Beragam Cara Warga Melawan Darurat Sampah di Yogyakarta
Di tengah kondisi darurat sampah di Yogyakarta, sejumlah warga mengelola sampah dengan beragam cara. Pengelolaan sampah organik dengan biopori, losida, dan ember tumpuk dipraktikkan untuk mengurangi timbulan sampah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Untuk mengelola sampah organik, sejumlah warga Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memilih membuat biopori atau lubang resapan di dalam tanah. Biopori dibuat dengan melubangi tanah, lalu memasang pipa paralon ke dalam lubang tersebut. Kedalaman biopori biasanya sekitar 1 meter dengan diameter 10-30 sentimeter.
Menurut Ketua RT 051 RW 011 Kelurahan Bumijo, Joko Sularno (60), sejak beberapa tahun lalu, sebagian warga di lingkungan itu mulai membuat biopori untuk menampung sampah organik. Jumlah biopori di wilayah itu kian bertambah setelah Pemerintah Kota Yogyakarta menyosialisasikan program Mbah Dirjo atau Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori ala Jogja.
Program Mbah Dirjo diluncurkan sejak akhir Juli 2023 untuk mengurangi timbulan sampah di Yogyakarta. Program itu dibuat sebagai respons atas kondisi darurat sampah di Yogyakarta yang terjadi karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan di Kabupaten Bantul, DIY, tidak beroperasi secara penuh.
Joko menuturkan, biopori bisa digunakan untuk menampung berbagai jenis sampah organik. Sentuhan sampah dengan tanah di dalam biopori akan mempercepat pembusukan sehingga sampah organik bakal berubah menjadi kompos dengan sendirinya dalam waktu sekitar tiga bulan.
Pengelolaan sampah dengan biopori terlihat sederhana. Namun, Joko menyebut, pembuatan biopori tidak semudah yang dibayangkan karena keterbatasan lahan di permukiman warga. ”Rumah sebagian warga itu tidak ada pekarangannya. Jadi, di depan pintu rumah itu langsung jalan,” katanya saat ditemui, Jumat (15/9/2023).
Untuk membuat biopori, kata Joko, warga harus mengebor jalan dan membongkar paving block yang sudah terpasang belasan tahun. Warga juga mendapat bantuan pipa untuk pembuatan biopori dari Pemkot Yogyakarta. Meski cukup sulit, warga di RT 051 RW 011 Kelurahan Bumijo cukup antusias membuat biopori.
Bahkan, ada warga yang sudah memiliki biopori sebelumnya, tapi ingin membuat lagi setelah adanya bantuan pipa dari Pemkot Yogyakarta. ”Ada warga yang sebelumnya memiliki dua biopori, tapi setelah mendapatkan bantuan, jumlah bioporinya bertambah jadi empat,” ujar Joko yang juga merintis Bank Sampah Lintas Wingongo di Kelurahan Bumijo.
Saat ini, kata Joko, terdapat 40 biopori biasa dan 10 biopori jumbo di lingkungan RT 051 RW 011 Kelurahan Bumijo. Selain biopori, warga di wilayah tersebut juga mengelola sampah organik dengan beberapa alat lain, misalnya lodong sisa dapur (losida), jugangan, galon tumpuk, dan ember tumpuk.
Salah seorang warga di wilayah itu yang mengelola sampah organik dengan jugangan atau lubang di tanah adalah Dwi Heri (48). Dwi membuat jugangan di samping rumahnya dengan ukuran 2 meter x 40 cm dan kedalaman 40 cm untuk menampung sampah organik. Tumpukan sampah itu lalu ditutup dengan daun-daun kering.
Dari jugangan itu, Dwi bisa ”memanen” kompos setiap enam bulan sekali. ”Dari panen terakhir, saya bisa mendapatkan 20 karung kompos,” tuturnya bangga.
Pembuatan biopori juga dilakukan warga RW 003, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Marsono (45), salah seorang pegiat Bank Sampah Sumirat di RW 003 Kelurahan Purbayan, mengatakan, sebagian biopori di wilayah itu dibuat dengan melubangi area yang telah disemen di sekitar rumah.
”Ini karena sebagian warga sudah mengecor semua area di luar rumah sehingga tidak ada lagi tersisa tanah untuk pembuatan biopori,” kata Marsono.
Selain biopori, Marsono menyebut, warga juga membuat losida untuk mengelola sampah organik. Losida dibuat menggunakan pipa paralon yang sebagian ditanam ke dalam tanah di pekarangan atau pot. Berbeda dengan pipa biopori yang seluruhnya ditanam di dalam tanah sehingga tak kelihatan, sebagian pipa losida masih terlihat.
”Karena pipa paralon harganya cukup mahal, saya sempat bikin inovasi membuat losida dengan botol air mineral bekas. Botol itu dibuat bertumpuk-tumpuk sehingga jadi memanjang seperti pipa,” tutur Marsono.
Pengolahan sampah organik juga dilakukan dengan ember tumpuk. Hal itu dilakukan dengan cara menumpuk dua ember. Ember pertama menjadi tempat untuk menampung sampah organik agar menjadi kompos, sedangkan ember kedua menampung air dari sampah yang kemudian diproses menjadi pupuk cair.
Marsono menuturkan, karena mahalnya harga ember cat bekas, dirinya berinovasi mengganti ember dengan galon bekas yang tidak bisa diisi ulang. Ternyata, metode ember tumpuk dengan galon itu berhasil. Bahkan, belakangan hal tersebut banyak ditiru oleh warga lainnya. ”Galon bekas tersebut banyak dijual dengan harga murah, hanya Rp 500 per galon,” ujarnya.
Ada warga yang sebelumnya memiliki dua biopori, tapi setelah mendapatkan bantuan, jumlah bioporinya bertambah jadi empat.
29.800 biopori
Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas dan Pengawasan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Christina Endang Setyowati, mengatakan, program Mbah Dirjo dijalankan dengan memberi bantuan 40 pipa paralon biopori dan peralatan pendukung ke bank sampah di Yogyakarta secara bertahap. Saat ini, terdata ada 658 bank sampah di Yogyakarta.
Pengurus bank sampah lalu diminta mendistribusikan bantuan itu kepada 20 warga yang menjadi nasabah bank sampah. Dengan alokasi bantuan itu, diharapkan ada dua biopori di tiap rumah warga penerima bantuan. Selain rumah warga, gerakan Mbah Dirjo juga didorong dilakukan di kantor, hotel, restoran, dan sekolah.
Hingga saat ini, kata Christina, jumlah biopori yang ada di Yogyakarta sekitar 29.800 titik. Pengolahan sampah dengan biopori itu disebut mengurangi timbulan sampah sekitar 60 ton per hari. Sementara itu, pengelolaan sampah anorganik melalui bank sampah di Yogyakarta bisa mengurangi sampah sekitar 87 ton.
Oleh karena itu, pengelolaan sampah organik dan anorganik itu diperkirakan bisa mengurangi hampir 50 persen dari total volume sampah di Yogyakarta yang mencapai 300 ton per hari. Untuk meningkatkan jumlah sampah yang bisa dikurangi, Christina meminta seluruh elemen masyarakat terus bergerak untuk memilah dan mengolah sampah.
”Kata kunci untuk mengurangi sampah sebenarnya adalah memilah sampah mulai dari rumah,” tutur Christina.