi ternyata ada eskalasi situasi di lapangan yang berujung bentrokan. Ini menunjukkan ada upaya percepatan-percepatan yang dilakukan pemerintah. Kami meminta pemerintah untuk memperhatikan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan memastikan keselamatan masyarakat,” kata Saurlin.
Dalam laporan berjudul ”Keadilan Timpang di Pulau Rempang” yang dikeluarkan Solidaritas Nasional untuk Rempang disebutkan, ada indikasi pelanggaran HAM di Rempang. Pelanggaran HAM itu seperti adanya brutalitas aparat dan penggunaan kekuatan berlebihan yang mengakibatkan kekerasan.
Eksesifnya tindakan aparat tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap berbagai aturan, seperti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara.
Laporan itu menyebutkan, seharusnya aparat keamanan dapat mengupayakan tindakan lain selain menggunakan gas air mata. Berdasarkan Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tindakan yang dapat dilakukan kepolisian dapat berupa kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, hingga kendali senjata tumpul.
Selain itu, berdasarkan laporan yang dikeluarkan pada Minggu (17/9/2023), terdapat delapan orang yang ditangkap dan dituduh melakukan perlawanan pascakejadian pada 7 September 2023. Penangkapan dinilai bentuk kriminalisasi masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Mengacu Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Perwakilan Solidaritas Nasional untuk Rempang, sekaligus Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Rozy Brilian, mengatakan, pihaknya berharap Komnas HAM dapat menyatakan kasus di Rempang sebagai pelanggaran HAM.
”Hal ini sangat penting untuk mencegah tindakan polisi yang terulang. Selain itu, ini penting agar proses pemulihan dapat berjalan secara efektif dan maksimal. Kami juga meminta pemerintah mengutamakan dialog ke masyarakat dan tidak mendorong pasukan keamanan berlebihan,” katanya.
Baca juga: Menggugat Dalih Pembangunan Rempang
Rozy menjelaskan, saat ini masyarakat di Rempang hidup dalam iklim ketakutan dengan kehadiran aparat gabungan yang terdiri dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Iklim ketakutan itu muncul karena ada isu sweeping. Sebagian masyarakat bahkan lari ke hutan karena takut ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menampik adanya tindakan berlebihan dari aparat gabungan, termasuk TNI.
Menurut dia, yang terjadi justru adanya provokator dari pihak luar Pulau Rempang yang mencoba melempar batu dan melakukan kekerasan terhadap polisi.