Lima Tahun Terakhir, 657 Jenazah Pekerja Migran dari NTT Dikirim Pulang
Lima tahun terakhir, sebanyak 657 jenazah PMI asal NTT dikirim melalui Bandara El Tari Kupang. Hingga pertengahan bulan ke-3 tahun ini saja sudah ada 21 peti jenazah yang dikirim.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
DOKUMEN SR LAURENTIA PI
Sr Laurentia PI menyalakan lilin di bawah kaki peti jenazah Oce Liu (31) yang dibunuh suaminya di Malaysia, saat jenazah itu disemayamkan di RSUD WZ Yohannes Kupang, Jumat (17/2/2023). Oce Liu dibunuh suami karena cemburu. Dalam lima tahun terakhir, Sr Laurentia PI telah menangani 657 peti jenazah yang dikirim melalui Bandara El Tari Kupang.
KUPANG, KOMPAS- Dalam lima tahun terakhir, sedikitnya 657 pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri. Sebagian besar merupakan pekerja ilegal. Angka itu diperoleh berdasarkan jumlah peti jenazah yang dibawa pulang ke NTT melalui Bandara El Tari Kupang dan ditangani sukarelawan. Kesulitan ekonomi mendorong mereka memilih menjadi pekerja migran ilegal.
Relawan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Nusa Tenggara Timur, Sr Laurentia PI, di Kupang, Kamis (16/3/2023), mengatakan, data 657 itu hanya yang dihimpun dari peti jenazah yang diterima melalui Bandara El Tari Kupang selama lima tahun terakhir. Tetapi, dalam pemberitaan sejumlah media massa, selama lima tahun terakhir, jumlah PMI yang meninggal di luar negeri lebih dari 800 orang.
”Sesuai jumlah peti jenazah yang kami terima dalam lima tahun terakhir sekitar 657. Sebagian besar merupakan pekerja migran Indonesia NTT ilegal. Mereka ini berangkat ke luar negeri, terutama ke Malaysia, setelah diperdaya oleh para calo PMI baik dari NTT maupun dari luar NTT. Tetapi, belakangan para calo ini tidak bekerja terang-terangan seperti sebelumnya. Mereka tetap ada, tetapi sembunyi-sembunyi beraktivitas,” kata biarawati Katolik ini.
Selama 2023 saja, hingga 13 Maret 2023 sudah ada 21 peti jenazah yang diterima Sr Laurentia melalui Bandara El Tari Kupang.
Jumlah itu belum termasuk jenazah yang dimakamkan secara diam-diam di Malaysia karena kesulitan biaya pemulangan. Apalagi, mereka sudah puluhan bahkan ratusan tahun menetap di Malaysia dan beranak pinak di sana.
Jenazah Agus Bange, pekerja migran ilegal, dari Ngada yang turun di Bandara El Tari Kupang dengan salah satu maskapai penerbangan dari Jakarta, Jenazah ini disemayamkan satu malam di RSUD Yohannes Kupang sebelum diberangkatkan dengan pesawat ke Ngada. Dokumen Timotius Kopong Subhan.
Sr Laurentia menangani khusus peti jenazah PMI asal NTT ini didorong oleh sejumlah kasus yang ia alami. Banyak peti jenazah itu begitu tiba di Bandara El Tari Kupang telantar selama 3-5 hari karena alamat korban tidak diketahui dengan jelas.
Korban menggunakan nama palsu, alamat palsu, serta tempat dan tanggal lahir pun palsu. Mereka dulu diberangkatkan ke luar negeri oleh para calo. Mereka masih di bawah umur, tetapi nama, usia, dan alamat mereka dipalsukan sehingga dianggap layak sebagai PMI di luar negeri. Karena itu, ketika jenazah tiba di Bandara El Tari Kupang, tidak ada yang mengenalnya. Meski pihak Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT mengetahui jenazah itu, alamat sebenarnya pun mereka belum paham.
Ketika jenazah tiba di Bandara El Tari Kupang, tidak ada yang mengenalnya.
”Saya bekerja sama dengan BP3TKI. Menelusuri nama, alamat, dan orangtua sebenarnya dari para korban. Setelah jelas mendapatkan alamat tinggal korban, juga orangtua serta keluarga korban, peti jenazah itu diantar ke tempat tujuan. Ada orangtua yang menerima, tetapi ada pula orangtua yang menolak dengan alasan jenazah itu bukan anak atau anggota keluarga mereka,” katanya.
Tetapi, setelah dijelaskan dengan menghadirkan aparat desa, orangtua atau pihak keluarga, akhirnya keluarga menerima jenazah itu. Itu hanya beberapa kasus. Kebanyakan orangtua sudah mendengar informasi kematian anggota keluarga mereka di luar negeri. Mereka siap menerima jenazah yang datang.
Peti Jenazah Anaklitus Resi (55) sedang diangkut dengan alat bantu untuk masuk ke kapal motor Sabuk Nusantara 90 dari Kupang ke Ende. Biasanya jenazah diangkut dengan feri karena biaya angkut melalui pesawat pun mahal.
Dengan bantuan BP3TKI NTT, Laurentia mengatar jenazah itu sampai tempat tujuan, terutama di daratan Timor. Korban yang beralamatkan di Sumba, Flores, Alor,Rote, dan Sabu dikirim langsung melalui kapal laut atau pesawat.
Ia mengatakan, kisah paling tragis yang ditangani adalah kematian Oca Liu (31), ibu empat anak dari Desa Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Ia dibunuh suaminya, Ferdi Liu (34), akibat cemburu buta.
Suaminya ditangkap Polisi Diraja Malaysia dan ditahan di Malaysia. Sementara empat orang anak, seusai kejadian, ditangani di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. ”Saya belum tahu persis apakah mereka sudah dipulangkan di Timor atau belum,” kata Laurentia.
Pengalaman berikut adalah mengatar jenazah PMI asal Ende, Anaklitus Ressi. Jenazah itu diangkat ke kapal laut Sabuk Nusantara 99 dengan alat khusus. Kapal feri rute Kupang-Ende berhenti berlayar karena cuaca buruk.
TKI ilegal dari Indonesia setiap hari pulang dari Tawao, Sabah, Malaysia, menuju Nunukan, berbatasan dengan Tawao, Malaysia. Mereka membawa barang-barang dari Malaysia karena menurut mereka barang-barang itu jauh lebih murah di Malaysia dibanding di Indonesia. Di Pelabuhan Nunukan ini pula, semua TKI ilegal dari NTT menyeberang menuju Tawao sebelum berangkat ke wilayah lain di Sabah.
Yohanes Manek (53), tokoh masyarakat NTT yang berdomisili di Nunukan, Kalimantan Utara, mengatakan, sejak pandemi Covid-19, jumlah PMI NTT yang masuk ke Sabah Malaysia secara ilegal dan legal berkurang. Selain karena larangan Pemerintah Malaysia, juga gaji pekerja kelapa sawit di Malaysia dan Kalimatan hampir sama. Banyak pencari kerja asal NTT memilih bekerja di Kalimantan.
”Kalau mendapat gaji Rp 4 juta-Rp 15 juta per bulan di perkebunan sawit Kalimantan, mengapa harus pergi ke Malaysia. Kerja di negeri sendiri jauh lebih aman. Lagi pula, mereka tidak lagi ditipu oleh calo-calo di Nunukan, atau Batam,” kata Manek.
Kepala BP3TKI NTT Siwa mengatakan, sulit mengendalikan TKI ilegal dari NTT. Kesulitan ekonomi rumah tangga mendorong mereka itu memilih menjadi TKI ilegal. Namun, sekarang, kebanyakan memilih menjadi pekerja antardaerah, yakni wilayah Kalimantan. Selain itu, sebagian perempuan memilih menjadi asisten rumah tangga di DKI Jakarta dan provinsi lain.
Ia mengatakan, kalau ada kerja sama mengenai tenaga kerja antardaerah, dari provinsi NTT dengan daerah lain, itu lebih baik lagi. Selama ini kebanyakan dari mereka jalan sendiri, melalui pengantara yakni rekan-rekan mereka yang sudah lebih dulu bekerja di tempat itu. ”Mereka tidak akan menjadi PMI ilegal di luar negeri lagi,” katanya.
Kemiskinan seperti satu keluarga di Desa Tuamese, Timor Tengah Utara, NTT, ini mendorong mereka menjadi TKI ilegal ke luar negeri. Permasalahan terkait TKI ilegal ini pun sangat rumit diselesaikan. Setiap tahun lebih dari 100 TKI ilegal meninggal di luar negeri karena kecelakaan kerja, penyakit, dan penganiayaan oleh majikan.