Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM Berat
Presiden mengatakan, realisasi pemulihan hak korban pelanggaran di 12 peristiwa tersebut sebagai tanda komitmen bersama dalam upaya mencegah agar hal serupa tidak terulang di masa mendatang.
Penantian panjang para korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Rumoh Geudong, Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, satu langkah terpenuhi. Program penyelesaian non-yudisial dimulai dari Rumoh Geudong. Namun, korban masih berharap penyelesaian yudisial tetap ditempuh.
Marniati (56), warga Kecamatan Tangse, Pidie, salah seorang korban, bahagia saat mengetahui namanya masuk dalam daftar penerima program penyelesaian program non-yudisial untuk korban pelanggaran HAM berat.
Baca Juga: Sejumlah Pihak Menyayangkan Pembongkaran Rumoh Geudong
”Baru kali ini saya diberi bantuan korban konflik, padahal saya mengalami penyiksaan berat. Suami, ayah, dan anak saya juga mengalami penyiksaan,” kata Marniati saat ditemui, Minggu (25/6/2023).
Pada Selasa (27/6/2023) saat Presiden RI Joko Widodo datang ke Pidie untuk meluncurkan program pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat, Marniati hadir bersama anaknya, Rizki Munandar. Anak bungsunya itu lahir di Rumoh Geudong, tahun 1998, saat dia dalam penahanan.
”Di tangga itu saya pernah jatuh,” katanya menunjukkan sebuah tangga beton yang berada di samping panggung.
Baca Juga: Dari Aceh, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mulai Direalisasikan
Pada 1997, Marniati ditahan di Rumoh Geudong selama tiga bulan. Saat itu, ia dicurigai memberi makanan kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat dibawa ke sana oleh tentara, dia sedang hamil enam bulan. Suaminya dan anaknya bernama Dedi yang saat itu berusia 18 bulan juga dibawa ke sana, sedangkan ayahnya ditahan di pos tentara yang lain.
Selama ditahan di Rumoh Geudong, Marniati dan suaminya mengalami penyiksaan, seperti disetrum, dipukul, dan dilempari batu. Akibat penyiksaan itu, Marniati mengalami gangguan pendengaran, sedangkan suaminya kesulitan berjalan.
”Semua penyiksaan masih saya ingat, tidak mungkin saya lupakan. Saya tidak dendam, tetapi pelaku harus diadili,” ujarnya.
Marniati baru dilepas dari Rumoh Geudong lima hari setelah melahirkan anak kembar. Proses persalinan dibantu seorang bidan. Berat badan anaknya 1,8 kilogram dan satu lagi 2 kilogram. Sementara suaminya ditahan selama sembilan bulan.
Semua penyiksaan masih saya ingat, tidak mungkin saya lupakan. Saya tidak dendam, tetapi pelaku harus diadili.
Markas militer
Rumoh Geudong merupakan sebuah rumah panggung tradisional Aceh berkonstruksi kayu. Beberapa bangunan beton juga berada di kompleks itu.
Pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998, aparat militer menjadikan Rumoh Geudong sebagai markas. Namun, di sana juga terjadi ragam penyiksaan. Ada ratusan korban mengalami kekerasan di sana.
Sebelum acara peluncuran program itu, Kompas menemui beberapa korban dan keluarga korban peristiwa Rumoh Geudong. Setiap korban mengalami tingkat penyiksaan yang berbeda. Namun, semua korban mengakui mengalami penyetruman dan pemukulan. Beberapa korban disetrum di bagian tubuh yang privat.
Tahanan laki-laki mengalami penyiksaan pada punggung dan betis. Ada juga yang giginya dicabut. Korban juga mengaku ditenggelamkan ke dalam bak air.
”Kalau setrum siksa, nyaris setiap hari. Kalau sudah dinyalakan musik keras-keras, berarti sedang ada penyiksaan,” kata Marniati.
Pada 7 Agustus 1998, DOM dicabut. Setelah aparat militer keluar, warga membakar rumah itu hingga menyisakan puing dan tembok. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menemukan bukti pelanggaran HAM berat di sana, seperti tulang belulang manusia, rambut, dan alat untuk menyiksa korban.
Korban lainnya adalah Saifuddin (30) dan ayahnya, warga Glumpang Tiga. Dia disiksa di Rumoh Geudong pada 1997. Saat itu, usianya baru lima tahun. Dia dibawa ke sana oleh tentara agar ayahnya yang sudah terlebih dulu disekap mau buka mulut terkait GAM. Dia disetrum dan diancam diceburkan ke sumur.
Baca Juga: Sejarah Peristiwa Mei 1998: Titik Nol Reformasi Indonesia
”Ayah saya mengalami siksaan sangat berat, disetrum, dipukul, dan kakinya dipaku. Sekarang di rumah, susah beraktivitas,” kata Saifuddin.
Pascaperistiwa itu, Saifuddin hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bahkan, dia nyaris tidak berani untuk melangkah ke Rumoh Geudong. Dia tidak pernah mendapatkan pemulihan psikologis. Kini, dia telah menikah dan hidup dari usaha percetakan. Dia akan menceritakan semua kisah itu kepada anaknya-anaknya kelak.
Saifuddin menyambut baik langkah pemerintah memenuhi hak korban, tetapi Saifuddin ingin ada jaminan sumber penghidupan jangka panjang, misalnya jadi pegawai negeri sipil. Di samping itu, Saifuddin meminta para pelaku untuk diproses hukum.
Rohani (70), warga Desa Murong Cot, Kecamatan Mutiara Timur, juga mengalami penyiksaan di Rumoh Geudong. Ia dibawa ke sana oleh tentara karena anaknya dituduh sebagai anggota GAM. Waktu itu anaknya masuk ke hutan. Terakhir, anaknya pun tewas ditembak tentara.
Rohani tidak ingin mengingat lagi peristiwa kelam itu karena menimbulkan trauma berat. ”Saya mau memaafkan, tetapi pelaku harus datang meminta maaf langsung kepada saya,” ujar Rohani.
Rohani tidak begitu antusias dengan pemenuhan hak yang diberikan pemerintah. ”Saya sudah tua, jika boleh minta, saya ingin naik haji ke Mekkah,” ujarnya.
Kini kompleks Rumoh Geudong telah dibersihkan. Sebuah tangga dan dua sumur masih disisakan. Di lokasi itu, pemerintah akan membangun living park atau taman hidup yang berisi sebuah masjid, koridor HAM, monumen, dan taman bermain.
Baca Juga: Korban Talang Sari, 33 Tahun Menanti Tanggung Jawab Negara
Taman hidup itu untuk merawat sejarah pelanggaran HAM berat dengan menghapus kesan kebencian dan ketakutan.
Marniati, Saifuddin, dan Rohani sangat menghargai langkah pemerintah menangani kasus pelanggaran HAM berat. Artinya, keberadaan mereka sebagai korban kini mendapatkan tempat dalam rencana pembangunan bangsa.
Namun, mereka menginginkan sejarah pilu yang mereka alami tidak terulang lagi. Cerita Rumoh Geudong tetap harus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Menurut mereka, dalam kompleks taman hidup itu harus dibuat sebuah museum kecil yang berisi cerita pelanggaran HAM berat agar sejarah itu terwariskan lintas generasi.
Non-yudisial
Komnas HAM menetapkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia, yakni peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985; Talangsari, Lampung, 1989; Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti; dan Semanggi I-II 1998-1999. Kasus lain, pembunuhan dukun santet 1998-1999; Simpang KKA, Aceh, 1999; Wasior, Papua, 2001-2002; Wamena, Papua 2003; dan Jambo Keupok, Aceh, 2003.
Menindaklanjuti temuan Komnas HAM, pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Salah satu rekomendasi tim itu mempercepat realisasi pemulihan dan pemenuhan hak korban.
Rumoh Geudong dipilih sebagai lokasi peluncuran penyelesaian non-yudisial pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat. Peluncuran program itu dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Pada kesempatan itu, Presiden menyerahkan secara simbolik pemenuhan hak korban.
Baca Juga: Melawan Lupa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Presiden Joko Widodo mengatakan, penyelesaian non-yudisial fokus pada pemulihan hak-hak korban, tetapi tidak menafikan mekanisme yudisial. Presiden berterima kasih kepada korban dan ahli waris karena berbesar hati menerima proses pemulihan setelah menanti dalam waktu yang lama.
”Kita berkumpul di Pidie untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM masa lalu yang meninggalkan beban berat bagi korban dan keluarga. Luka ini harus dipulihkan agar kita mampu bergerak maju,” tutur Presiden.
Presiden mengatakan, realisasi pemulihan hak korban pelanggaran di 12 peristiwa tersebut sebagai tanda komitmen bersama dalam upaya mencegah agar hal serupa tidak terulang di masa mendatang.
Pemerintah memiliki niat yang tulus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, demikian Presiden menambahkan. Menurut Presiden, realisasi pemenuhan hak tersebut merupakan proses awal untuk membangun kehidupan yang adil sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.
Realisasi pemulihan hak korban pelanggaran di 12 peristiwa tersebut sebagai tanda komitmen bersama dalam upaya mencegah agar hal serupa tidak terulang di masa mendatang.
Kepada para korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, pemerintah memberikan hak ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Beberapa programnya adalah keanggotaan program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat prioritas, sembako, bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan, pembangunan rumah, bingkisan Idul Adha, dan kartu izin tinggal terbatas (kitas).
Peradilan
Menurut Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA Murtala, semua korban menanti keadilan, tidak hanya pemulihan trauma dan ekonomi, tetapi juga peradilan. ”Pertemukan pelaku dengan keluarga korban. Namun, negara tidak boleh memaafkan pelaku sebab itu adalah hak korban,” kata Murtala.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, penyelesaian melalui yudisial mengalami hambatan yang berat. Beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan berakhir jauh dari harapan. Pengadilan membebaskan pelaku karena gagal untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat.
Mahfud menuturkan, dalam kaitan 12 peristiwa tersebut, penyelesaian non-yudisial ditempuh agar para korban segera mendapatkan pemulihan dan pemenuhan hak. Sementara proses yudisial akan terus diupayakan.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Khairil Arista mengatakan, pemerintah harus mempercepat upaya proses yudisial agar korban benar-benar mendapatkan keadilan. ”Semakin lama proses hukum, semakin lama luka korban terpulihkan,” kata Khairil.
Baca Juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat
Dalam konteks Aceh, proses pengumpulan data korban kekerasan masa lalu terus dilakukan. Pengumpulan data dilakukan oleh Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Lembaga ini dibentuk atas dasar kesepakatan damai antara GAM dan Pemerintah RI.
Ketua KKR Aceh Mastur Yahya mengapresiasi pemulihan korban pada tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh. Dalam proses pendataan, KKR Aceh membantu akses informasi kepada Tim PPHAM. Namun, dia berharap kasus pelanggaran HAM lain yang pernah terjadi di Aceh juga harus diinvestigasi sebab jumlah korban juga banyak.
KKR Aceh telah mengumpulkan data sebanyak 5.000 korban konflik Aceh. KKR telah mengajukan data tersebut agar masuk dalam rencana penerima reparasi dari negara.
”Jika data KKR Aceh tersebut bisa ditindaklanjuti oleh Komnas HAM sebagaimana halnya terhadap kebijakan atas tiga peristiwa yang saat ini sedang diselesaikan secara non-yudisial, akan semakin banyak korban yang mendapatkan pengakuan dan pemulihan,” tutur Masthur.
Saat kian banyak korban mendapatkan pemulihan dan pemenuhan hak, akan terbangun semangat menjaga perdamaian yang kokoh.
Baca Juga: Akselerasi Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat