Saat anak-anak telah mengakui perbuatannya kepada orangtua, para orangtua justru tidak terima. Yang terjadi, mereka mengambinghitamkan si korban, YSA, sebagai pelaku kejahatan seksual.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Pakar seksolog dan aktivis HAM menilai ketimpangan jender dan relasi kuasa telah mengorbankan YSA, ibu muda di Kota Jambi, yang didakwa sebagai pencabul anak-anak. Meski YSA berjuang melaporkan pemerkosaan yang dialami, peluang mendapatkan jalan keadilan ditutup sejak di tahapan awal.
Hal itu diungkap saksi ahli yang merupakan pakar seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Budi Wahyuni, dan aktivis Lembaga Bantuan Hukum Padang, Ranti, di Jambi, Selasa (5/9/2023).
Budi menyebut, YSA merupakan potret yang mewakili korban praktik ketimpangan jender dan relasi kuasa. Ia menjadi korban pemerkosaan oleh sekelompok anak. Saat anak-anak telah mengakui perbuatannya kepada orangtua mereka, para orangtua tidak terima. Lalu, berbalik mengambinghitamkan YSA dengan tuduhan sebaliknya, mencabuli anak-anak. ”Relasi kuasa itu memungkinkan terjadinya kekerasan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, anak-anak bisa tak berani untuk melakukan kekerasan seksual, tetapi akan melakukan sebaliknya jika bersama-sama temannya. Keberanian kolektif merupakan cara untuk menambah keberanian dan, jika ada risiko, akan ditanggung bersama.
Dalam berbagai aktivitas atau perilaku kolektif, lanjutnya, secara tidak langsung memunculkan solidaritas untuk mencapai tujuan. Terlebih jika ada salah satu yang menginisiasi. ”Siapa bilang anak-anak tidak mungkin memerkosa orang dewasa. Sangat mungkin,” ujarnya.
Dari pengalamannya, Budi mendapati banyak kasus perkosaan cenderung dilakukan secara kolektif. Perbuatan yang dilakukan kolektif, katanya, menimbulkan rasa lebih berani dibandingkan kalau dilakukan sendirian.
Budi sebelumnya menyampaikan kesaksian sebagai ahli dalam sidang kasus YSA di Pengadilan Negeri Jambi, Senin (4/9/2023). Sidang itu berlangsung tertutup dipimpin hakim ketua Alex Mangatur dan hakim anggota Yofistian dan N Arifin. Sidang juga dihadiri jaksa penuntut umum Noraida dan aktivis LBH Padang sekaligus kuasa hukum terdakwa, Ranti Putri, serta pendampung terdakwa dari Komunitas Beranda Perempuan.
Siapa bilang anak-anak tidak mungkin memerkosa orang dewasa. Sangat mungkin.
Dalam kesempatan itu, Budi menerangkan sejumlah mitos yang dipergunakan aparat penegak hukum untuk mendakwa YSA sebagai penjahat seksual. Salah satunya terkait dakwaan bahwa YSA menyuruh anak-anak menggunakan alat pompa ASI untuk memperbesar payudara. Menurut Budi menyebut dakwaan itu tak berdasar. ”Pompa ASI, kan, tidak dapat membesarkan payudara. Itu mitos,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan perihal seksualitas perempuan yang masih menyusui anaknya. Sebagaimana diketahui, saat dituduh mencabuli anak-anak, YSA dalam kondisi masih menyusui bayinya yang kala itu berusia 11 bulan. Menurut Budi, perempuan yang mengalami proses reproduksi, termasuk proses menyusui, secara biologis akan mudah lelah dan sensitif karena hormon estrogren dan progresteron bekerja secara aktif.
Konstruksi sosial psikologi akan mewarnai kehidupan seks seseorang. Dalam konstruksi jender, biasanya perempuan ditempatkan tidak layak untuk memunculkan kebutuhan atau dorongan seksnya.
Persidangan itu menuai sejumlah kejanggalan. Ranti sempat mempertanyakan hakim dan JPU karena tidak menghadirkan suami YSA sebagai saksi kunci. Menurut dia, ada kejanggalan di balik itu.
Adapun jaksa beralasan tidak menghadirkan suami YSA sebagai saksi karena menilai tidak terkait langsung dengan dakwaan. Sidang akan dilanjutkan kembali pada Senin (11/9/2023) dengan agenda penuntutan.
Menurut Ranti, kejanggalan lain dalam kasus ini adalah laporan yang diberikan YSA ke kepolisian sejak awal ditutup. Aparat bahkan dinilai sengaja tidak melakukan visum vaginal pada hari yang sama.
Aparat juga berasumsi sejak dini bahwa bekas luka pada tangan dan bagian leher merupakan upaya YSA melukai diri sendiri, bukan akibat perbuatan pelaku pemerkosaan.
”Sejak awal aparat telah dipenuhi dengan asumsi dan tuduhan sehingga minimnya penanganan terhadap kasus YSA sebagai korban menciptakan banyak kejanggalan,” ujarnya.