Asep Purnama, Provokator Gerakan Antirabies di NTT
Dokter spesialis penyakit dalam Asep Purnama aktif ”memprovokasi” pengambil kebijakan untuk mengadakan vaksin antirabies di Flores, Lembata, dan terakhir di Timor.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Setiap ada kasus kematian akibat gigitan anjing rabies, hati Asep Purnama tidak pernah tenang. Ia kecewa dan mempertanyakan mengapa virus rabies yang sudah ditemukan vaksinnya itu tidak pernah selesai dibasmi. Melalui media massa, ia terus memprovokasi pengambil kebijakan. Berulang kali, dana desa dia usulkan agar dialokasikan untuk menangani rabies.
Dokter spesialis penyakit dalam itu, di Maumere, Senin (3/7/2023), mengatakan, virus rabies mestinya bisa diatasi begitu kasus itu muncul. Rabies berbahaya karena bisa menyebabkan kematian. Sejak 26 tahun rabies ada di NTT, sudah sekitar 400 orang tewas setelah digigit anjing rabies.
Sejak 1997 itu, hampir setiap tahun selalu ada kematian akibat gigitan anjing rabies. Lebih memprihatinkan lagi, kematian itu didominasi anak-anak balita dan usia produktif.
Ketertarikan Asep terhadap kasus rabies sejak 2004. Setiap ada kasus gigitan anjing rabies di daratan Flores-Lembata, Asep selalu turun tangan. Salah satunya dengan memberi tip mencegah kematian pada korban gigitan anjing.
Kata dia, korban segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun atau detergen selama 15 menit. Kemudian segera korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan vaksin atau serum antirabies. ”Entah anjing rabies atau tidak, pencegahan dini ini segera dilakukan. Jangan tunggu lama. Pesan ini selalu saya sampaikan,” kata Asep.
Pihak dinas peternakan dan kesehatan menghubungi Asep ketika kasus rabies pertama kali masuk daratan Timor, yakni Desa Fenun Kecamatan Amanatun Utara, 25 Mei 2023. Mereka minta pendapat Asep terkait rabies.
Sudah 18 tahun Asep menyuarakan ancaman dan pencegahan rabies di Flores-Lembata. Kini, suara itu berkumandang juga untuk Timor Tengah Selatan. Jika ada gigitan anjing rabies pada manusia, suara lantang Asep muncul di media massa.
Ia mengaku, tidak punya kuasa mengambil keputusan, mencegah rabies. Hanya media massa yang diajak bekerja sama. Dengan harapan, lewat media, pemerintah pusat dan daerah bisa tergugah. Mengadakan vaksin sesuai jumlah populasi anjing di setiap daerah.
Selama ini, hanya beberapa kabupaten yang menyiapkan atau mendapatkan vaksin bantuan pusat. Jumlahnya 10.000-20.000 dosis vaksin antirabies per kabupaten. Ada kabupaten yang tidak menyiapkan sama sekali. Sementara populasi anjing bisa tiga-lima kali lipat dari jumlah vaksin.
Kebanyakan korban gigitan anjing adalah anak balita dan warga usia produktif. Tak ada yang tahu, suatu saat mereka bisa menjadi orang penting atau motivator pembangun di daerah.
”Beberapa pejabat daerah menyebut saya provokator dan memusuhi saya. Memang saya provokator. Pasalnya, setiap ada kasus gigitan anjing rabies, menyebabkan kematian, saya selalu mengirim data kasus itu kepada sejumlah media massa untuk di-blow-up. Pernyataan saya terkait rabies di media massa dinilai sebagai pernyataan provokator,” kata Asep.
Ia menegaskan, kerja sama dengan media massa terkait rabies, semata untuk membantu masyarakat sekaligus menyelamatkan ternak anjing dari rabies. Jika rabies hilang dari NTT, pembangunan berjalan lancar.
Baginya, pemerintah harus berterima kasih kepada penemu virus antirabies. Caranya, dengan mendayagunakan temuan itu secara baik, demi kebaikan umat manusia dan hewan penular rabies (HPR).
Sejumlah temuan vaksin yang digunakan secara efektif, telah mengeliminasi beberapa jenis penyakit. Sebut saja cacar, smallpox, polio, dan campak. Bertahun-tahun menyerang manusia, akhirnya hilang. Sama halnya dengan vaksin rabies. Jika temuan itu diberikan secara rutin, teratur, dan bertanggung jawab, rabies bisa punah.
”Kepedulian pemerintah terhadap rabies masih rendah. Buktinya, rabies semakin meluas di Indonesia. Tidak hanya di Nusa Tenggara Timur tetapi juga Bali, Kalimantan Barat, Toraja, dan Sulawesi Utara. Jika ada alokasi anggaran yang cukup untuk pengadaan vaksin, rabies dapat diatasi ketika muncul di masyarakat,” katanya.
Selama ini pemerintah berjuang mengatasi penyakit yang menimpa sapi, kerbau, babi, kuda, dan kambing karena dianggap punya nilai ekonomi. Alokasi dana miliaran rupiah pun digelontorkan. Berbeda dengan virus rabies pada anjing. Seakan dibiarkan berlarut-larut.
Asep mengusulkan dana desa digunakan mengatasi kesulitan vaksin rabies. Undang-Undang Dana Desa telah memberi peluang untuk itu. Rabies termasuk bencana non-alam, yakni penyakit pada ternak yang berdampak pada keselamatan masyarakat desa. Bupati atau gubernur hanya menerbitkan pergub atau perbub untuk itu.
Jika satu desa mengalokasikan dana Rp 16,5 juta per desa, dari total dana sekitar Rp 1 miliar per tahun, sudah cukup mengadakan vaksin untuk anjing di desa itu. Kabupaten Sikka misalnya, ada 181 desa. Apabila setiap desa memanfaatkan dana desa senilai Rp 16,5 juta, ada sekitar Rp 3 miliar dana untuk vaksin di Sikka.
Masyarakat desa membahas alokasi dana tersebut melalui Musrenbangdes. Dengan ini, mereka sadar dan bertanggung jawab atas anjing mereka di rumah. Vaksinasi anjing secara rutin dengan menggunakan dana desa menjadi kewajiban desa.
”Uang dari masyarakat, mereka saling ingatkan. Jika uang itu dari pemerintah, mereka bersikap masa bodoh. Tidak peduli dengan vaksinasi anjing. Jika mereka peduli, anjing selamat. Anjing sehat, keluarga selamat,” kata Asep.
Asep menambahkan, anjing juga korban. Oleh karena itu, yang harus dieliminasi, setidaknya diberi sanksi bukan anjing, melainkan pemilik anjing. Jika anjing diamankan pemiliknya dari sebaran virus rabies, tidak mengganggu keselamatan manusia dan anjing sendiri.
Asep mengatakan, Anjing tidak boleh dieliminasi pemerintah. Orang yang mendatangkan anjing itu harus bertanggung jawab. ”Sayangilah binatang peliharaan itu. Jika tidak ingin mengikat atau mengandangkan, jangan pelihara anjing. Andai semua pemilik anjing bertindak demikian, rabies tidak akan menyerang anjing, apalagi membunuh manusia,” kata Asep.