Literasi marak di masyarakat NTT, tetapi keterampilan tulis, baca, dan hitung siswa sekolah masih jauh dari harapan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·7 menit baca
Kegiatan berliterasi di 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur sejatinya hampir merata. Di tiap kecamatan minimal terbentuk satu pondok baca atau perpustakaan desa. Pusat literasi didirikan guna mendukung keterampilan berliterasi generasi muda, termasuk para siswa di desa itu. Anehnya, kini masih cukup banyak siswa yang belum bisa membaca, menulis, dan menghitung secara baik atau masih tertatih-tatih. Butuh koordinasi dan evaluasi atas kehadiran pusat literasi di masyarakat itu.
Senin (14/11/2022), masyarakat Nusa Tenggara Timur gembira ria menyambut penghargaan prestisius ”Nugrah Jasa Dharma Pustaloka” 2022 untuk kategori tokoh masyarakat. Penghargaan itu diraih Ketua Dekranasda sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKK Nusa Tenggara Timur Julie Sutrisno Laiskodat, yang juga anggota DPR RI, dari Partai Nasdem. Julie Laiskodat dikenal di kalangan pegiat literasi NTT sebagai ”Bunda Baca” dan ”Bunda Literasi” NTT.
Melalui sejumlah kegiatan literasi, Julie Laiskodat selama 4 tahun terakhir mendorong sejumlah pondok baca, teras baca, perpustakaan desa, dan rumah baca di masyarakat. Kegiatan literasi di NTT sejak 2012 tumbuh di beberapa kelurahan dan desa di pusat kota kabupaten, kemudian berkembang terus sampai ke desa-desa pedalaman.
Desa Padang Panjang, Kecamatan Alor Timur, misalnya, salah satu desa terpencil di NTT, sudah terbentuk perpustakaan desa,pondok baca, dan PAUD yang digalakan aparatur desa dan masyarakat. Demikian pula beberapa desa di perbatasan dengan negara Timor Leste hadir titik-titik literasi yang digerakan pihak gereja, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintahan desa.
Bahkan, di beberapa desa di NTT, dana desa antara lain dimanfaatkan untuk pengadaan perpustakaan desa, seperti Desa Nita dan Desa Bloro di Kabupaten Sikka. Desa Baumata Utara dan Desa Baumata Barat di Kabupaten Kupang pun memanfaatkan dana desa untuk pengadaan perpustakaan desa.
Ketua Dewan Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho membenarkan bahwa saat ini hampir lebih dari 1.500 pondok literasi, perpustakaan desa, teras baca, dan rumah baca tersebar di desa-desa di NTT. Pondok,teras, dan rumah baca ini disponsori masyarakat secara spontan.
Buku bervariasi
Buku-buku yang disiapkan pun bervariasi. Tidak hanya buku pelajaran sekolah dan bahan-bahan bacaan bagi anak-anak, tetapi juga buku-buku yang menyajikan pengetahuan praktis bagi kehidupan para petani, peternak, juga buku berisi keterampilan menenun yang indah dan elok. Buku-buku ini disumbangkan pendonor di NTT dan luar NTT.
Pada intinya, pusat literasilahir atas inisiatif masyarakat. Pusat literasi bertujuan meningkatkan kemampuan baca, tulis, dan menghitung di kalangan generasi muda, utamanya siswa SD, SMP, dan SMA dari desa itu.
Tempat itu menjadi pusat pembelajaran, termasuk tempat siswa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah. Di situ para pelajar bersama-sama belajar, bertukar informasi dan pengetahuan. Lebih dari itu, melatih mereka menulis, membaca, dan menghitung.
Sasaran utama literasi yang didorong pemerintah adalah meningkatkan keterampilan literasi para siswa di desa itu. Namun, sangat aneh, hingga kini, masih cukup banyak siswa di pedalaman NTT sampai lulus SMA/SMK belum bisa menulis, membaca, dan menghitung secara baik.
”Pengelola literasi mendapat penghargaan dari berbagai pihak, tetapi fakta di lapangan tetap sama. Kita hormati apa yang mereka buat bagi masyarakat. Namun, bukan soal itu yang diutamakan. Paling penting bagaimana SDM generasi muda itu bisa bersaing di sekolah menengah, perguruan tinggi, dan dalam dunia kerja nantinya,” papar Riwu Kaho.
Ia mengungkapkan pengalaman saat kunjungan kerja ke sejumlah sekolah di pedalaman NTT. Di Desa Kalikasa, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, misalnya, ditemukan sejumlah siswa SMP yang masih sulit menulis dan membaca, apalagi menghitung. Padahal, di desa itu ada PAUD dan taman bacaan milik desa.
Saya sudah lihat beberapa pusat baca di desa, bahkan pinggiran Kota Kupang. Hanya ada beberapa buku tua yang dipajang, sebagian besar berupa buku rohani. Namun, ceritanya sudah ke mana-mana di desa itu.
Di Desa Bloro, Kabupaten Sikka, terdapat satu taman bacaan yang dikelola salah satu PNS setempat. Taman bacaan itu menampung anak-anak dari Desa Bloro untuk belajar kelompok, selain memanfaatkan buku-buku di taman bacaan itu untuk belajar.
Akan tetapi, sangat disayangkan, siswa di pedalaman tidak memiliki pengetahuan tentang NTT secara keseluruhan dari sisi geografis. Di salah satu sekolah di Lewoleba, saat ditanya di mana letak Kota Waingapu, dijawab ada di Sulawesi Selatan, dan siswa salah satu sekolah di Soe menyebut Labuan Bajo ada di Bali.
”Ini konyol. Tidak butuh nilai rapor dan ijazah bagus karena, paling utama, pemahaman tentang sesuatu hal dari siswa itu. Gambar peta geografi sebuah provinsi dan kabupaten/kota perlu ditempelkan di depan ruang kelas. Anak-anak diajak melihat dan menghapal itu,” kata Riwu Kaho.
Ia mengingatkan agar semua pihak yang berdedikasi untuk generasi muda NTT benar-benar memberi yang terbaik demi peningkatakan SDM anak-anak ke depan.
Ketika anak-anak NTT menjadi terampil, cerdas, dan sukses meraih masa depan, di situ kita sebagai guru dan pengasuh bangga dan senang. Prestasi pendidik dinilai sukses ketika SDM generasi muda mampu bersaing dengan SDM generasi muda di daerah lain,” katanya.
Ditolak
Martin Met (58), dosen kemahasiswaan salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang, mengatakan, setiap penerimaan mahasiswa baru, perguruan tinggi dihadapkan pada pilihan yang serba dilematis. ”Menolak siswa yang datang melamar dalam kondisi belum bisa menulis dan membaca lancar atau menerima demi kemanusiaan. Anak-anak itu sudah ditolak di perguruan tinggi negeri dan swasta,” katanya.
Mereka itu diantar orangtua masing-masing. Menolak dan mengirim mereka pulang ke kampung asal sulit dilakukan. Mereka dari keluarga miskin, tetapi memiliki semangat belajar yang tinggi. Demikian pula orangtua, sangat mendukung untuk membiayai pendidikan mereka.
”Terpaksa diterima dengan risiko bahwa perguruan tinggi ini harus mengajarkan mereka lagi untuk menulis dan membaca secara baik sehingga bisa dipahami. Belum lagi soal menghitung, tentu lebih sulit lagi,” kata Met.
”Mengapa anak-anak itu dinyatakan lulus ujian akhir tingkat SMA dengan nilai kelulusan di atas rata-rata, tetapi belum bisa menulis, membaca, dan menghitung dasar? Di mana nilai moral dan etika guru yang memberikan nilai tersebut. Sistem penilaian seperti ini sama dengan ’membunuh’ masa depan anak-anak,” kata Met.
Akhirnya ada mahasiswa abadi di perguruan tinggi ini. Sudah 12 semester, tetapi sebagian besar mata kuliah belum lulus. Mereka pun menjadi mahasiswa ”abadi” dan akhirnya memilih berhenti, drop out. ”Ini salah siapa?” kata Met.
Mengenai literasi yang marak di masyarakat, Met mengatakan, kehadiran literasi saat ini tanpa konsep, tujuan, dan sasaran yang jelas. Mungkin ikut ramai.Biar lebih terpandang dan terhormat.
”Saya sudah lihat beberapa pusat baca di desa, bahkan pinggiran Kota Kupang. Hanya ada beberapa buku tua yang dipajang, sebagian besar berupa buku rohani. Namun, ceritanya sudah ke mana-mana di desa itu,” kata Met.
Pengelola Teras Baca Kota Kefamenanu dan sejumlah pondok baca di perbatasan RI-Timor Leste, Beatrix Yunarti Manehat, menyebutkan, misi dan visi sebuah pondok literasi ditentukan motivasi pendirinya.
Ada orang yang menghadirkan taman bacaan sebagai batu loncatan meraih sesuatu dan ada yang benar-benar ingin mencerdaskan generasi muda dan masyarakat di daerah ini. Bahkan, ada yang melakukan kegiatan berliterasi dengan tujuan meraup dukungan secara politik. Jadi, pembentukan kelompok literasi itu sangat ditentukan oleh motivasi dari setiap orang.
”Bisa saja ada yang secara politis (membangun taman bacaan) untuk menarik massa pendukung, ada yang ingin mencari pendonor, tetapi ada pula yang benar-benar ingin berkorban untuk generasi muda yang akan datang,” ujarnya.
Jika sebagian besar desa di NTT telah memiliki pusat kegiatan literasi, tetapi masih banyak siswa SD, SMP, dan SMA di desa-desa belum tahu membaca, menulis, dan menghitung secara baik, pusat literasi di desa itu patut dipertanyakan. Semua pusat literasi yang ada perlu dievaluasi untuk dibenahi.
Perlu ada satu wadah yang mengkoordinir semua unit literasi yang dibangun masyarakat di desa-desa. ”Selain itu, juga ada buku panduan bagaimana mendirikan dan memajukan satu unit literasi itu. Setiap kegiatan selalu dievaluasi untuk melihat perkembangan pusat literasi itu,” kata Beatrix.
Direktur Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, setiap pusat literasi di masyarakat sebaiknya membangun komunikasi dengan sekolah di desa itu, terutama PAUD dan SD. Dua tingkat pendidikan ini sebagai titik awal seorang anak berliterasi dasar.