Kasus-kasus kejahatan terhadap anak mencoreng dan memunculkan keraguan pada status kota layak anak kategori utama sejak 2017 yang disematkan untuk Surabaya, Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Tiga kasus kejahatan terhadap anak Surabaya, sepekan terakhir, menyita atensi kalangan warga ibu kota Jawa Timur tersebut yang sedang berambisi menjadi kota layak anak (KLA) dunia. Namun, kenapa terjadi tindak pidana terhadap remaja di metropolitan penerima anugerah KLA kategori utama 2017-2022 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak?
Di awal Mei 2023, Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya menangani kasus pemerkosaan dengan korban M (15), siswi kelas 8 SMP negeri di Surabaya Utara. Remaja putri ini korban pemerkosaan oleh tiga pemuda pada Desember 2022 sehingga hamil. Petugas telah menangkap pelaku dan melanjutkan penyidikan kasus itu. Kemudian, Polda Jatim menerima dan menangani laporan pemerkosaan dengan korban Y (13), siswi kelas 7 SMP negeri di Surabaya Barat. Korban diperkosa dan dirampok oleh seorang pemuda yang dikenal lewat media sosial.
Yang terkini, selumbari atau Minggu (7/5/2023), Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak menemukan jenazah N (14), siswi kelas 7 SMP negeri di Surabaya Utara, dengan kondisi mengenaskan di bekas gudang peluru Benteng Kedung Cowek. Petugas menahan dua remaja sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap korban yang dilaporkan hilang sejak 16 April 2023 itu.
Beberapa bulan sebelumnya, polisi menangani kasus kejahatan seksual seorang guru madrasah ibtidaiyah di Tambaksari. Selain itu, ada kasus ayah menghamili anak kandung di Semolowaru.
Kasus-kasus kejahatan terhadap perempuan belia itu mencuat seiring ”deklarasi” ambisi Surabaya menjadi KLA dunia. Kenapa dunia? Status di level nasional sudah dikuasai lima tahun terakhir. Bisa dipahami kemudian Pemerintah Kota Surabaya punya mimpi dan ambisi dengan status lebih mentereng, dunia.
Namun, yang nyata, kasus-kasus kejahatan terhadap anak tadi jelas memunculkan keraguan di kalangan warga. Apakah Surabaya benar-benar kota layak anak? ”Jika melihat status, secara hakikat, anak-anak seharusnya selamat dan aman untuk berinteraksi di Surabaya,” ujar Meliawati (40), warga Gayungsari.
Meliawati memiliki dua anak perempuan yang bersekolah di SMP negeri di Surabaya Selatan. Belum pernah terlintas dalam pikirannya untuk melepas kedua putrinya bepergian sendiri di Surabaya bahkan ke sekolah yang relatif dekat. ”Layanan bus sekolah tidak menjangkau, lyn (angkutan kota) tidak ada, dengan segala risiko, saya belum berani melepas mereka pergi sendiri ke mana-mana,” katanya.
Padahal, di Jepang termasuk Prefektur (Provinsi) Kochi, sudah lazim orangtua melepas anak-anak mereka pergi sendiri ke sekolah sejak di tingkat dasar. Anak-anak itu tak sekadar bepergian beberapa meter, melainkan antardaerah dengan naik moda transportasi massal, kereta, bus, dan ditambah berjalan. Anak-anak di Jepang dididik dalam tradisi bahwa percaya yang lebih tua akan melindungi dan membantu dalam kesulitan. Kondisi ini masih sulit diwujudkan di KLA bintang lima, yakni Surabaya yang notabene berprogam kota kembar dengan Kochi.
Di sisi lain, KLA bukan berarti nirkasus kejahatan terhadap bocah-bocah. Status itu lebih pada terpenuhinya persyaratan sesuai Peraturan Menteri PPPA Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. Secara sederhana, indikator meliputi penguatan kelembagaan dan klaster hak anak.
Penguatan kelembagaan meliputi peraturan dan kebijakan, persentase anggaran, peraturan dan kebijakan yang mendapat masukan dari forum atau kelompok anak, sumber daya manusia terlatih untuk program anak, data anak terpilaj, dan keterlibatan lembaga masyarakat dan dunia usaha.
Kluster hak anak meliputi hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta perlindungan khusus.
Namun, menurut Anggota Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Kota Surabaya Isa Anshori pemenuhan berbagai indikator tadi belum bisa mencegah atau menekan kasus-kasus kejahatan terhadap anak. Secara statistik, tindak pidana terhadap anak cenderung tinggi.
Forum Anak Surabaya mencatat sepanjang 2021, ada 100 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah itu naik menjadi 123 kasus pada 2022. Kejahatan seksual terhadap anak juga meningkat, yakni dari 72 kasus pada 2021 menjadi 81 kasus pada 2022. Angka berbicara ada kecenderungan kasus kejahatan terhadap anak malah meningkat. Diharapkan sepanjang 2023 ini statistik menurun.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Achmad Hermas Thony mengatakan, pelaku kejahatan terhadap anak sepatutnya dijatuhi hukuman tegas dan berat. ”Kasus-kasus itu mencoreng status kota layak anak,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia Yuliati Umrah berpendapat, Surabaya baru sekadar berpuas dengan status KLA. Surabaya belum dalam tahap mewujudkan kehidupan sosial budaya yang memastikan anak-anak dihargai, dihormati, disayangi, dijaga, dan dilindungi martabatnya sebagai sosok manusia.
Tidak sedikit kasus yang membuktikan predator juga muncul dari orangtua, kerabat, lingkungan, bahkan sekolah.
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menegaskan, negara menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah.
Negara akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga.
Yuliati melanjutkan, secara sosial, masyarakat bahkan belum semua aparatur negara memahami konvensi itu. Kasus-kasus kejahatan terhadap anak berakar dari pemahaman keluarga (orangtua) bahwa anak adalah aset alias barang bukan manusia. Keluarga merasa berhak memiliki dan menentukan hidup anak. Keluarga membangun ”benteng” yang sulit diintervensi oleh luar, yakni lingkungan sehingga tidak bisa menjangkau seorang anak yang notabene menjadi korban kejahatan keluarga inti dan kerabat.
”Tidak sedikit kasus yang membuktikan predator juga muncul dari orangtua, kerabat, lingkungan, bahkan sekolah,” kata Yuliati. Meski keluarga dipandang sebagai tempat terbaik untuk tumbuh kembang anak, risiko keselamatan dan keamanan jiwa seorang anak setara dengan yang berada di tempat konflik (perang) atau lingkungan sosial lainnya.
Yuliati menekankan, tugas aparatur belum selesai dan tidak cukup dengan pendampingan dan pemenuhan hak anak terutama yang menjadi korban kejahatan. Masyarakat secara luas juga harus berperan untuk mendorong kehidupan sosial yang benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan anak-anak. Ini bisa dimulai dari mengupayakan nirkasus kejahatan dan kekerasan terhadap anak baik dalam konteks pelanggaran hukum atau secara sosial di keluarga dan lingkungan.