Meninggal di Malaysia, Tiga Jenazah Pekerja Migran Ilegal Tiba di Kupang
Jumlah pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri terus bertambah. Pada Sabtu (16/9/2023), tiga jenazah pekerja migran ilegal yang meninggal di Malaysia tiba di Bandara El Tari, Kupang.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS —Tiga jenazah pekerja migran ilegal tiba di Bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (16/9/2023). Ketiganya bekerja di lokasi berbeda di Malaysia dan meninggal dunia karena sakit. Peristiwa ini menambah daftar panjang pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri.
Identitas tiga jenazah itu adalah Robertus Beremau (48), warga Desa Umaklaran, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu; Suria Thalib (34), warga Desa Bheramari, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende; dan Agustinus Bria Klau (51), warga Desa Biris, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka.
Koordinator Pendampingan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa, mengatakan, jenazah Robertus Beremau tiba di Bandara El Tari dengan maskapai Citilink pada Sabtu pukul 06.00 Wita. Sementara itu, dua jenazah lain tiba dengan pesawat Garuda Indonesia pukul 12.45 Wita.
Dengan kedatangan tiga jenazah tersebut, Gabriel menyebut, jumlah pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri pada tahun ini telah mencapai 107 orang. Mereka terdiri dari 76 laki-laki dan 31 perempuan.
”Korban terbanyak dari Kabupaten Malaka sebanyak 22 orang. Menyusul dari Ende sebanyak 16 orang, Flores Timur ada 12 orang, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 10 orang,” kata Gabriel di Kupang, Sabtu (16/9/2023).
Gabriel menuturkan, pada tahun ini, rata-rata ada 11 pekerja migran illegal asal NTT yang meninggal di luar negeri setiap bulan. Sebagian besar dari mereka meninggal karena sakit. Para pekerja migran pria biasanya bekerja di sejumlah perkebunan besar, seperti kelapa sawit, cokelat, durian, cengkeh, dan tanaman hortikultura.
Mereka bekerja di hutan yang jauh dari kota agar tidak terpantau aparat kepolisian dan imigrasi. Saat bekerja, mereka tidak memperhatikan kondisi kesehatan dan tidak beristirahat secara cukup.
Para pekerja migran ilegal itu juga tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Makanan dan air bersih yang mereka punyai juga terbatas. Selain itu, mereka juga jarang berbelanja ke kota karena takut ditangkap kepolisian. Meski begitu, masih banyak warga NTT yang tergiur menjadi pekerja migran ilegal.
Kekeringan ekstrem yang berdampak pada gagal panen, gizi buruk, dan rawan pangan, serta kesulitan mendapatkan lowongan kerja, mendorong warga memilih menjadi pekerja migran illegal. Iming-iming dari calo dan ajakan anggota keluarga yang pernah bekerja di luar negeri juga turut mendorong banyaknya warga menjadi pekerja migran ilegal.
Jefri Tamonob (32), warga Kelurahan Naimata, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, mengatakan, saat ini sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak di Kupang guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itu, dia mengaku ingin kembali menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri.
Namun, saat ini Jefri belum memiliki uang untuk membayar calo. Untuk membayar calo yang bisa memberangkatkan pekerja migran ilegal dibutuhkan uang sampai Rp 10 juta per orang.
Jefri menyebut, lima bulan lalu, seorang temannya telah berangkat menjadi pekerja migran ilegal ke wilayah Tawau, Malaysia, dengan membayar uang Rp 10 juta kepada calo. Sang teman meminjam uang kepada seorang pengusaha di Kupang dengan menggadaikan tanah seluas 4 hektar di wilayah Baun yang berjarak 25 kilometer arah utara Kota Kupang
”Dia bilang uang pinjamannya sudah dicicil Rp 5 juta, sisa Rp 5 juta lagi. Dia juga sudah kirim Rp 5 juta untuk biaya hidup keluarga,” kata Jefri yang pernah menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri.
Menurut Jefri, kebanyakan pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri itu sudah lama merantau. Dia menambahkan, banyak pekerja migran ilegal yang hidup berfoya-foya dan kerap singgah di tempat hiburan malam di kamp pekerja perkebunan.
”Coba cek baik-baik. Pekerja migran illegal yang meninggal di luar negeri itu apakah mereka baru dua sampai tiga tahun di sana atau sudah lebih dari itu. Kalau meninggal karena sakit, kebanyakan mereka sudah lebih dari tiga tahun,” ujar Jefri.