Instrumen stabilisasi harga beras di tingkat petani makin lemah seiring perubahan model bantuan pangan. Realisasi pengadaan oleh Bulog terus turun, sementara harga pembelian makin tertinggal oleh ongkos produksi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Instrumen stabilisasi harga gabah/beras di tingkat petani makin lemah seiring perubahan model bantuan pangan. Realisasi pengadaan oleh Bulog terus turun, sementara harga pembelian pemerintah makin tertinggal oleh ongkos produksi.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan berdampak pada terus turunnya pengadaan beras dalam negeri oleh Perum Bulog empat tahun terakhir. Terputusnya hulu dan hilir dikhawatirkan makin menekan petani.
Sejumlah petani dan kelompok tani di daerah sentra padi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, yang ditemui pekan lalu, mengkhawatirkan anjloknya harga gabah pada panen raya musim rendeng Maret-Mei 2020. Itu karena, selain penyerapan Bulog yang terus turun, gudang beras umumnya masih terisi.
Sepanjang tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ribuan kasus harga jual gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) meski persentasenya berkisar 0,38-3,58 persen dari total transaksi jual beli yang jadi sampel. Situasi itu terutama pada puncak panen bulan Maret-Juni 2019.
Padahal, BPS masih menggunakan HPP berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Beras/Gabah dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Sesuai dengan regulasi itu, HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp 3.700 per kilogram.
Ketentuan itu dinilai tertinggal dan makin tidak relevan untuk menopang penyerapan gabah/beras untuk cadangan pangan. Hal ini tecermin dari realisasi penyerapan gabah/beras oleh Bulog yang turun dari 2,961 juta ton (2016), 2,051 juta ton (2017), 1,488 juta ton (2018), dan 1,201 juta ton (2019). Realisasi penyerapan tahun lalu bahkan hanya sekitar 66 persen dari target.
Kecemasan petani berpotensi terjadi jika pemerintah tidak bertindak.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa saat dihubungi pada Senin (10/2/2020) mengatakan, kecemasan petani berpotensi terjadi jika pemerintah tidak bertindak. Terlaksananya instrumen stabilisasi harga berpengaruh pada kesejahteraan petani. ”Jika tidak ada pembenahan, petani akan sengsara,” ujarnya.
HPP menjadi instrumen penting untuk menjamin petani mendapatkan harga yang layak. Sayangnya, angka HPP tak kunjung dikoreksi sejak lima tahun lalu dan tertinggal oleh ongkos produksi yang terus naik. HPP GKP, misalnya, masih ditetapkan Rp 3.700 per kg. Padahal, menurut survei AB2TI di 28 kabupaten sentra pada April 2019, ongkos produksi telah mencapai Rp 4.523 per kg GKP.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, pemerintah berencana menyesuaikan HPP menjelang panen raya Maret 2020. Pemerintah juga menyiapkan alternatif kebijakan beras hulu-hilir.
Bantuan nontunai
Selain faktor HPP, perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan dari aturan melalui raskin/rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) dengan transfer langsung ke keluarga penerima manfaat dianggap berperan pada seretnya pengadaan gabah/beras produksi petani.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, perubahan itu kanal beras yang dikelola Bulog menyempit. Sampai pekan lalu, stok beras di gudang Bulog 1,839 juta ton atau sekitar 60 persen dari total kapasitas, sekitar 900.000 ton di antaranya bahkan berasal dari impor tahun 2018.
Sejak tahun 2017, pemerintah merintis penyaluran BPNT. Program ini digelar untuk memastikan bantuan pemerintah lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi.
Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi ZA Dulung menyatakan, mekanisme BPNT membebaskan pengelola e-warong, agen penyalur bahan pangan, untuk membeli beras dari berbagai sumber, seperti penggilingan, Bulog, dan perusahaan beras swasta. Mekanisme itu diharapkan turut menggerakkan perekonomian rakyat serta mengangkat kesejahteraan keluarga penerima manfaat.
Posisi Bulog
Staf Khusus Presiden di Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, peran Bulog tetap penting, tetapi pemerintah masih memformulasikan arah kebijakan yang paling baik, termasuk soal dampak perubahan model bantuan dari rastra menjadi BPNT.
Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada 4 Desember 2019, Presiden Joko Widodo meminta manajemen cadangan beras pemerintah dibenahi pengelolaannya. Penumpukan stok beras diharapkan bisa diantisipasi sejak jauh-jauh hari.
Dalam ratas itu juga diputuskan, Kementerian Perdagangan akan menyesuaikan peraturan menteri yang memungkinkan cadangan beras pemerintah bisa dijual dalam kondisi tertentu. Sebab, cadangan beras semestinya hanya untuk rastra, bantuan bencana, dan operasi pasar.
Menurut Arif, Bulog tetap akan menyerap beras petani, menjaga cadangan beras pemerintah, serta menstabilkan harga di petani. (INA/MEL/IKI/XTI/ HRS/MKN/REN)