Tiga Bulan Siswa di NTT Fokus Meningkatkan Keterampilan Baca, Tulis, dan Hitung
Tiga bulan ke depan, siswa SD dan sekolah menengah yang belum mahir membaca, menulis, dan berhitung fokus menulis, membaca, dan menghitung. Pendidikan harus dikelola secara bertanggung jawab.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Tiga bulan pertama, masuk tahun ajaran 2023/2024, siswa sekolah dasar dan menengah di Nusa Tenggara Timur difokuskan meningkatkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Upaya ini perlu dimasifkan karena kondisi lebih buruk menimpa siswa yang di pedalaman.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur (NTT) Linus Lusi di Kupang, Senin (14/8/2023), mengatakan, wacanasejumlah siswa sekolah menengah dan sekolah dasar di Kota Kupang belum tahu membaca, menulis, dan menghitung, menjadi perhatian dinas pendidikan dan kebudayaan. Itu pertanda ada yang tidak beres di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah.
Dikatakan, tiga bulan pertama tahun ajaran 2023/2024 ini, instansi ini fokus pada keterampilan siswa membaca, menulis, dan dan berhitung. ”Kami fokus pada kelas satu, tetapi jika ada siswa di kelas lebih tinggi juga mengalami kesulitan serupa, mereka juga masuk program baca, tulis, dan hitung mulai tahun pelajaran ini,” kata Linus.
Khusus sekolah menengah, para wali kelas melakukan pendataan, berapa siswa di sekolah itu belum mahir membaca, menulis, dan menghitung. Mereka akan diberi kesempatan memperdalam keterampilan itu. Jika tidak mampu,tidak boleh diberi kesempatan naik kelas atau lulus ujian akhir karena akan mengganggu mutu lulusan di kemudian hari.
Kasus ini mencuat setelah salah satu SMP negeri di Kota Kupang melaporkan sebanyak 45 siswa di sekolah itu tidak tahu membaca, menulis, dan menghitung. Menyusul laporan itu, sejumlah sekolah ramai-ramai melaporkan kasus serupa.
Klaim belum mahir
Namun, Linus membantah, para siswa itu tidak tahu menulis, membaca, dan menghitung. Yang benar, para siswa belum mahir membaca, menulis, dan menghitung. Mereka sudah bisa membaca tetapi masih mengeja huruf demi huruf.
Mengenai fungsi dan peran keberadaan pendidikan anak usia dini (PAUD), dan taman kanak (TK) yang ada, Linus mengatakan, PAUD itu tidak mengajarkan keterampilan menulis, membaca, dan menghitung. Sekolah usia dini itu hanya menghimpun anak-anak untuk bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain.
Juga mengenai maraknya kegiatan literasi di desa-desa, Linus mengajak kelompok masyarakat penggerak literasi ini perlu terus didorong agar terus membantu mengasah keterampilan siswa.
”Gerakan literasi ini sudah meluas di seluruh kabupaten/kota di NTT. Diharapkan kelompok ini juga peduli terhadap masalah yang sedang menimpa anak didik saat ini,” katanya.
Ketua Dewan Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, jika mutu pendidikan dasar dan menengah di pusat ibu kota provinsi saja, banyak siswa belum tahu baca, tulis, hitung, apalagi siswa di pedalaman. Sekolah di kota sebagian besar dihuni guru guru negeri, dengan upah yang lebih memadai ketimbang guru di pedalaman yang dikuasai guru honorer.
Dari sisi ekonomi, pun anak-anak itu berasal dari keluarga yang relatif lebih baik dibandingkan dengan siswa di pedalaman. Mereka memiliki sarana dan prasarana belajar yang cukup dibanding sekolah pedalaman. Jika siswa di pusat ibu kota provinsi belum mahir baca, tulis, dan hitung, itu patut dipertanyakan.
Ia menekankan, peran pengawas sekolah harus lebih aktif turun ke sekolah. Berinteraksi langsung dengan kepala sekolah, guru-guru, dan siswa. Memantau kurikulum sekolah, dan instrumen-instrumen yang diajarkan di sekolah itu. Termasuk menguji keterampilan baca, tulis, dan menghitung para siswa.
”Apabila ada siswa tidak tahu baca, tulis, dan hitung, tentu guru dan kepala sekolah langsung tahu. Mereka tidak bisa lagi berbohong dan memberi laporan yang berbeda ke atasan. Guru dan kepala sekolah menjadi malu, dan bekerja maksimal mencerdaskan anak-anak,” kata Simon.
Kondisi lebih memprihatinkan, yakni sekolah dasar dan menengah di pedalaman. Banyak siswa dilaporkan naik kelas dan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tetapi, siswa itu sendiri belum mahir pandai membaca, menulis, dan menghitung. Proses pendidikan seperti ini sangat disayangkan.
Sekolah di pedalaman didominasi guru honorer. Jika ada guru negeri, itu pun menjabat kepala sekolah. Guru negeri ini lebih memilih tinggal di kota kabupaten. Menjelang gajian atau ujian kenaikan kelas, guru negeri itu kembali ke sekolah pedalaman.
Banyak kesulitan menetap di desa. Jaringan internet yang buruk, ketersediaan listrik terbatas, akses jalan ke desa buruk, keterbatasan toko dan kios penyedia bahan pokok, dan fasilitas kesehatan yang jauh dari desa.
Apabila ada siswa tidak tahu baca, tulis, dan hitung, tentu guru dan kepala sekolah langsung tahu. (Simon Riwu)
Bahkan guru honorer dari desa itu, jika sudah diangkat menjadi guru pegawai pemerintah pun lebih memilih tinggal di kota ketimbang desa. Jaminan gaji yang lebih memadai dan mampu berbelanja sejumlah bahan kebutuhan pokok, mendorong mereka lebih memilih tinggal di kota.
Sementara sebagian besar guru honorer lulusan SMA atau sederajat dipercaya sebagai ujung tombak pendidikan di pedalaman. Kualitas lulusan SMA di pedalaman pun masih rendah. Kemampuan mengajar para lulusan SMA ini pun masih jauh dari harapan.
Sebagian besar guru honorer mengajar sambil mengikuti kuliah di Universitas Terbuka, program kuliah jarak jauh di daerah itu. Mereka ini diupah Rp 200.000–Rp 500.000 per bulan, dibayar setiap tiga bulan. Dengan upah seperti itu, semangat pengabdian mereka pun sangat rendah.
Ia menegaskan, pendidikan tidak boleh dikelola secara politis. Kolusi, korupsi, dan nepotisme harus disingkirkan dari benak semua pihak yang terlibat mengelola sektor pendidikan. Itu berarti pendidikan harus dikelola secara jujur, transparan, disiplin dan bertanggung jawab.
”Penempatan kepala sekolah, pengelolaan dana bantuan operasional sekolah, pengadaan sarana dan prasarana belajar siswa, dan semua hal terkait pendidikan dikelola secara jujur dan bertanggung jawab. Pendidikan lebih mengutamakan kompetensi dan integritas pengelola,” kata Simon.