Saksi ahli menilai YSA, ibu muda asal Jambi yang dituduh mencabuli anak-anak, mengalami sejumlah pelanggaran HAM dan kekerasan berlapis. Ia bahkan mengalami stigma oleh pers.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Saksi ahli mengungkap ibu muda di Kota Jambi yang dituduh mencabuli anak-anak, YSA (21), alami kekerasan seksual berlapis. Saksi ahli juga menyebut lima jenis pelanggaran HAM dialami YSA selama proses hukum berlangsung.
Yuniyanti Chuzaifah, ahli gender yang ditunjuk Komnas Perempuan (KP) sebagai saksi ahli menyebut YSA mengalami sejumlah pelanggaran HAM. Pertama, hak keadilannya tertolak.
”Saat dia melaporkan kasus yang kemudian ditutup karena buktinya dianggap tidak cukup. Tidak ada visum vaginal,” katanya, Selasa (29/8/2023).
Yuniyanti juga menyampaikan temuan lainnya dalam sidang yang berlangsung tertutup di Pengadilan Negeri Jambi, Senin (28/8).
Sidang dipimpin Hakim Ketua Alex Mangatur dan Hakim Anggota Yofistian dan N Arifin. Sidang juga dihadiri jaksa penuntut umum Noraida dan kuasa hukum terdakwa, Ranti Putri.
Ia menyebut aparat penegak hukum bertindak atas asumsi. Asumsi itu di antaranya, aparat karena melihat YSA tidak tampak sedih sehingga menilainya bukan korban melainkan pelaku.
Ia juga menilai terjadi aseksualisasi isu anak. Seakan-akan anak-anak serba benar. Temuan Koalisi Perempuan, ada 35 kasus kekerasan seksual yang pelakunya anak. Ada 22 kasus gank rape anak dilakukan kepada perempuan.
Ini mengerikan sekali. Anak-anak yang ”dilindungi” dengan hukum, menghilangkan impunitas
Ia menekankan KP perlu hadir untuk menyetop praktik-praktik berulang. ”Ini mengerikan sekali. Anak-anak yang ”dilindungi” dengan hukum, menghilangkan impunitas,” tambahnya. Selain itu, ia pun menyebut YSA mengalami stigma oleh pers (trial by media).
Meski YSA berstatus terdakwa karena dituduh sebagai pencabul anak-anak di kampungnya, Yuniyanti menilai YSA adalah korban. ”Walaupun dalam hukum di sini posisinya terdakwa, dalam temuan KP, YSA justru mengalami beberapa lapis kekerasan,” tuturnya.
Indikasi kuat mengarah pada anak-anak sebagai pelaku. Di sisi lain, ia menyebut anak-anak juga korban karena dalam konteks anak-anak tumbuh dalam situasi tak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi yang layak.
Saksi ahli lainnya, Nathanael Eldanus, ahli psikolog forensik Universitas Indonesia memberikan pandangannya bagaimana mendapatkan keterangan yang kredibel dan berkualitas dari anak-anak.
”Kita tetap harus menguji, mengevaluasi, dan mengkritisi berbagai skenario kemungkinan, tidak hanya pernyataan yang bisa saja bias konfirmasi,” katanya. Setiap anak pada dasarnya mampu memberikan keterangan berbasis memori yang sesuai dengan pengalaman terjadi. Namun, lanjutnya, bila kondisi tidak tepat dan mereka dipengaruhi sugesti tertentu, anak-anak berpotensi memberikan keterangan bias.
”Anak itu rentan yang namanya memberikan keterangan yang bisa dikatakan tidak sesuai pengalaman, ketika diproses minta keterangan itu mengandung sugesti atau di coaching terlebih dahulu,” jelasnya.
Sementara itu, perwakilan kuasa hukum YSA, Dechtree Ranti Putri dari LBH Padang, berharap agar kasus ini diselesaikan dengan melihat dan mempertimbangkan keterangan ahli dan memberikan keadilan kepada YSA.
Dari fakta persidangan, ia mendapati banyak kejanggalan yang memberatkan YSA sejak awal. Misalnya, tuduhan terkait YSA memaksa anak-anak pompa ASI. Ia mendorong agak YSA mendapatkan perlakuan adil.
Selain itu, anak-anak perlu diberi ruang mengungkap fakta dengan jujur. Sehingga tidak ada impunitas terhadap tindakan kekerasan seksual di masa depan mereka nanti.
Pada sidang, hakim ketua menyampaikan sidang akan dilanjutkan kembali Senin (4/9/2023).