Surabaya Terus Berjuang untuk Merdeka dari Kemiskinan
Peringatan 78 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, menjadi momen untuk perjuangan abadi pengentasan 3.000 keluarga miskin ekstrem dari 65.000 keluarga miskin.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Peringatan HUT Ke-78 RI, Kamis (17/8/2023), perlu jadi momen perjuangan abadi pemberantasan kemiskinan. Di Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 65.000 keluarga yang 3.000 keluarga di antaranya terbelenggu kemiskinan ekstrem.
Mengentaskan masyarakat dari kemiskinan menjadi salah satu isi pesan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam upacara peringatan HUT Ke-78 RI di Balai Kota Surabaya. ”Selama ada kemiskinan, kebodohan, pengangguran, stunting, dan sebagainya, maka perjuangan tidak berhenti. Harus terus berjuang untuk mengentaskan itu semua,” ujar Eri.
Itu dimaksud ialah beragam masalah yang diyakini bersumber dari kemiskinan. Akibat kemiskinan, akan terjadi kebodohan, pengangguran, stunting atau tengkes, dan kejahatan.
Eri mengatakan, perjuangan ditempuh dengan semangat Pancasila, yakni keadilan, kerakyatan, persatuan, kemanusiaan, dan ketuhanan. ”Kesatuan untuk membentuk (bangsa) Nusantara yang sejahtera,” kata Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jatim itu.
Perjuangan saat ini berbeda dengan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dahulu, perjuangan dengan revolusi melawan penjajah Belanda, Jepang, dan sekutu untuk melahirkan Indonesia.
Sejak kemerdekaan, perjuangan seperti disebut dalam Preambule UUD 1945 untuk membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
”Perjuangan masih panjang, tetapi dengan bersama-sama pasti bisa,” kata Eri.
Di Surabaya, salah satu contoh perjuangan berada di jalur keberhasilan ialah program pengentasan anak balita tengkes. Pada 2020 tercatat 12.800 anak balita tengkes yang dalam setahun diturunkan menjadi 6.700 anak balita. Setahun kemudian, angka bisa diturunkan lagi menjadi 2.000 anak balita tengkes. Sampai dengan Juli lalu, anak balita tengkes tersisa 600 anak balita.
Pada 2022 atau dalam masa pemulihan akibat pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, ekonomi tumbuh 6,5 persen. Pertumbuhan itu diklaim menurunkan penduduk miskin yang 5,2 persen pada 2021 menjadi 4,7 persen setahun kemudian. Yang miskin ekstrem masih ada, yakni 0,8 persen yang menurut catatan terkini berjumlah 3.000 keluarga.
Pemerintah mencoba mengintervensi untuk melakukan percepatan pengentasan rakyat dari kemiskinan dengan program padat karya di setiap kecamatan. Keluarga miskin dan miskin ekstrem berkesempatan menambah penghasilan dengan dilatih, misalnya, membuat paving yang produknya dibeli untuk pemavingan gang atau jalan kecil.
Selain itu, rehabilitasi rumah tidak layak huni dengan material yang berasal dari usaha mikro kecil (UMK) terdekat sehingga terpenuhi prinsip dari, oleh, untuk warga.
Masyarakat miskin menjadi gagal menolong dirinya sendiri dan amat bergantung pada bantuan uang tunai itu.
Secara terpisah, Ketua DPRD Surabaya Dominikus Adi Sutarwijono mengingatkan, keberhasilan program padat karya sebagai intervensi untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan bergantung pada ketekunan dan konsistensi masyarakat untuk mengikuti dan berupaya.
Keluarga miskin dan miskin ekstrem tidak akan berubah jika sekadar berpangku tangan menerima bantuan. Masyarakat perlu tetap berjuang melahirkan kreativitas sehingga program tawaran pemerintah berdampak optimal dan maksimal.
Keluarga miskin dan miskin ekstrem didorong untuk berpenghasilan di atas upah minimum kota yang Rp 4,525 juta per bulan. Namun, upah ini sebenarnya standar untuk pekerja lajang dan baru lulus pendidikan minimal SLTA. Standar harus ditingkatkan, seperti pernah disampaikan Eri bahwa keluarga tidak akan rentan miskin jika berpenghasilan setidaknya dua kali lipat dari upah minimum.
Secara terpisah, Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi dan Dekan FISIP Universitas Airlangga, mengingatkan, beragam kendala akan terus menyertai tekad dan perjuangan masyarakat di Surabaya untuk menjadi metropolitan yang modern dan maju. Salah satu kendala adalah mental negatif yang hidup dalam masyarakat, yakni lebih memilih berpangku tangan dan menunggu bantuan.
Sebelumnya, Dinas Sosial Surabaya pernah mengungkapkan di Surabaya ada lebih dari 219.000 jiwa orang miskin. Sebanyak 19.600 di antaranya enggan menerima tawaran lowongan kerja program padat karya. Padahal, program ini menyasar 19.500 keluarga miskin dan miskin ekstrem.
”Itulah dampak negatif kebijakan negara yang bertahun-tahun memberi bantuan tunai langsung. Masyarakat miskin menjadi gagal menolong dirinya sendiri dan amat bergantung pada bantuan uang tunai itu,” ujar Bagong.
Program padat karya perlu dilihat sebagai bantuan berupa aset produktif yang bisa dioptimalkan untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan secara sistemik atau menyeluruh dan berkesinambungan. Namun, pengoptimalan memerlukan perjuangan atau usaha yang tidak instan alias kerja keras dan cerdas.