Pendidikan Literasi Memberdayakan Hidup Masyarakat NTT
Kemampuan berliterasi tak hanya dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah, tetapi juga petani dan peternak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, agar mereka lebih memahami bidang yang sedang ditekuni.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kemampuan berliterasi dibutuhkan tidak hanya bagi anak-anak usia sekolah, tetapi juga masyarakat secara umum tanpa membedakan usia. Literasi bagi petani dan peternak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, diperlukan agar mereka lebih memahami bidang yang sedang ditekuni. Kegagalan berusaha di bidang pertanian dan peternakan disebabkan masyarakat terjebak dalam tradisi lama, yang tidak menguntungkan secara ekonomi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang Okto Naitboho saat menanam jagung bersama kelompok literasi Taman Bacaan Masyarakat Gading Taruna (TBM GT) di Kelurahan Belo, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Sabtu (19/12/2020), mengatakan, pemahaman sebagian masyarakat tentang literasi selama ini terbatas pada pendidikan anak usia dini sampai siswa sekolah menengah. Namun, literasi sesungguhnya untuk seluruh kalangan usia, profesi, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
Kali ini, kata Naitboho, kelompok petani dan peternak yang tergabung dalam TBM GT di Kelurahan Belo menanam jagung, singkong, kacang, keladi, dan jenis tanaman lain di areal seluas 2 hektar. ”Sejumlah staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang terlibat dalam penanaman itu, sekaligus memberi pemahaman kepada kelompok ini tentang bagaimana bertani dan beternak di lahan kering,” ujarnya.
Sebelum proses penanaman dimulai, kelompok literasi ini diberi pengertian tentang cara menanam, merawat tanaman, dan memberi pupuk yang sesuai agar tanaman tumbuh subur sampai berproduksi sesuai hasil yang diinginkan. Kelompok petani telah memiliki pengetahuan secara turun-temurun tentang hal ini, tetapi sering gagal karena sistem yang mereka anut masih merupakan warisan nenek moyang dan kurang menguntungkan.
Pertanian lahan kering secara modern belum dipahami petani. Selama ini petani hanya menebas rumput, membakar, dan menanam. Lahan mestinya dicangkul, digembur, diberi pupuk, dibuat pematang dengan aliran air (banjir), dan ditanam di dalam lubang dengan sistem tugal. Dalam satu lubang diisi bibit 2-3 biji jagung, berjarak 25-40 sentimeter.
Sejumlah staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang terlibat dalam penanaman itu, sekaligus memberi pemahaman kepada kelompok ini tentang bagaimana bertani dan beternak di lahan kering. (Okto Naitboho)
Sebelumnya, sebagian besar petani menanam jagung secara gerombolan, satu lubang diisi 5-7 biji di dalam tanah dengan jarak 1 meter. Proses pembuahan pun tidak sesuai harapan, apalagi tanah itu tidak dicangkul dan tidak diberi pupuk memadai. Satu hektar lahan hanya menghasilkan 2-3 ton. Setelah dikembangkan secara modern bisa menghasilkan 6-8 ton jagung.
”Pemerintah mau mengajak mereka agar bisa keluar dari budaya yang selama ini membuat mereka tidak berkembang dalam bertani, beternak, dan berdagang. Tiga hal ini hendak diubah melalui sistem literasi yang ada dalam kelompok literasi masyarakat,” tutur Naitboho.
Ia mengatakan, ke depan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang akan menyiapkan anggaran khusus untuk sektor literasi bagi kalangan petani dan peternak. Anggaran ini untuk pengadaan bibit dan pupuk sehingga petani lebih dipacu untuk bekerja secara efisien dan efektif.
Kegiatan yang dilakukan di Kelurahan Belo, menurut Naitboho, sebagai percontohan bagi petani sekitar, khususnya pertanian hortikultura yang produktif. Kota Kupang cocok dengan tanaman jagung sehingga pemkot lebih fokus pada budidaya jagung di lahan kering.
Ketua TBM GT Belo, Gregorius Takene, mengatakan, TBM dibentuk tahun 2013. Buku-buku yang tersedia di TBM berisikan pertanian, peternakan, perkebunan, kesehatan, pupuk, tenun ikat, motif-motif tenun, dan sebagainya.
Jumlah anggota yang tergabung dalam TBM GT sekitar 700 orang. Mereka tidak terlibat dalam keterampilan menulis, membaca, dan menghitung. Kelompok itu lebih fokus pada kegiatan tenun ikat, bertani, beternak, dan terakhir tentang upaya mencegah Covid-19.
”Mereka yang tidak paham akan dibimbing teman-teman lain melalui diskusi dan sharing pengalaman bersama setiap hari Sabtu dan Minggu di halaman TBM GT. Kami mendiskusikan topik atau masalah tertentu terkait tenun ikat, pertanian, peternakan, dan kesehatan, khususnya Covid-19,” katanya.
Taman bacaan
Meski TBM GT berdiri pada 2013, efektivitas taman bacaan ini mulai berjalan pada 2016 karena sebelumnya jumlah bahan bacaan masih terbatas. Setelah kelompok TBM ini mendapat bantuan dari Pemkot Kupang berupa buku-buku bacaan, kegiatan mulai berjalan.
Awal kegiatan berupa berkumpul bersama untuk mendiskusikan suatu topik di bidang tenun ikat, pertanian, dan peternakan. Kemudian dilanjutkan dengan aktivitas bersama secara kelompok, yakni menanam jagung bersama di setiap lahan pertanian milik anggota kelompok secara bergilir.
”Saat membersihkan lahan dan panen pun demikian, dikerjakan dalam kelompok, secara gotong royong sehingga lebih mudah dikerjakan. Hasilnya cukup membantu meningkatkan ekonomi anggota kelompok TBM GT,” tutur Gregorius.
Agus Nitsae (45), salah seorang anggota TBM GT Belo, mengatakan sangat terbantu dengan kehadiran TBM ini. ”Melalui kegiatan kelompok ini, saya bisa belajar bertani secara efektif. Di lahan jagung 20 are sebelumnya saya panen hanya 3.000 batang jagung, sejak tahun 2018 meningkat menjadi 1,5 ton setelah diberi pupuk, dibuat pematang dan jalur air hujan di pinggir lahan itu,” kata Nitsae.
Melalui TBM GT, ia belajar bersama rekan-rekan mengenai cara beternak ayam potong secara baik, seperti menyiapkan kandang, bibit ayam, membersihkan kandang, dan menghindarkan ayam dari serangan penyakit. Ayam potong memiliki peluang pasar yang sangat menjanjikan.
Nitsae mengaku, 100 ekor ayam potong yang dipelihara sukses berkat dukungan masukan anggota TBM GT. ”Musim hujan saya terlibat di pertanian, musim kemarau saya fokus pelihara ayam potong,” ujarnya.