Masuk Sekolah Pukul 5 Pagi di NTT Dinilai Tidak Ramah Anak
Kebijakan sekolah pagi mulai pukul 05.00 untuk siswa SMA di Nusa Tenggara Timur menuai kritik. Kebijakan ini dipertanyakan relevansinya dengan penuntasan ketertinggalan mutu pendidikan di wilayah ini.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU, FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memberlakukan jam masuk sekolah pukul 05.00 Wita bagi anak jenjang SMA menuai kritik. Langkah ini dinilai tidak berpihak dan tidak ramah pada anak ataupun pendidik. Kebijakan pendidikan harus didasarkan pada kajian akademik yang dapat diakses publik, bukan pada selera pimpinan.
Pemberlakuan jam sekolah itu arahan dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang disampaikan dalam kunjungannya ke Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT pada pekan lalu. Arahan itu langsung dieksekusi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi.
Dalam rekaman video yang diperoleh Kompas, Viktor mengatakan, penerapan jam belajar pukul 05.00 waktu setempat (Wita) itu berguna bagi perkembangan anak di NTT. Menurut dia, semangat dan etos kerja anak akan meningkat.
Namun, setelah diterapkan, banyak ruang kelas di sekolah sepi. Linus kepada sejumlah awak media di Kupang mengatakan, program itu terus berjalan sambil dilakukan evaluasi dan pembenahan. Ia pun berjanji akan berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk menyiapkan angkutan.
Kebijakan Pemprov NTT soal jam masuk sekolah siswa SMA yang diubah lebih pagi menjadi pukul 05.00 Wita tersebut hingga Selasa (28/2/2023) menuai kecaman dari sejumlah organisasi guru. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan, Pemerintah Provinsi NTT harus mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena sangat membahayakan tumbuh kembang anak.
”Sebaiknya dibatalkan karena tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,” ujar Heru.
Apalagi, katanya, pertimbangannya sangat tidak berperspektif anak, seperti sekolah reguler disamakan dengan sekolah berasrama. Selain itu, anak-anak disamakan dengan penjual di pasar yang sudah berjualan sejak pukul 03.00.
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan, FSGI mengumpulkan pendapat dari sejumlah guru dan orangtua terkait kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 di NTT. Ternyata, banyak orangtua yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Respons mereka beragam, mulai dari faktor keamanan anak saat menuju sekolah, transportasi yang sulit pada pagi hari, hingga kesiapan orangtua di rumah, seperti menyediakan sarapan, dan berbagai pertimbangan terkait kesehatan anak.
Tanpa kajian
Retno menambahkan, dari informasi yang dihimpun FSGI, ternyata kebijakan tersebut belum dibicarakan dan disosialisasikan kepada para pendidik, hanya kepala sekolah. ”Tentu saja kepala sekolah tidak akan berani membantah kebijakan Pemprov. Sebenarnya banyak pendidik menolak kebijakan ini. Artinya, kebijakan ini dibuat tanpa kajian,” ujarnya.
Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal.
Kritik keras juga disampaikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Kebijakan Pemprov NTT yang menetapkan masuk sekolah pukul 05.00 dinilai tidak melalui kajian akademis terlebih dulu. Publik tidak mengetahui dasar pijakan kebijakan, masuk sekolah pukul 05.00 Wita tersebut. Kalaupun ada, dokumen kajiannya tak bisa diakses publik. Hal ini dinilai melanggar asas transparansi dan partisipasi publik.
”Seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, pedagogis, termasuk geografis, mengingat banyak sekolah di NTT yang jarak antara rumah siswa/guru dengan sekolah sangat jauh, bahkan ada yang lebih 5 km dan berjalan kaki menuju sekolah,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.
Menurut Satriwan, kebijakan tersebut juga tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT. Banyak masalah pendidikan di NTT, di antaranya provinsi dengan prevalensi stunting (tengkes) tertinggi sebesar 37,8 persen (Kementerian Kesehatan, 2021), Indeks Pembangunan Manusia 65,28 dengan posisi peringkat ke-32 dari 34 provinsi (BPS, 2021), masih banyak kelas di sekolah dalam kondisi rusak sebanyak 47.832 kelas (Kemendikbudristek 2021), sebanyak 66 persen SD belum dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum dan berakreditasi C, serta 56 persen SMK belum dan berakreditasi C. Ada juga ribuan guru honorer yang diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, berkisar Rp 200.000-Rp 750.000 per bulan.
Kondisi pendidikan di NTT yang masih tertinggal, lanjutnya, menunjukkan tidak ada korelasi masuk sekolah pukul 05.00 dengan upaya meningkatkan IPM, menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas/sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer. ”Mestinya kebijakan pendidikan Pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal,” kata Satriwan.
Membahayakan keselamatan
Ketua P2G NTT Wilfridus memaparkan, kebijakan tersebut sangat tidak ramah anak, orangtua, dan guru. Jika para siswa masuk pukul 05.00, mereka harus bangun tidur pukul 04.00, bahkan bisa saja pukul 03.00 jika jarak antara sekolah dan rumah jauh. Bahkan, masih banyak siswa yang berjalan kaki menuju sekolah yang jauh. Selain itu, para guru harus datang lebih pagi atau lebih awal dari pukul 05.00. Belum lagi jika wilayahnya minim sarana transportasi umum atau jalannya sulit diakses, termasuk minim penerangan lampu jalan.
”Artinya, Pemprov tidak mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan landasan kajian secara geografis dan transportasi publik,” kata Wilfridus.
Dalam laporan jaringan P2G NTT, kondisi pagi pukul 05.00 Wita justru masih sepi aktivitas masyarakat dan suasana masih gelap. Kondisi ini berpotensi membahayakan para siswa terkait potensi tindak kriminalitas atau faktor keamanan. Kemudian, kebijakan ini berpotensi meningkatkan biaya hidup orangtua siswa.
Sebab, bagi yang rumahnya jauh dari sekolah, ditambah belum ada kendaraan umum beroperasi pada jam tersebut, mereka akan terpaksa mengontrak rumah kos di dekat sekolah atau terpaksa membeli kendaraan bermotor. Pengeluaran biaya sekolah menjadi tinggi.
Wilfridus melanjutkan, kondisi demikian tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga guru. ”Yang paling akan terdampak secara biaya hidup adalah guru honorer. Sudahlah gaji hanya Rp 500.000 per bulan, terpaksa harus membayar uang sewa kos atau kredit motor,” katanya.
Tumbuh kembang anak
Sementara itu, Retno mengingatkan dampak kebijakan sekolah terlalu pagi bagi tumbuh kembang anak. ”Tidur sangatlah penting bagi tubuh. Pada saat tidur, tubuh akan memperbaiki diri, baik secara fisik maupun mental, sehingga kita merasa segar dan berenergi saat bangun serta siap menjalani aktivitas. Ini penting dan perlu bagi anak-anak yang sedang tumbuh kembang sampai usianya 18 tahun,” kata Retno.
Kebutuhan tidur setiap orang tidak sama. Namun, tubuh umumnya membutuhkan tidur berkualitas selama 7–9 jam setiap hari. Sementara itu, anak-anak dan remaja membutuhkan waktu tidur lebih banyak, yaitu 8–10 jam setiap hari.
”Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan tidur yang tidak tercukupi bisa menyebabkan anak terlihat lelah, tubuh terasa lemas, menguap sepanjang hari, dan sulit konsentrasi serta kejang saat tidur,” ujarnya.