Dari Aceh, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mulai Direalisasikan
Pemerintah menempuh penyelesaian non-yudisial yang fokus pada pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial.
Oleh
ZULKARNAINI, MAWAR KUSUMA WULAN, DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
SIGLI, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memulai implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu atau Tim PPHAM di Rumoh Geudong, Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh. Dengan demikian, realisasi pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu di 12 peristiwa sudah mulai direalisasikan.
Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga menyerahkan implementasi program rekomendasi Tim PPHAM kepada delapan orang perwakilan. Akbar Maulana, misalnya, menerima Kartu Indonesia Sehat prioritas dan beasiswa pendidikan, sedangkan Sudaryanto Yanto Priyono dan Yaroni Suryo Martono mendapatkan zero tarif kartu izin tinggal terbatas (kitas).
”Pada hari ini, kita berkumpul secara langsung ataupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi korban dan keluarga korban,” kata Presiden Joko Widodo ketika memberikan sambutan, Selasa (27/6/2023).
Pemerintah menempuh penyelesaian non-yudisial yang fokus pada pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial. Menurut Presiden, hal ini sekaligus menandai komitmen bersama untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak akan pernah terulang kembali di masa-masa yang akan datang. ”Karena itu luka ini harus segera dipulihkan agar kita mampu bergerak maju,” ucapnya.
Berdasarkan laporan dari Menko Polhukam, Presiden menyebut bahwa korban dan keluarga korban di Aceh telah mulai mendapatkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja. Selain itu, mereka juga mendapatkan jaminan hak untuk kesehatan, jaminan keluarga harapan, dan perbaikan tempat tinggal serta pembangunan fasilitas lainnya.
Karena itu, luka ini harus segera dipulihkan agar kita mampu bergerak maju.
Presiden Jokowi lantas berdialog dengan korban dan keluarga korban, yaitu Akbar Maulana serta dua eksil korban peristiwa 1965 yang tinggal di Rusia dan Ceko, yaitu Sudaryanto Yanto Priyono dan Yaroni Suryo Martono. Kepada Presiden, Akbar Maulana yang duduk di kelas II SMK di Aceh Utara bercerita bahwa ayahnya ditembak pada peristiwa Simpang KKA yang terjadi di Aceh pada 1999.
Suryo Martono (80) bercerita bahwa paspornya dan paspor 16 mahasiswa Indonesia di Ceko dicabut karena tidak bersedia menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru pada 1965. Pada peristiwa 30 September 1965, kala itu, ia masih mahasiswa berumur 22 tahun dan mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia.
”Terjadi sesuatu peristiwa di Indonesia yang menyangkut adanya kudeta di Indonesia dan apa yang kita terima adalah bahwa kudeta itu didalangi oleh Bung Karno dan buat saya pribadi itu sangat tidak masuk akal sebab Bung Karno saat itu sudah jadi Presiden dan dengan kedudukan yang kuat,” kata Suryo kepada Presiden.
Peristiwa serupa dialami Sudaryanto yang kala itu masih mahasiswa di Institut Koperasi Moskwa dan mendapat beasiswa dari Pemerintah Uni Soviet. ”Setelah terjadi peristiwa 65, saya juga tidak memenuhi syarat screening karena di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno. Ini yang langsung tidak saya terima dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya dapat surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan,” ucapnya.
Presiden Jokowi berharap agar para eksil ini bisa kembali menjadi warga negara Indonesia. ”Semoga awal dari proses yang baik ini jadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang sudah ada. Awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil damai dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan,” kata Presiden.
Aceh dan kemanusiaan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, dipilihnya Provinsi Aceh sebagai awal dimulainya realisasi rekomendasi Tim PPHAM didasarkan pada tiga hal, yaitu kontribusi penting dan bersejarah rakyat dan Provinsi Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia. Kedua, penghormatan negara terhadap bencana kemanusiaan tsunami tahun 2004. Serta ketiga, respek pemerintah yang begitu tinggi terhadap proses perdamaian Aceh.
”Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan,” katanya.
Mahfud juga menyebut bahwa di lokasi tempat kejadian perkara (TKP) Rumoh Geudong, menurut rencana, akan dibangun masjid yang dilengkapi taman hidup (living park). Jejak sejarah tetap dipertahankan sebagai pengingat dan pembelajaran bagi publik, di antaranya adalah tangga yang terletak di dekat panggung dan dua sumur yang ada di bagian depan dan belakang area tersebut.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjelaskan, penyelesaikan non-yudisial yang menekankan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat adalah kemungkinan dari berbagai ketidakmungkinan yang ada.
Selain pemulihan hak-hak korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, 19 kementerian dan lembaga yang diperintahkan dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2023 juga diminta untuk melakukan upaya pencegahan agar peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.
Pascareformasi 1998, Indonesia telah mengeluarkan tiga peraturan perundang-undangan, yaitu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketiga peraturan itu mengamanatkan agar pelanggaran HAM berat di masa lalu diselidiki dan ditetapkan oleh Komnas HAM untuk diselesaikan.
Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat pun ditempuh melalui dua jalur, yaitu penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM dan penyelesaian non-yudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
”Akan tetapi, setelah lebih dari dua dekade, upaya penyelesaian melalui dua jalur tersebut hasilnya jauh dari harapan. Upaya membawa pelanggaran HAM berat masa lalu itu selalu gagal dibuktikan di pengadilan sehingga dari 4 peristiwa dengan 35 terdakwa yang diajukan ke pengadilan semuanya pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan,” ucapnya.
Permasalahan mendasar dari penyelesaian hukum kasus pelanggaran HAM berat adalah untuk membuktikan peristiwa itu sesuai dengan hukum acara pidana yang sulit dipenuhi. Adapun upaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga kandas karena UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk membuat UU KKR yang baru juga menghadapi banyak hambatan yang rumit.
”Itulah sebabnya, daripada berdiam diri, pemerintah mengambil kebijakan antara untuk melakukan langkah-langkah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu atau PPHAM,” ucapnya.
Penyelesaian non-yudisial itu juga tidak akan menegasikan upaya penyelesaian melalui jalur hukum atau yudisial. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selaku penyelidik dan Kejaksaan Agung selaku penyidik diminta untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat.
”Adanya keppres tentang PPHAM ini sama sekali tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial. Melainkan semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi hak para korban. Tekanannya adalah korban, bukan pelaku,” ucapnya.
Untuk pelaku pelanggaran HAM berat tersebut akan terus diuapayakan sesuai dengan ketentuan UU, begitu juga tentang UU KKR karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang.