Kendati sudah di jenjang SMA, banyak siswa tidak bisa membaca dengan lancar. Padahal, membaca adalah kompetensi dasar yang harus sudah tuntas di jenjang sekolah dasar.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Banyak siswa pada jenjang sekolah menengah atas atau sederajat di Nusa Tenggara Timur yang tidak lancar membaca teks menunjukkan potret buruk kualitas pendidikan di daerah itu. Kondisi tersebut haruslah menjadi bahan evaluasi menyeluruh terkait penyelenggara pendidikan setempat, mulai dari peran guru, orangtua, hingga pemerintah.
Yunus Takandewa, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang membidangi urusan pendidikan, menuturkan, kondisi tersebut sering kali ia temui ketika melakukan kunjungan kerja ke beberapa sekolah. Ia mengetes langsung kemampuan membaca siswa. ”Kondisi ini sangat memprihatinkan. Bayangkan, ini siswa SMA,” kata Yunus, Kamis (26/5/2022).
Menurut dia, para siswa itu tidak pantas duduk di jenjang SMA lantaran mereka belum tuntas dengan kompetensi dasar. Membaca adalah kemampuan dasar yang sudah dimiliki oleh siswa saat masih duduk di jenjang sekolah dasar. Karena itu, ia mempertanyakan keputusan sekolah yang meluluskan siswa ke jenjang berikutnya.
Kondisi itu menujukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di NTT. Ia mendorong perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. ”Selain guru di sekolah, orangtua di rumah juga perlu mengevaluasi diri. Juga pemerintah seperti apa regulasi yang mendukungnya,” ucap Yunus yang berasal dari Fraksi PDI-P itu.
Guru salah satu SMA menuturkan, saat diminta membaca, banyak siswa di sekolah itu masih mengeja. ”Seperti halnya anak-anak sekolah dasar di kelas bawah. Membaca satu kalimat butuh waktu bisa sampai satu menit. Kalau model begini, bagaimana mereka bisa memahami,” ujar guru itu.
Seorang kepala SMA mengatakan, di sekolahnya, ia meminta dibentuk satu kelas yang berisi siswa yang belum lancar membaca. Tujuannya agar mereka dibimbing secara khusus sebelum bergabung dengan teman-teman yang lain. Kelas tersebut semacam persiapan dengan materi dasar membaca dan berhitung.
Mari kita atasi bersama-sama persoalan ini.
”Itulah cara untuk bisa menyelamatkan mereka meski tidak semuanya berhasil. Sebab, tidak mungkin kami mengembalikan mereka ke jenjang sebelumnya. Kami juga tidak mau menyalahkan jenjang sebelumnya. Mari kita atasi bersama-sama persoalan ini,” ujarnya.
Guru dan kepala sekolah itu menolak nama mereka disebutkan dengan alasan demi menjaga nama baik sekolah dan daerah. Keduanya berasal dari satu sekolah yang sama yang berada di Pulau Timor.
Secara terpisah, Simon Seffi, guru penggerak di Kabupaten Kupang, menuturkan, ia pernah membuat survei sederhana ke sekolah dasar di daerah itu. Obyek survei adalah siswa kelas akhir, yakni kelas V dan IV. Hasilnya mencengangkan. Lebih dari 50 persen siswa memiliki kemampuan membaca ketegori sangat rendah.
”Bahkan, mengeja suku kata pun sangat kesulitan. Ketahuan bahwa dasar mereka tidak kuat. Mereka belum tuntas baca tulis di tingkat sekolah dasar,” tutur guru mata pelajaran Matematika itu. Simon melakukan survei itu pada 2016.
Solusi yang ditawarkan Simon waktu itu adalah pembelajaran dilakukan dengan metode bermain. Untuk memudahkan siswa agar bisa membaca, mereka terlebih dahulu menyanyikan abjad dari A hingga Z. Dengan bernyanyi, hati mereka akan gembira. Selanjutnya, mereka dikenalkan dengan huruf yang digunting dan diberi warna. ”Warna bertujuan merangsang otak kanan bekerja,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengakui, masih banyak siswa SMA yang belum lancar membaca. Selain pembelajaran di sekolah, pemerintah juga mendorong gerakan literasi ke sejumlah perkampungan untuk menghidupkan minat baca.