Nuansa Warna 730 Warsa Surabaya
Dalam usia 730 tahun, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, masih perlu terus berbenah agar menjadi metropolitan terkemuka dengan kehidupan sosial masyarakat yang curabhaya atau berani menghadapi bahaya.
Pentas keroncong dan ludruk, kembang api, dan pembukaan kembali Taman Surya Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (31/5/2023) malam, menjadi puncak sekaligus akhir rangkaian acara peringatan Hari Jadi Ke-730 Surabaya.
Surabaya sebagai ibu kota Jatim dianggap merupakan metropolitan terkemuka kedua di Indonesia atau setelah Jakarta. Surabaya telah melalui perjalanan panjang dari kampung jawara Curabhaya di tepian sungai (naditira pradeca) menjadi bandar besar dan berpopulasi 3 juta jiwa.
Surabaya diyakini telah ada setidaknya sejak peristiwa pengusiran tentara Tartar oleh laskar Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, 31 Mei 1293. Peristiwa itu dianggap heroik dan menjadi dasar penetapan legislatif dan eksekutif sebagai hari jadi Kota Surabaya sejak Maret 1975. Sebelumnya, ulang tahun kota ini dikaitkan dengan status Surabaya sebagai resort gemeente sejak 1 April 1906.
Baca juga: Menjaga Kelenturan, Mencegah Kelunturan
Untuk peringatan 730 tahun Surabaya, pemerintah dan kelompok masyarakat mengadakan beragam acara agar perayaan ulang tahun berlangsung meriah. Sebulan penuh diadakan Surabaya Shopping Festival dan Pasar Malem Tjap Toendjoengan. Ada pameran fotografi, seni rupa, pentas seni budaya, Night at Museum (Tugu Pahlawan), Festival Rujak Uleg, Surabaya Vaganza, pembukaan kembali ruang publik setelah renovasi (Taman Kartika dan Taman Surya), dan upacara-resepsi-tasyakuran sebagai puncak peringatan pada 31 Mei 2023.
Deretan acara tersebut ingin menghibur warga ”Bumi Pahlawan” agar tetap cinta, bangga, dan bersama mewujudkan pemajuan dan kemajuan. Surabaya bukan atau belum menjadi metropolitan sempurna dan paripurna. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi secara khusus dalam peringatan 730 tahun menggaungkan Surabaya Hebat (Humanis, Efektif Efisien, Berakhlak, Akuntabel, Transparan).
Jargon ”Hebat” itu digemakan untuk menghiasi peringatan ulang tahun. Tidak seperti sebagian kabupaten/kota bahkan Jatim, Surabaya tidak memiliki semboyan. Jatim bermoto Jer Basuki Mawa Beya. Namun, tiada semboyan dalam logo Surabaya kecuali gambar hiu (sura) dan buaya (baya) mengapit Tugu Pahlawan dalam perisai kurva segi enam meruncing.
Baca juga: Memelihara Ukhuwah Curabhaya
Mungkin banyak orang menganggap Surabaya berasal dari kata sura dan baya dan termanifestasi dalam logo hiu dan buaya. Padahal, Surabaya adalah pergeseran toponimi dari curabhaya, desa atau kawasan di tepian sungai yang mengelola penyeberangan (naditira pradeca). Nama curabhaya itu disebutkan di dalam Prasasti Canggu atau Trowulan I pada 7 Juli 1358 oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk.
Di logam bertulis itu tercatat Curabhaya, Bkul (Bungkul), dan Gsang (Pagesangan) yang adalah desa-desa penyedia jasa penyeberangan sungai dengan perahu atau rakit yang di masa kini disebut tambangan.
Curabhaya sendiri dalam khazanah Jawa menjadi sura ing baya atau berani menghadapi bahaya. Kampung ini, menurut sejarawan Hindia-Belanda, GH von Faber, merupakan penghargaan Kertanegara, Raja Singhasari, atas jasa-jasa para jawara dalam menumpas pemberontakan Kanuruhan. Pada 1270, Kertanegara mengizinkan pendirian kampung para jawara pemberani itu di tepi sungai besar dan diyakini Faber dinamai Curabhaya.
Curabhaya atau sura ing baya sejatinya menjadi semboyan sekaligus laku hidup bagi rakyat Surabaya. Berani menghadapi bahaya itu, dalam pandangan Eri Cahyadi diwujudkan melalui Hebat. Yang lebih utama, menghayati Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin bukan kebetulan, Soekarno, insiator Pancasila dan Proklamator sekaligus Presiden pertama, dilahirkan di Peneleh, Surabaya, yang diduga sebagai bagian dari tetirah kampung kuno Curabhaya.
Baca juga: Surabaya, Kota Kampung yang Terus Menjaga Ciri Khasnya
Perjalanan
Berani mungkin sudah melekat sebagai karakter menonjol orang Surabaya. Dalam perayaan hari jadi ke-730, untuk urusan acara, kebijakan yang berani setidaknya ditempuh meski memancing ”keberanian protes” dari publik, misalnya pemasangan pagar di sepanjang lokasi Festival Rujak Uleg di Jalan Kembang Jepun dan rute Surabaya Vaganza (Jalan Pahlawan-Jalan Pemuda). Pagar membatasi akses masyarakat menonton, tetapi pelaksanaan acara menjadi tertib.
Surabaya Vaganza diadakan dua sesi. Sesi kedua yang baru pertama kali diadakan ialah parade cahaya pada malam. Taman Surya yang direnovasi dalam masa pandemi Covid-19 sehingga tidak bisa diakses leluasa oleh publik akhirnya dibuka kembali. Masyarakat dapat memanfaatkan taman Balai Kota Surabaya itu dari pagi sampai malam untuk mendorong aktivitas sosial yang bermanfaat.
Baca juga: Eksistensi Kampung Kreatif di Surabaya Sangat Dirindukan
Pandemi sejak Maret 2020 dianggap mulai mereda dua tahun kemudian atau setahun sejak kepemimpinan Eri Cahyadi yang dilantik 21 Februari 2021. Sebelumnya ialah era Tri Rismaharini (Menteri Sosial) yang menorehkan capaian prestasi luar biasa.
Sebanyak 25 wali kota sejak A Meijroos (1916-1920), dengan visi dan misinya, telah mewarnai pemajuan dan kemajuan Bumi Pahlawan. Begitu pula sejumlah peristiwa besar dan berdarah, misalnya Pertempuran Surabaya (November 1945) bahkan teror bom (13-14 Mei 2018).
Seperti manusia, Surabaya mengalami jatuh bangun. Banyak prestasi, tetapi masih juga perlu pembenahan di sejumlah sisi. Sampai hari ini, tercatat 200.000 warga miskin di Surabaya. Padahal, Surabaya adalah episentrum ekonomi untuk Indonesia tengah sampai timur. Surabaya berjuang untuk ambisi nihil kasus tengkes dan status kota layak anak tingkat dunia. Tengkes masih ada, begitu pula kasus-kasus kejahatan terhadap anak.
”Saya berharap kebijakan fokus dalam kerja bukan mengejar status atau penghargaan misalnya layak anak,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia Yuliati Umrah.
Baca juga: Belia Mangsa Pidana di Kota Layak Anak
Dalam seni budaya, Surabaya terus berjuang mempertahankan tradisi yang masih ada, misalnya ludruk, jaranan, dan bantengan. Kampung-kampung pemelihara seni budaya, seperti Petemon dan Pagesangan, kian hilang tergantikan kompleks bangunan megah, menjulang, untuk hunian kaum elite, perkantoran, atau pusat belanja.
”Kampung perlu tetap ada sebagai pusat kehidupan sosial dengan memperkuat relasi, identifikasi potensi, dan pengembangan melalui keseharian latihan dan pentas rutin,” ujar Sekretaris Dewan Kesenian Surabaya Luhur Kayungga.
Dalam aspek lingkungan, Surabaya perlu terus berupaya mengelola, mengoptimalkan, sekaligus melestarikan warisan kawasan agar menjadi tempat hidup yang baik dan sehat bagi generasi selanjutnya. Pencemaran sungai karena berada di hilir terusan Brantas adalah keniscayaan tetapi bisa ditekan jika mau kerja sama dengan hulu (Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kediri, Tulungagung, Malang, dan Batu).
Baca juga: Dorong Peningkatan Kereta Komuter Surabaya
Selain itu, pencemaran udara karena mobilitas komuter dengan kendaraan pribadi hanya bisa ditekan dengan penambahan dan optimalisasi angkutan umum perkotaan. Di Surabaya, tercatat 3,5 juta sepeda motor, mobil, bus, dan truk.
Jumlah ini jauh melampaui populasi kota yang 3 juta jiwa. Angkutan bus dan mobil penumpang tak sampai 3.000 unit dan belum bisa menjangkau seluruh atau 154 kelurahan dalam 31 kecamatan.
”Program Suroboyo Bus dan Wira Wiri Suroboyo perlu ditambah terus sehingga mampu mencakup seluruh wilayah sekaligus mengupayakan beroperasinya jaringan kereta rel listrik,” ujar pengamat transportasi, Djoko Setijowarno.
Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Suroboyo hanya mencakup empat koridor atau jauh dibandingkan dengan masa lalu ketika layanan bus kota pernah lebih dari 20 trayek. Wira Wiri Suroboyo dengan kekuatan 50 unit dan 5 rute masih teramat kecil di hadapan lyn atau mobil penumpang umum yang di masa lalu pernah beroperasi 4.000 unit dengan 50 rute.
Selamat ulang tahun Surabaya!