Tantangan dalam Mewujudkan Keanekaragaman Hayati IKN
Pemerintah punya rencana menghubungkan sejumlah hutan di sekitar Ibu Kota Nusantara yang terputus oleh jalan dan hal lain. Sejumlah langkah dan persiapan perlu dilakukan.
Mewujudkan keanekaragaman hayati di Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur punya sejumlah tantangan. Selain kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal, kebiasaan masyarakat berhadapan dengan satwa liar dan kondisi hutan alami yang tak tersambung menjadi perhatian dan pekerjaan rumah.
Dari sekitar 250.000 luas Ibu Kota Nusantara, pemerintah berencana menjadikan 65 persen wilayah ibu kota baru itu sebagai hutan. Otorita IKN mencatat, pada tahun 2022 pemerintah sudah mulai menanam pohon di sekitar Kawasan Inti Pusat Pemerintahan IKN seluas 1.200 hektar. Adapun di tahun ini direncanakan 500 hektar lahan akan ditanami bibit pohon lagi, seperti meranti, sengon, nangka, dan sukun. Setiap 1 hektar lahan ditanami sekitar 400 bibit.
Bibit pohon itulah yang akan dirawat hingga puluhan tahun mendatang. Itu diharapkan bisa mengembalikan lahan IKN yang sebelumnya berupa hutan tanaman industri—hutan dengan pohon homogen—menjadi hutan yang ditinggali satwa dan tumbuhan beragam.
Hutan di IKN itu direncanakan tersambung dengan hutan-hutan lainnya di sekitar IKN, seperti Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan, hutan tropis Bukit Bangkirai di Kutai Kartanegara, dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara.
Hutan Lindung Sungai Wain dengan luas sekitar 11.000 hektar adalah rimba terakhir yang tersisa di Kota Balikpapan, kota terdekat dengan Nusantara. Di hutan itu, terdapat lebih dari 200 jenis burung, puluhan jenis reptil, dan sekitar 100 satwa menyusui.
Baca juga: Menunggu Langkah Nyata Menjaga Keanekaragaman Hayati di IKN
Sedikitnya ada 27 jenis satwa dilindungi di dalam kawasan itu, termasuk beruang madu dan macan dahan. Selain itu, Hutan Lindung Sungai Wain juga menjadi tempat pelepasliaran orangutan Kalimantan pada tahun 1992-1993. Dengan keunikannya itu, hari ini Hutan Lindung Sungai Wain hanya tersambung dengan Bukit Bangkirai. Ia tak tersambung dengan kawasan mangrove di sekitar Teluk Balikpapan lantaran terpotong proyek jalan tol.
Adapun dari Bukit Bangkirai ke Tahura Bukit Soeharto terpotong oleh jalan raya. Begitu juga Tahura Bukit Soeharto tak tersambung ke area Nusantara karena terputus oleh banyak hal, seperti jalan, kebun warga, konsesi perusahaan, hingga permukiman.
Kondisi ini membuat sejumlah satwa unik dan penting di hutan-hutan itu terancam tak bisa bermigrasi dengan baik dari wilayah hutan satu ke hutan lainnya. Ini membuat konflik satwa dan manusia tak terhindarkan. Hal ini bisa terlihat di jalan raya di sepanjang Kilometer 38 Jalan Soekarno-Hatta menuju Bukit Bangkirai.
Di sejumlah titik jalan, banyak kera ekor panjang di tepi jalan. Beberapa di antaranya menyeberangi jalan yang kerap dilalui kendaraan berat. Saat ada mobil menepi di sana, kera-kera itu tak jarang naik ke atap atau kap mobil. Banyak yang menduga hal ini terjadi lantaran sejumlah orang yang melintasi daerah itu sering memberi makanan kepada kera-kera itu.
Akibatnya, kera-kera itu jadi kehilangan sifat liarnya untuk mencari makan secara mandiri. Hewan itu jadi berharap orang-orang yang melintas memberi mereka makan. Mereka jadi tak lagi takut dengan manusia, malah mendekat ke manusia saat ada kendaraan yang berhenti atau melintas.
Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Otorita IKN Pungky Widiaryanto mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk merancang Nusantara sebagai kota yang bisa menjalankan konservasi keanekaragaman hayati. Mula-mula, kata Pungky, awal September 2023 Otorita IKN akan mengadakan kelompok diskusi terarah (FGD). Itu akan diikuti oleh akademisi, pemerintah daerah dan pusat, serta pegiat lingkungan.
FGD tersebut akan merangkum potret keanekaragaman hayati yang ada di sekitar IKN. Dari sana, ujar Pungky, bisa diketahui kondisi nyata keanekaragaman hayati di sekitar Nusantara, misalnya apa yang membuat hutan-hutan penting di sekitar IKN tidak tersambung, satwa penting apa yang ada di dalamnya, dan tumbuhan unik apa saja yang menyokong hutan tersebut.
Data tersebut bisa dijadikan pijakan Otorita IKN untuk menyusun rencana induk keanekaragaman hayati (biodiversity masterplan)IKN. Hasilnya, kata Pungky, bisa berupa dokumen yang mengikat sebagai acuan pembangunan keanekaragaman hayati di IKN.
”Bentuk (dokumennya) nanti, belum sampai sana pembahasannya. Kalau nanti masukan dari FGD adalah Peraturan Kepala (perka) Otorita IKN, akan di-perka-kan,” kata Pungky saat berbincang dengan Kompas di sela-sela kegiatan Kemah Konservasi di Kawasan Bukit Bangkirai, Kutai Kartanegara, Minggu (20/8/2023).
Pungky mengatakan, pihaknya juga akan menyusun rencana koridor satwa liar untuk menghubungkan hutan-hutan di sekitar IKN, yakni Hutan Lindung Sungai Wain, Bukit Bangkirai, Tahura Bukit Soeharto, dan hutan di IKN. Koridor itu akan menyesuaikan hasil identifikasi dan kondisi keanekaragaman hayati di sekitar Nusantara.
Baca juga: Ingatan yang Tersisa Soal Lumbung Pangan di Ibu Kota Baru
Selain itu, rancangan koridor satwa akan disesuaikan dengan karakter satwa yang menjadi spesies payung, spesies yang memiliki jelajah luas. Spesies ini berperan menjadi penyebar benih dari sisa makanan yang mereka makan. Dengan demikian, spesies ini turut membantu kelangsungan spesies lain, baik itu tumbuhan ataupun satwa lain yang memanfaatkan tumbuhan dari sisa makanan spesies payung.
Dua spesies payung di Hutan Lindung Sungai Wain ialah beruang madu dan orangutan. Ke depannya, kata Pungky, pemerintah akan membangun koridor satwa berupa jembatan (flyover) atau semacam terowongan (underpass) di jalan yang memutus hutan-hutan di sekitar IKN.
Dengan kondisi hutan di sekitar IKN saat ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim melihat ada potensi konflik satwa. Fenomena monyet kera ekor panjang yang ”menunggu makanan” di tepi jalan dari Samboja menuju Nusantara bisa memicu konflik antara satwa dan manusia. Misalnya, kera itu bisa menyeberang jalan saat kendaraan melintas. Hal itu bisa membuat pengendara terkejut dan terjadi kecelakaan.
Dalam sebuah diskusi di Kemah Konservasi, Pengendali Ekosistem Hutan Muda BKSDA Kaltim Yoyok Sugianto mengatakan, koridor satwa merupakan salah satu bentuk mitigasi agar tak terjadi konflik satwa. Koridor satwa ini bisa melengkapi dua kebutuhan utama satwa, yakni habitat yang baik dan ketersediaan pakan di alam.
”Kalau dua kebutuhan ini terpenuhi, otomatis konflik antara manusia dan satwa liar akan terhindarkan,” kata Yoyok.
Baca juga: Bersoyong, Ritual Suku Asli IKN yang Sirna Seiring Hutan Menyempit
Dalam diskusi tersebut, Daniel Waluyo (33), yang mendampingi siswa dalam Kemah Konservasi, bercerita, kebun milik orangtuanya pernah dimasuki monyet ekor merah dan beruang madu. Itu, katanya, belum pernah terjadi sebelumnya di Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku. Itu baru terjadi setelah adanya pembangunan Bendungan Sepaku Semoi, salah satu proyek pendukung IKN. Daniel mengatakan, keluarganya kebingungan bagaimana menghadapi satwa tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Agus Irwanto dari Borneo Orangutan Survival Foundation mengatakan, salah satu hal yang perlu disiapkan pemerintah dalam menyiapkan kota hutan di IKN yang tersambung dengan hutan alami di sekitarnya adalah edukasi kepada warga.
Koridor satwa ini bisa melengkapi dua kebutuhan utama satwa, yakni habitat yang baik dan ketersediaan pakan di alam.
Sosialisasi menjadi penting supaya warga tahu mesti bersikap apa ketika berhadapan dengan satwa yang masuk ke permukiman atau kebun warga. ”Warga mesti tahu mitigasi. Mesti ada sosialisasi tentang satwa mana yang dilindungi dan lainnya. Warga harus berkontak ke mana saat melihat satwa masuk ke tempat tinggal,” kata Agus.
Persoalan yang mengemuka di masa pembangunan awal IKN ini mesti diselesaikan sejak dini. Mitigasi dan edukasi kepada warga yang bakal hidup berdampingan dengan hutan adalah jalan panjang yang perlu dilalui sebelum mimpi kota hutan IKN terwujud.