Dilema Penanganan Keluarga Imigran di Manado: antara Kemanusiaan dan Hukum
Keadaan keluarga Ali sebagai imigran ilegal di Manado menimbulkan kegamangan dalam penanganan, antara naturalisasi atau deportasi. Apa pun pilihannya, pemerintah diminta untuk tak membiarkan mereka dalam ketidakjelasan.
Tri Nuke Pudjiastuti tak habis pikir ketika mendengar cerita tentang Ali (27) dan saudara-saudaranya. Ternyata, ada keluarga Afganistan-Suriah yang sudah 23 tahun hidup di Indonesia dengan status hukum imigran ilegal, tetapi bisa sekolah dan kuliah sampai lulus S-2.
Bahkan, ada yang jadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manado. ”Ya ampun… Indonesia banget, ya,” kata peneliti migrasi paksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu via telepon, 11 April 2023.
Situasi itu adalah anomali bagi Nuke. Sebab, menurut ketetapan Kementerian Pendidikan, Kebudaayaan, Riset, dan Teknologi, hanya imigran ireguler berstatus pengungsi (refugee) dan pencari suaka (asylum seeker) yang diperbolehkan bersekolah formal di sekolah-sekolah negeri.
”Itu aneh buat saya karena mereka tidak punya status kepengungsiannya lagi tetapi bisa sekolah. Kalau saya melihatnya, ini kasus pembiaran, baik dari pihak imigrasi maupun UNHCR (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi),” kata Nuke.
Nyatanya, Ali dan tujuh saudaranya, baik kandung maupun sepupu, bisa menikmati pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Ali, misalnya, bersekolah di SD Negeri 2 Sumbawa, SMPN 2 Sumbawa Besar, SMAN 4 Manado, dan tamat S-1 di Jurusan Arsitektur Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dengan gelar sarjana teknik pada 2019.
Amar (30), kakak Ali, berkuliah di Program Studi Agribisnis Unsrat, sementara almarhum Sajjad, sepupu mereka, berkuliah di Jurusan Teknik Informatika Unsrat. Bahkan, Amar dan Sajjad menerima beasiswa Mapalus Unsrat sehingga bisa berkuliah gratis selama 2013-2018.
Sementara Ali, Amar, dan Sajjad diterima tanpa tes tulis melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) alias undangan, sepupu Ali yang bernama Zahra (26) masuk Jurusan Arsitektur lewat tes mandiri Tumou Tou Unsrat.
Pada tahun penerimaan keempat saudara itu, yaitu 2013 dan 2014, permohonan suaka keluarga mereka telah ditutup oleh UNHCR . Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Imigrasi Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, mereka berstatus immigratoir (pelanggar aturan keimigrasian) sehingga seharusnya ditahan di rumah detensi imigrasi, kemudian dideportasi.
Pendidikan tinggi itu juga dapat mereka nikmati tanpa visa pelajar. Ali tentu tak mempermasalahkan keadaan itu. ”Saya bisa kuliah karena punya nomor induk siswa nasional (NISN). Cuma itu yang dibutuhkan untuk daftar SNMPTN,” katanya.
NISN didapat Ali dan saudara-saudaranya ketika mulai bersekolah di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada 2002. Saat itu, status keluarganya masih pencari suaka. Terlepas dari itu, ia yakin, pendidikan adalah hak setiap anak di muka bumi, termasuk anak-anak pengungsi dan pencari suaka seperti dirinya.
Baca juga: UNHCR Diminta Bergerak Cepat Mencari Negara Penempatan bagi Pengungsi di Indonesia
Karena pendidikan Indonesia, kini Ali dan saudara-saudaranya secara kultural telah menyatu dengan masyarakat, baik di Sumbawa maupun di Manado. Hal ini dibenarkan Rignolda Djamaluddin, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unsrat, yang dekat dengan Ali melalui kegiatan di masjid. Baginya, Ali dan saudara-saudaranya tak berbeda dari mahasiswa lainnya sekalipun ia stateless.
”Karakter mereka sudah karakter orang Manado. Mereka sudah menjadi bagian tidak hanya kampus, tetapi masyarakat Manado, sampai kemudian persoalan keimigrasian, status, itu sudah tidak menjadi hal yang serius dibicarakan. Kami merasa, ketika mereka diizinkan kuliah, berarti urusan-urusan itu selesai,” tutur Rignolda.
Kini, Amar, almarhum Sajjad, Ali, dan Zahra telah lulus kuliah. Amar dan Zahra bahkan telah bergelar magister. Namun, empat adik mereka masih menempuh pendidikan, yaitu Fatimah (25) dan Yahya (23) di Jurusan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Manado, Tahanan PBB alias Nur (19) di Jurusan Teknik Mesin Unsrat, dan Tahanan PBB II alias Sakinah (13) di SMP Negeri 2 Manado.
Kecuali Sakinah, semua kakak beradik itu lulus dari SMAN 4 Manado. Sakinah pun kemungkinan besar akan menyusul ke sana jika sudah lulus SMP. Mendengar itu, Kepala SMAN 4 Manado, Lily Noula Wuisan, pun menyatakan siap menampungnya. ”Kalau memang masih ada lagi adiknya yang mau sekolah di sini, saya bersedia menerima,” ujarnya.
Sejak menjabat sebagai kepala sekolah per 2017, Lily telah mengenal Fatimah, Yahya, dan Nur. Terlepas dari status mereka yang stateless ia tak pernah menentang keberadaan mereka.
”Saya kepala sekolah selama kakak-beradik itu bersekolah di sini. Kepala sekolah sebelum saya memberikan kebebasan mereka untuk mengecap pendidikan di sini tanpa sumbangan apa pun. Jadi, saya hanya mengikuti kebijakan kepsek yang lama. Lagi pula, mereka pintar berbaur, tidak ada masalah apa pun,” kata Lily.
Bagi Ali, hal ini adalah wujud perhatian yang besar dari pemerintah dan warga Indonesia. ”Saya diberikan izin untuk berpendidikan dan aktivitas sehari-hari saya tidak pernah dicegah. Saya hidup layaknya manusia normal, tapi hanya terbatas dalam administrasi,” katanya.
Pilihan
Ketika dipindahkan dari Sumbawa pada 2011, keluarga Ali ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado sebagai immigratoir. Namun, karena alasan tertentu, mereka menjadi tanggungan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan diperbolehkan beraktivitas di luar rudenim.
Namun, pada 7 Februari 2019, setahun setelah permohonan suaka mereka ditolak final oleh UNHCR, sebuah konflik antara keluarga Ali dan petugas Rudenim Manado memuncak. Di hari itu, Sajjad membakar dirinya sendiri untuk mencegah petugas menggeledah sel tempat tinggal mereka.
Baca juga: Menuju Australia, Menunggu Kepastian di Indonesia
Insiden itu akhirnya menewaskan Sajjad dan Rahim, ayah Ali. Sejak itu, pihak-pihak seperti HMI, Baznas Sulawesi Utara, dan Badan Takmir Masjid (BTM) Unsrat, paguyuban dosen muslim Unsrat, serta bebepolitisi lokal mendesak Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Sulut untuk mengizinkan keluarga Ali tinggal di luar rudenim.
Akhirnya, keluarga yang tersisa 10 orang itu kini bisa hidup seperti umumnya warga Manado, tetapi tanpa dokumen identitas dan kependudukan. Hal ini akhirnya menjadi masalah karena berbagai aktivitas keluarga Ali bisa saja melanggar hukum, seperti mengendari sepeda motor tanpa surat izin mengemudi.
Keadaan ini bahkan sudah berlangsung selama 23 tahun. Karena itu, Nuke, peneliti migrasi paksa di BRIN, menegaskan, pemerintah tak boleh membiarkan keluarga Ali. ”Bisa jadi, orang stateless seperti mereka meningkat di Indonesia karena pernikahan kemudian punya anak,” katanya.
Sebagai peneliti, ia mengaku tak bisa menawarkan solusi yang paling tepat. Namun, ada setidaknya dua opsi yang dapat diambil Pemerintah Indonesia, yaitu naturalisasi atau deportasi, mengingat UNHCR sudah tak mau memproses kasus mereka.
Naturalisasi dapat dipilih oleh pemerintah dengan pertimbangan asas kemanfaatan. ”Selama ini, naturalisasi selalu diberikan kepada orang yang bisa memberikan manfaat, seperti atlet. Di kasus keluarga ini, sudah ada yang S-2 segala. Nah, sejauh mana manfaat mereka bagi Indonesia?” kata Nuke.
Sebaliknya, jika memang tidak ada manfaat, Nuke meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan mereka. Caranya adalah dengan deportasi. Karena UNHCR telah menolak suaka mereka, pemerintah pun tidak dalam posisi menyalahi hak asasi mereka (HAM).
”Kalau Indonesia mau bersepakat dengan komitmen globalnya sebagai penanda tangan delapan dari 10 konvensi HAM, pemerintah harus mengimplementasikan pilihan itu. Setiap pilihan ada pertimbangannya masing-masing, tetapi mereka tidak boleh digantung,” kata Nuke.
Banyak orang di lingkaran terdekat Ali mendukung naturalisasi sebagai bentuk rasa kemanusiaan, seperti Rignolda Djamaluddin. Ia membandingkan Ali dengan para pemain sepak bola kelahiran luar negeri yang akhirnya dinaturalisasi untuk memperkuat tim nasional meski tak pernah tinggal di Indonesia, apalagi berbahasa Indonesia.
”Mereka (Ali dan keluarga) ini anak-anak pintar. Mereka sudah kami berani luluskan bahkan. Bukankah mereka akan jadi sumber daya juga buat kita? Mereka bahkan sudah sangat Indonesian, sudah menjadi bagian dari kita dalam banyak hal. Apa tidak ada alasan untuk ke arah sana?” katanya.
Baca juga: 12.000 Lebih Pengungsi di Indonesia Terbantu Filantropi Islam
Radinal Muhdar (27), Ketua HMI Cabang Manado 2021-2023, juga mengajak pemerintah untuk memandang Ali lewat kacamata kemanusiaan. Ia mengingatkan, paradigma itu bahkan dimuat dalam sila kedua Pancasila sebagai dasar negara kita.
”Indonesia itu menjunjung tinggi yang namanya kemanusiaan dan HAM. Maka, kami tidak habis pikir, negara bisa melakukan sesuatu yang merugikan keluarga dan sahabat kami. Kita harus melihat Ali dan keluarganya, pertama-tama sebagai manusia,” katanya.
Kendati demikian, syarat-syarat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tak semuanya dapat dipenuhi keluarga Ali. Untuk menjadi WNI, seseorang harus memiliki pekerjaan tetap, sehingga harus memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan rutin membayar pajak.
Kepala Kanwil Kemenkumham Sulut Ronald Lumbuun pun tetap pada pendiriannya. ”Saat ini, status orang-orang Afganistan tersebut adalah immigratoir sehingga harus ditangani berdasarkan peraturan keimigrasian. Mereka harus berada di rumah detensi untuk proses penegakan hukum,” katanya.
Soal ini, Ali telah menyatakan tak akan memaksa pemerintah untuk menaturalisasinya. Namun, ia mengingatkan, masalah bisa jadi bukan hanya akan berlarut-larut, melainkan bakal mengakar-akar.
”Kakak saya (Amar) sekarang sudah menikah dan memiliki seorang anak yang status kewarganegaraannya belum jelas. Ke depan, bukan tidak mungkin saya akan menikah dan memiliki seorang anak, begitu juga adik-adik saya,” kata Ali.