Kalang Kabut Warga di Tengah Darurat Sampah Yogyakarta
Kondisi darurat sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan sederet masalah. Selain penumpukan sampah di berbagai lokasi, tingkat polusi udara juga naik yang diduga karena maraknya pembakaran sampah.
Daerah Istimewa Yogyakarta sedang mengalami darurat sampah karena Tempat Pemrosesan Akhir atau TPA Regional Piyungan tak bisa beroperasi optimal. Akibatnya, banyak warga yang kalang kabut mengelola sampahnya. Tumpukan sampah muncul di banyak tempat dan sebagian warga nekat membakar sampah sehingga menimbulkan polusi udara.
Selama beberapa hari terakhir, Agatha (45) kebingungan mengelola sampah di kafe miliknya. Sejak sekitar dua pekan lalu, petugas pengangkut sampah tak lagi datang ke kafe di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, itu. Akibatnya, sampah pun menumpuk.
Karena tak kunjung menemukan solusi untuk mengelola sampahnya, Agatha akhirnya menumpuk sampah itu di jalan sekitar kafenya. ”Sampah selama dua minggu lebih masih saya biarkan di sekitar kafe. Sudah lebih dari 10 kantong sampah yang menumpuk,” katanya, Selasa (8/8/2023).
Menurut Agatha, kebanyakan sampah itu terdiri dari sampah kertas dan sisa makanan. Aneka jenis sampah itu tercampur menjadi satu. Pada waktu sebelumnya ada tukang pengangkut sampah yang rutin mengambil sampah dari kafe itu setiap hari. Namun, sejak akhir Juli 2023, sampah dari kafe milik Agatha tak lagi diambil.
”Ini saya masih cari orang yang bisa ngangkut sampah,” tutur dia.
Persoalan serupa juga terjadi di rumah Agatha di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Sleman. Oleh karena tak bisa mengelola sampah yang menumpuk, Agatha pun menyuruh asisten rumah tangganya membakar sampah di lahan kosong di perumahan tempatnya tinggal. ”Tetangga-tetangga yang lain juga sering membakar sampah di situ,” ujarnya.
Masalah yang dialami Agatha itu terjadi akibat kondisi TPA Regional Piyungan di Kabupaten Bantul, DIY, tak bisa beroperasi optimal. Padahal, selama ini, TPA itu menampung sampah dari tiga wilayah DIY, yakni Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Rata-rata sampah yang dibuang ke TPA tersebut sekitar 700 ton per hari.
Baca juga: TPA Piyungan Tutup Sampai September, Kabupaten/Kota di DIY Diminta Mandiri Kelola Sampah
Awalnya, Pemerintah Daerah DIY hendak menutup TPA Regional Piyungan mulai 23 Juli hingga 5 September 2023 karena area penampungan sampah di sana nyaris penuh. Penutupan total itu sempat berjalan beberapa hari. Namun, mulai 28 Juli lalu, TPA itu dibuka kembali secara terbatas untuk menampung sampah dari Kota Yogyakarta dengan kuota 100 ton per hari.
Meski TPA Regional Piyungan sudah dibuka terbatas, kondisi darurat sampah di sejumlah wilayah DIY belum teratasi. Situasi itu tampak dari munculnya tumpukan sampah yang dibuang sembarangan di pinggir jalan maupun tempat umum. Bahkan, tumpukan sampah sempat muncul di Alun-alun Selatan Yogyakarta.
Selain itu, banyak warga yang juga masih kebingungan untuk mengelola sampah di rumahnya. Hal itu, antara lain, dirasakan oleh Rika (35), warga Desa Sidomoyo, Kecamatan Godean, Sleman. Karena kebingungan, dia akhirnya memasukkan sampah ke dalam karung-karung besar yang diletakkan di depan rumah.
”Kami hanya bisa mengumpulkan sampah dan berharap TPA Regional Piyungan segera normal lagi,” katanya. Rika mengaku tak sempat memilah dan mengolah sampah karena dirinya dan sang suami sama-sama sibuk bekerja. Apalagi, keduanya baru memiliki bayi berusia tiga minggu.
Polusi udara
Situasi serupa dialami Wulan (34), warga Kelurahan Baciro, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Dia menyebut, setelah TPA Regional Piyungan mengalami masalah, sampah di kampungnya sempat tak diambil sekitar seminggu. Hal ini karena Pemerintah Kota Yogyakarta menutup depo-depo sampah selama beberapa hari.
Wulan menambahkan, setelah Pemkot Yogyakarta membuka kembali sejumlah depo, sampah di kampungnya mulai diambil lagi. Namun, pengambilan sampah itu tak dilakukan setiap hari, melainkan dua sampai tiga hari sekali.
”Jadi, tetap ada beberapa tumpukan sampah,” katanya.
Baca juga: TPA Piyungan Tutup, Pemda DIY Siapkan Lahan Penampungan Sampah Sementara
Menurut Wulan, sebagian warga di kampungnya juga membakar sampah sehingga menimbulkan polusi udara. Bahkan, Wulan mengaku merasa pusing saat mencium asap akibat pembakaran sampah itu. Apalagi, dia masih dalam masa pemulihan setelah terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sekitar sebulan lalu.
”Kondisi di sekitar rumah saya itu sering ada asap pembakaran sampah dan karena yang dibakar itu sampah plastik, kerasa banget baunya,” ungkapnya.
Aktivitas membakar sampah itu diduga turut menyebabkan memburuknya kualitas udara di DIY. Berdasarkan data Nafas, perusahaan pemantau kualitas udara berbasis teknologi, tingkat polusi udara di DIY terpantau meningkat pada akhir Juli 2023 atau setelah TPA Regional Piyungan tak beroperasi optimal.
Kami hanya bisa mengumpulkan sampah dan berharap TPA Regional Piyungan segera normal lagi.
Hal itu tampak dari peningkatan tingkat konsentrasi PM 2,5, yakni partikel padat polusi udara yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer. Menurut data Nafas, tingkat PM 2,5 di DIY terpantau melonjak sejak 23 Juli 2023. Rata-rata harian PM 2,5 tertinggi di DIY terpantau pada 25 Juli, yakni sebesar 136 μg/m3 atau mikrogram per meter kubik.
Tingkat PM 2,5 setinggi itu tergolong tidak sehat. Sebab, menurut Nafas, kualitas udara bisa dikatakan baik jika tingkat PM 2,5 sebesar 0-12 μg/m3. ”Dalam bulan Juli, ada peak (puncak) sampai 136 μg/m3. Selama beberapa bulan sebelumnya, kita tidak lihat polusi setinggi ini di Yogyakarta,” kata pendiri Nafas, Piotr Jakubowski, dalam webinar Nafas Buka Data, Selasa (8/8/2023).
Upaya pemda
Menghadapi kondisi darurat sampah itu, Pemerintah Kabupaten Sleman mengoperasikan Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS) Tamanmartani sejak Senin (7/8/2023). TPSS dengan luas sekitar 3.000 meter persegi itu akan menampung sampah selama TPA Regional Piyungan tak beroperasi optimal.
Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo mengatakan, TPSS Tamanmartani direncanakan menampung 50 ton sampah per hari. Namun, jumlah itu jauh lebih sedikit dibanding jumlah sampah yang dihasilkan di Sleman. Berdasar data Dinas Lingkungan Hidup Sleman, pada Juni 2023, rata-rata jumlah sampah di Sleman yang dibuang ke TPA Regional Piyungan sebanyak 254 ton per hari.
Oleh karena itu, Kustini mengimbau masyarakat untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di rumah. ”Karena sampah di Sleman memang banyak sekali, kami anjurkan untuk selalu memilah sampah di rumah tangga untuk mengurangi tumpukan sampah,” ujarnya.
Baca juga: Pemkab Sleman Operasikan TPSS Tamanmartani, Tampung 50 Ton Sampah Per Hari
Sementara itu, Pemkot Yogyakarta menggalakkan gerakan Mbah Dirjo atau Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori ala Jogja. Dengan gerakan itu, Pemkot Yogyakarta mengajak masyarakat untuk mengelola sampah organik melalui biopori.
”Kami juga memberikan surat edaran kepada seluruh karyawan di Pemkot Yogyakarta dan BUMD (badan usaha milik daerah) untuk melaksanakan Mbah Dirjo. Minimal ada satu biopori untuk satu karyawan dibuat dan dipasang di rumah masing-masing,” kata Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo.
Adapun Bupati Bantul Abdul Halim Muslih menerbitkan Keputusan Bupati Nomor 333 Tahun 2023 tentang Status Darurat Pengelolaan Sampah. Dalam keputusan itu, Halim meminta berbagai pihak melakukan sejumlah kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Salah satu yang harus dilakukan adalah pemilahan sampah organik dan anorganik di level rumah tangga.
Setiap rumah tangga juga diminta mengolah sampah organik menjadi kompos dengan metode komposter ataupun pembuatan jugangan atau lubang di tanah. Sementara itu, sampah organik bisa dikelola oleh Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) atau badan usaha milik desa di wilayah masing-masing.
Timbulan sampah menjadi persoalan yang krusial manakala tidak dikelola secara memadai dari hulu hingga hilir. Problem darurat sampah di DIY menjadi pelajaran berharga bagi daerah lain agar tidak mengalami persoalan serupa dalam mengelola sampahnya.