Beatrix Yunarti Manehat pernah gagal melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia tidak ingin itu terjadi juga pada orang lain. Oleh karena itu, ia membuat gerakan mencarikan beasiswa bagi anak miskin.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Beatrix Yunarti Manehat (29) pernah gagal melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia tidak ingin itu terjadi juga pada orang lain. Oleh karena itu, ia membuat gerakan mencarikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak miskin. Ia juga membangun rumah-rumah baca.
Beatrix adalah lulusan SMA 1 Kefamenanu tahun 2010. Saat itu, ia harus mengubur mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 lantaran ayahnya sakit. Sebagai anak, ia mesti merawat dan mendukung pengobatan ayahnya. Hal itu lakukan selama dua tahun.
Gara-gara itu, ia minder. ”Saya tidak nyaman karena orang selalu tanya kamu kuliah di mana? Orang mulai menilai saya sebagai orang terbuang,” cerita Beatriks di Kupang, Minggu (19/6/2022).
Beruntung, Beatrix akhirnya mendapat kesempatan melanjutkan S-1 jurusan akuntansi di Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang, Jawa Timur, pada 2012. Ia menyelesaikan kuliahnya dalam 3,5 tahun. Lantas melanjutkan ke jenjang S-2 di Universitas Brawijaya, Malang.
Ia mensyukuri itu, tetapi bertanya kepada disi sendiri, bagaimana dengan anak-anak dari keluarga miskin? Pertanyaan itu mendorong Beatrix terlibat mencarikan donor untuk membantu biaya pendidikan anak-anak miskin di Timor Barat sejak 2014. Ia bekerja sama dengan beberapa lembaga donor, antara lain Women Earth Alliance. Dari situ, puluhan anak miskin berhasil melanjutkan pendidikan hingga S-1.
Pandemi Covid-19 sempat menghentikan program itu. Namun sejak 2022, program berjalan lagi. Saat ini, sudah ada empat siswa yang dikuliahkan ke perguruan tinggi dari target 20 orang.
Untuk mendapatkan beasiswa, calon penerima cukup menunjukkan surat keterangan bahwa dia berasal dari keluarga tidak mampu. Sejak 2021, mereka dikenai kewajiban tambahan, yakni menanam 10 tanaman dan mengumpulkan sampah plastik 10 kilogram. Sampah plastik diserahkan ke Bank Sampah Mutiara Timor di Kupang yang bekerja sama dengan Beatrix.
Rumah baca
Tahun 2018, Beatrix melebarkan gerakan ke bidang literasi dengan mendirikan rumah baca bagi anak-anak di perbatasan RI-Timor Leste. Awalnya, rumah baca dibangun di teras rumah kediaman orangtuanya di Kefamanenu, Timor Tengah Utara. Dananya dari tabungan yang ia miliki.
Rumah baca itu ia dirikan untuk mendorong anak-anak usia dini dan anak-anak usia sekolah agar terampil membaca, menulis, dan berhitung. Ia menyasar terutama anak-anak dari keluarga miskin atau anak-anak yang orangtuanya menjadi TKI. Mereka umumnya tidak mendapat perhatian dari nenek dan kakek atau saudara pengasuh. Karena itu, Beatrix menyediakan waktu untuk mendampingi mereka belajar.
Ternyata, antusiasme anak-anak untuk membaca di rumah baca itu tinggi. Beatrix pun berpikir, rumah baca seperti ini juga dibutuhkan anak-anak di tempat lain, terutama sepanjang perbatasan RI-Timor Leste. Maka, tahun 2019, ia membuka satu rumah baca lagi di Wini, yang berbatasan dengan Distrik Oecusse, Timor Leste, 30 km dari Kefamenanu.
Perempuan yang mendirikan Beatrix Yunarti Manehat Foundation ini menemukan masih banyak anak-anak di perbatasan yang tidak lancar tulis, baca, dan menghitung, meski sebagian dari mereka sudah duduk di bangku pendidikan SD bahkan SMA. Siswa yang sudah bisa membaca pun banyak yang tidak sanggup mencerna isi sebuah bacaan.
Rumah baca di Wini banyak dikunjungi anak-anak warga eks Timor Timur yang menetap di perbatasan bersama orangtua. Kebanyakan warga eks Timtim masuk kategori warga miskin. Mereka umumnya tidak punya rumah yang layak dan hanya memiliki secuil lahan untuk bertani.
Setelah rumah baca di Wini berjalan, Beatrix membangun lagi rumah baca kedua di Kefamenanu. Di rumah baca ini, anak-anak belajar bersama, dengan seorang pendamping, yang juga calon penerima beasiswa S-1 yang diperjuangkan Beatrix. Tenaga pendamping sangat membantu dalam menjelaskan soal-soal yang diberikan sekolah kepada siswa.
Akhir 2020, ia melanjutkan lagi pendirian rumah baca di tiga titik perbatasan RI-Timor Leste, yakni Ponu dan Napan, keduanya di perbatasan Timor Tengah Utara dengan Timor Leste. Kemudian dilanjutkan di Motamasin, Kabupaten Malaka, yang berbatasan langsung dengan Distrik Kovalima, Timor Leste. Taman bacaan terakhir ia hadirkan di Dusun Moataain, Desa Silawan, Kabupaten Belu, perbatasan dengan Batugade, Timor Leste.
”Untuk daerah di luar Kefamenanu, saya bekerja sama dengan camat atau kepala desa setempat. Mereka siapkan tempat, saya yang kirim buku bacaan, dan buku-buku pelajaran. Hanya taman bacaan di Motamasin, Malaka, kami bantu dengan perangkat laptop untuk mengisi data dan informasi sekitar taman bacaan tersebut,” kata Beatrix. Ia menambahkan, laptop diperoleh dari para dermawan.
Tidak hanya mendorong anak-anak agar membaca, Beatrix juga mendorong mereka terlibat dalam gerakan lingkungan. Anak-anak yang datang ke rumah baca ataupun calon penerima beasiswa diwajibkan menanam 10 bibit pohon di pekarangan rumah, area sumber mata air, maupun daerah rawan longsor. Tanaman yang ditanam diusahakan yang memiliki nilai ekonomis, seperti cendana, mangga, nangka, pisang, kelapa, kopi, dan kemiri. Mereka pula yang bertanggung jawab untuk menyiram dan merawat sampai tanaman itu besar.
Beatrix juga meminta anak-anak didiknya ikut menyosialisasikan larangan membakar hutan kepada masyarakat sekitar. Kebakaran hutan kerap terjadi lantaran musim kering ekstrem, terutama di Pulau Timor Barat.
Semua kegiatan itu membuat Beatrix amat sibuk. Ia mesti membagi waktunya untuk mengajar di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan menjalankan rumah baca. ”Tapi semua bisa diatur. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” kata Beatrix.