Rehabilitasi Bendung Pase Molor, Petani Aceh Utara Terancam Krisis Pangan
Dampak dari molornya rehabilitasi bendung dialami ribuan petani di delapan kecamatan di Aceh Utara. Sedikitnya 8.900 hektar sawah di kabupaten itu mengalami kekeringan.
Molornya rehabilitasi Bendung Krueng atau Sungai Pase di Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, membuat ribuan petani risau. Sudah tiga kali musim tanam gadu petani tidak bisa menggarap sawah. Potensi pendapatan miliaran rupiah hilang dan petani dihadapkan pada ancaman krisis pangan.
Saat berada di rumah, Salmiah (60), petani Desa Alue Ie Mirah, Kecamatan Nibong, Aceh Utara, seolah-olah mendengar suara traktor sedang membajak sawah. Dia langsung menuju ke hamparan sawah, tetapi yang ditemukan hanya kawanan sapi sedang merumput.
”Saya pikir suara traktor di sini, rupanya di desa lain,” kata Salmiah, Minggu (18/6/2023).
Sejak 2020 hingga kini dia tidak bisa menggarap sawah dengan optimal karena perbaikan bendung Krueng Pase tidak kunjung rampung. Bendung tua yang dibangun tahun 1940 itu kondisi rusak parah setelah diterjang banjir.
Baca juga : Rehabilitasi Bendung Molor, 8.900 Hektar Sawah di Aceh Utara Kekeringan
Pada Oktober 2021, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai memperbaiki bendung itu. Proyek itu dikerjakan PT Rudy Jaya, tetapi hingga tenggat waktu yang disepakati dalam kontrak, proyek tidak selesai. Alhasil, petani harus menanggung beban, yakni sawah kian lama dilanda kekeringan.
Salmiah memiliki sawah satu petak, luasnya sekitar 1.600 meter persegi. Terakhir digarap pada Februari 2023 menggunakan air hujan dengan hasil tidak maksimal.
Dari sepetak sawah itu dihasilkan sekitar 600 kg gabah. Dengan harga Rp 5.000 per kilogram, sekali panen Salmiah memperoleh Rp 3 juta. Sebagian gabah dijual untuk membayar biaya bajak, perawatan, dan panen. Sebagian disimpan untuk kebutuhan konsumsi keluarga.
Salmiah mengatakan, hasil panen tidak jauh berbeda antara penggunaan air hujan dengan air dari bendung. Namun, sebelum bendung rusak, petani bisa menggarap sawah dua kali dalam setahun. Semenjak bendung rusak, mereka hanya bisa menggarap sawah setahun sekali, menunggu musim hujan.
Saat ini di rumahnya tersisa tiga karung gabah. Dia memperkirakan cukup untuk tiga bulan konsumsi. ”Kapan pom (bendung) siap? Kalau tidak siap-siap, kami bisa kelaparan,” ujar Salmiah.
Seharusnya saat ini sudah masuk musim turun ke sawah, tetapi karena Bendung Krueng Pase tidak kunjung rampung, Salmiah hanya bisa pasrah. Sawahnya kini kering kerontang.
Dampak dari molornya rehabilitasi bendung dialami ribuan petani di delapan kecamatan di Aceh Utara. Sedikitnya 8.900 hektar sawah di kabupaten itu mengalami kekeringan. Karenanya, saat ini musim hujan menjadi satu-satunya harapan untuk bisa menggarap sawah. Namun, biasanya musim hujan baru tiba pada akhir tahun.
Baca juga: Banjir di Aceh Utara Rendam 4.900 Hektar Sawah, Gagal Panen Mengancam
Petani lainnya, Nurhayati (50), juga kian risau karena nyaris dua tahun bendung tidak selesai dikerjakan. Padahal, Bendung Krueng Pase adalah sumber utama pemenuhan air untuk sawah-sawah di sana.
”Kami bisa kelaparan karena persediaan beras di rumah semakin menipis, sementara kami tidak bisa turun ke sawah. Kami sangat sengsara,” Nurhayati.
Molor
Rehabilitasi Bendung Krueng Pase berada di bawah Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera-I. Proyek tersebut dibiayai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) anggaran Rp 44,8 miliar.
Pada seleksi rekanan melalui tender, PT Rudy Jaya asal Jawa Timur memenangi proyek tersebut. Dalam kontrak pertama, rekanan diberikan waktu 446 hari atau 14 bulan sejak Oktober 2021 hingga Desember 2022. Namun, hingga jatuh tempo, progres pembangunan hanya 35 persen.
BWS Sumatera-I dan rekanan bersepakat memperpanjang kontrak hingga Desember 2023. Namun, pada Januari hingga Maret 2023 tidak ada aktivitas pembangunan. Melihat kondisi tersebut, BWS Sumatera-I memilih mengakhiri kontrak dengan rekanan.
Amatan Kompas pada Minggu (18/6/2023), lokasi proyek sepi pekerja dan tidak ada aktivitas pembangunan apa pun. Pembangunan bendung baru baru berjalan pada tahap pengecoran tiang dan dinding saluran air. Progres pembangunan belum separuh dari rencana.
Baca juga : Harga di Petani Belum Terjamin
Kepala BWS Sumatera I Heru setiawan menuturkan, pengerjaan rehabilitasi bendung tersebut tidak rampung sesuai dengan target karena pihak rekanan atau kontraktor tidak mampu melaksanakan sesuai kontrak.
Saat ini pihaknya sedang dalam proses penunjukkan rekanan baru untuk melanjutkan sisa pembangunan. Karena durasi waktu pengerjaan tersisa enam bulan, pemilihan rekanan baru dilakukan melalui penunjukan langsung atau tidak lagi melalui tender.
Dia optimistis pada akhir 2023 rehabilitasi bendung itu rampung dan pada awal 2024 sudah dapat dioperasikan.
Kepala Dinas Pertanian Aceh Utara Erwandi menuturkan, petani menjadi pihak yang paling dirugikan atas molornya rehabilitasi bendung itu. Apalagi, mayoritas penduduk Aceh Utara berprofesi sebagai petani sawah.
Adapun jumlah penduduk Aceh Utara sebanyak 614.640 jiwa. Dengan luas sawah 62.454 hektar, produksi padi setahun mencapai 360.353 ton. Aceh Utara merupakan kabupaten dengan produksi padi terbesar di Aceh.
Dalam data BPS Aceh tahun 2023 disebutkan produksi padi di Aceh Utara pada 2022 sebanyak 318.432 ton, menurun dibandingkan tahun 2021, yakni 360.353 ton. Luas sawah panen juga turun dari 62.454 hektar pada 2021 menjadi 54.723 hektar pada 2022.
Erwandi mengatakan, penurunan produksi dan luas panen merupakan dampak dari kerusakan Bendung Krueng Pasee sehingga petani tidak bisa ke sawah pada musim gadu. Bencana banjir juga memicu penurunan produksi.
”Kondisi hari ini, sejak bencana akhir 2020 yang lalu, berarti sudah tiga kali musim tanam gadu, petani tidak turun ke sawah,” kata Erwandi.
Erwandi menjelaskan, luas sawah yang mengalami kekeringan mencapai 8.900 hektar. Jika produktivitas per hektar 5,7 ton, potensi kehilangan hasil setiap musim tanamnya sebesar 50.730 ton.
Berarti sudah tiga kali musim tanam gadu petani tidak turun ke sawah.
Dengan asumsi harga gabah Rp 5.000 per kilogram, potensi kehilangan pendapatan yang seharusnya diterima petani di delapan kecamatan setiap musim tanam mencapai Rp 253,6 miliar. Jika dihitung tiga kali musim tanam, total kehilangan potensi pendapatan Rp 760,8 miliar.
Baca juga: Tak Ada Pupuk Subsidi, Petani Tinggalkan Padi
Ketua Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Ismadi menuturkan, sebagai mata pencarian utama, tanpa bisa ke sawah, perekonomian petani di sana akan limbung. Kondisi ini membuat petani kian dekat ke jurang kemiskinan.
Ismadi mendorong petani dan pemerintah untuk mencari solusi jangka pendek agar petani punya sandaran sembari menunggu bendung rampung.
”Untuk jangka pendek dibuat irigasi sumur bor. Kuatkan juga pendapatan di sektor lain, seperti hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan,” kata Ismadi.
Petani berharap rehabilitasi Bendung Krueng Pase segera dilanjutkan agar mereka bisa kembali bisa menggarap sawah, sumber utama sandaran hidupnya.
Baca juga : Sindikat Menguasai Pupuk Bersubsidi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi V asal Aceh, Ruslan Daud, menuturkan, pemilihan kontraktor baru harus tepat agar pelaksanaan sesuai target. ”Petani menunggu bendung itu rampung, jangan sampai mereka kembali kecewa,” kata Ruslan.
Ruslan mengatakan rekanan baru harus benar-benar memenuhi standar dan punya rekam jejak yang baik. Ruslan menyarankan agar rekanan baru yang dipilih berasal dari Aceh agar mudah membangun komunikasi dengan warga setempat.
Ruslan berharap pengerjaan rehabilitasi bendung dikebut agar petani bisa menggarap sawah kembali dengan maksimal.