Tidak mudah menjadi petani di Indonesia. Musim tanam kerap berubah menjadi petaka saat benih sudah terlanjur ditabur namun pupuk belum tersedia.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT,DHANANG DAVID,IRENE SARWINDANINGRUM,INSAN ALFAJRI,RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
Petani padi di Indonesia hampir selalu mengalami siklus kesulitan yang berulang untuk mendapatkan pupuk bersubsidi setiap tahun. Saat dibutuhkan, pupuk telat turun. Saat turun pun, alokasinya berkurang, sedangkan harga pupuk nonsubsidi melambung. Sementara harga gabah selalu jatuh saat panen raya.
Badaruddin (48) dan Tasmiyati (56), petani Desa Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, merasakan betul kegetiran ini. Pupuk subsidi belum turun ketika masa tanam berjalan akhir 2021.
Mereka terpaksa berburu pupuk dengan harga miring. Setelah bertanya sana-sini dan adu cepat dengan sesama petani, mereka akhirnya mendapatkan pupuk subsidi, tetapi dari tetangga desa dengan harga Rp 180.000 per kemasan 50 kilogram (kg).
Harga ini lebih mahal dibandingkan dengan pupuk urea subsidi yang seharusnya, yakni Rp 125.000 per 50 kg. Akan tetapi, jauh lebih murah dari harga nonsubsidi yang saat itu tembus sekitar Rp 300.000 untuk kemasan sama.
”Ya, lebih mahal, tetapi kami sudah harus memupuk. Kalau menunggu pupuk (subsidi) turun, sudah telat,” kata Badaruddin di sawahnya. Saat pupuk subsidi untuk kelompok taninya turun, uang mereka sudah habis untuk membeli sarana produksi pertanian lainnya.
Pengulangan kisah ini membuat lelah Wawan Darmawan (55), petani di Desa Sumber Mulya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dia berencana menanami sawahnya dengan pinang. Empat dari dua hektar sawahnya disiapkan untuk alih komoditas.
Apalagi, alokasi pupuk subsidi untuk kelompoknya berkurang separuh, dari 200 kg per ha tahun lalu menjadi 100 kg pada 2021. Sementara, menurut dia, kebutuhan satu hektar sekitar 200 kg urea.
Adapun harga pupuk nonsubsidi sebesar Rp 1 juta-Rp 1,2 juta per 100 kg. Harga yang terlalu tinggi bagi mereka. ”Sudah banyak sawah di sini yang mulai disiapkan untuk kelapa dan pinang. Mungkin sudah lebih dari 10 hektar karena petani makin sulit mencari pupuk subsidi,” kata Wawan.
Berat
Beralih dari padi ke tanaman perkebunan bukan hal mudah bagi Wawan. Apalagi, ia tokoh petani padi di Muara Telang yang sering menjadi pembicara mengenai pemanfaatan lahan muara menjadi padi. ”Namun. tidak ada pilihan, biaya hidup semakin mahal, padi sudah sulit menghidupi lagi kalau begini,” ujarnya.
Dengan kondisi ini, bagi Wawan, pinang dan kelapa lebih menguntungkan. Dalam 3-4 tahun ke depan, kedua komoditas itu sudah bisa menghasilkan keuntungan bersih sekitar Rp 50 juta setahun atau sekitar Rp 4,2 juta sebulan per hektar.
Sementara padi hanya Rp 3 juta per bulan per hektar. ”Artinya, kerja petani padi di sawah yang begitu berat itu hanya dihargai Rp 100.000 sehari. Sementara pinang dan kelapa dibiarkan saja memberi hasil. Kebutuhan pupuk juga bisa sangat kecil,” kata Wawan.
Di Kecamatan Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Muklis Suryadi (38) juga sudah menyiapkan bibit kelapa sawit. Ia akan menanami dua dari enam hektar sawahnya. Sementara 4 hektar sawah lainnya belum bisa ia alihkan komoditasnya karena tengah disewa dengan sistem bagi hasil dengan petani penggarap. Di desanya, lebih dari 10 hektar sawah sudah ditanami kelapa sawit.
Hasil dari tanaman pangan semakin lama tak menjamin kesejahteraan. Sebelum ini, Muklis menanam padi dan jagung bergantian. Untuk musim tanam ini, ia telah membeli pupuk nonsubsidi karena alokasi subsidi hanya memadai untuk satu hektar sawah.
Bagi Muklis, dengan kondisi sekarang ini, bertani pangan seperti berjudi. Tak ada jaminan untung di panen raya. ”Waktu panen raya, harga gabah malah turun, itu bisa sampai lima kali turunnya dalam sehari,” kata Muklis.
Meski berat hati, semakin banyak petani pangan di kawasan itu meninggalkan padi setelah memiliki cukup modal ”Sudah puluhan hektar yang mulai disiapkan untuk beralih jadi kelapa dan pinang,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani Manunggal Jaya, Desa Telang Jaya, Ahmad Yasir.
Jika persoalan pupuk subsidi berlarut-larut, akan semakin banyak petani berpaling dari padi.