Delapan Masyarakat Hukum Adat di Aceh Peroleh Hak Kelola Hutan
Delapan masyarakat hukum adat di Aceh memperoleh hak menguasai dan mengelola hutan adat mukim. Penetapan itu disambut baik karena hutan menjadi sandaran hidup masyarakat adat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Imum Mukim Beungga, Ilyas (kanan), menunjukkan kawasan hutan lindung di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, yang akan diusulkan sebagai hutan adat, Selasa (14/2/2023).
BANDA ACEH, KOMPAS — Setelah berjuang dan menanti dalam waktu panjang, delapan masyarakat hukum adat di Aceh akhirnya memperoleh hak menguasai dan mengelola hutan adat mukim. Masyarakat adat pun menyambut baik pemberian hak tersebut karena hutan menjadi sandaran hidup mereka.
Menurut rencana, penyerahan surat keputusan kepada delapan masyarakat hukum adat di Aceh itu akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (18/9/2023) ini. Selain hutan adat, pada waktu bersamaan juga diserahkan surat keputusan pengelolaan perhutanan sosial.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, dari delapan wilayah hutan adat mukim yang ditetapkan itu, tiga di antaranya berada di Kabupaten Bireuen, yakni di Mukim Blang Birah, Mukim Krueng, dan Mukim Kuta Jeumpa.
Selain itu, ada di Mukim Paloh, Mukim Kunyet, dan Mukim Beungga di Kabupaten Pidie serta Mukim Krueng Sabee dan Mukim Panga Pasi, Kabupaten Aceh Jaya. Mukim merupakan satuan wilayah di Aceh di bawah kecamatan yang terdiri atas beberapa desa.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Rehabilitasi Lahan, Bina Usaha, dan Perhutanan Sosial DLHK Aceh Asrul mengatakan, melalui skema hutan adat, pemerintah memberikan hak kepada masyarakat adat menguasai hutan tanpa batas waktu.
Meski begitu, pengelolaan hutan oleh masyarakat adat harus sesuai dengan fungsi hutan. ”Masyarakat adat diharapkan dapat menjaga hutan dan mengelolanya sesuai peruntukan,” kata Asrul.
Khalidin, Kepala Mukim Kunyet, mengatakan, masyarakat adat di wilayah itu mengusulkan pengelolaan hutan adat seluas 4.200 hektar. Namun, dia belum mengetahui berapa luasan hutan adat yang disetujui pemerintah untuk dikelola masyarakat adat.
Pada Senin ini, Khalidin berada di Jakarta untuk menerima surat keputusan penetapan hutan adat Mukim Kunyet. ”Saya belum pegang surat keputusannya sehingga belum tahu berapa luas yang disetujui. Namun, kami sangat bahagia akhirnya perjuangan panjang ini berhasil,” katanya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Suasana Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, dengan latar hutan adat. Masyarakat desa itu menerima Kalpataru tahun 2019 sebagai penghargaan tertinggi di bidang penyelamatan lingkungan.
Khalidin menambahkan, selama ini, hutan adat mukim yang mereka usulkan tersebut telah dikelola oleh warga secara turun-temurun. Di lahan itu, masyarakat adat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, menurut dia, sebagian area hutan juga dipertahankan sebagai kawasan lindung untuk menjaga sumber air bersih.
Ketua Tim Peneliti Hutan Adat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Teuku Muttaqin Mansur, mengatakan, perizinan hutan adat di Aceh terhambat karena adanya ketidakselarasan pemahaman mengenai aturan terkait masyarakat hukum adat.
Selama ini, Muttaqin dan beberapa lembaga swadaya masyarakat di Aceh ikut mendorong pemerintah pusat mempercepat pengesahan hutan adat mukim. Sebab, secara historis, masyarakat sebuah mukim di Aceh memang memiliki wilayah hutan yang dikelola turun-temurun.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Kawasan hutan lindung di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, yang akan diusulkan sebagai hutan adat, Selasa (14/2/2023).
Selain itu, di Aceh juga terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengketaan persoalan adat. LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.
Melalui hutan adat mukim, semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan pemimpin mukim.
Masyarakat adat diharapkan dapat menjaga hutan dan mengelolanya sesuai peruntukan.