UNHCR Diminta Bergerak Cepat Mencari Negara Penempatan bagi Pengungsi di Indonesia
Ketidakjelasan status para pengungsi berdampak jangka panjang, terutama pada masa depan mereka. UNHCR diharap bergerak lebih cepat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) diminta bergerak lebih cepat untuk memperjelas status para imigran yang ada di Indonesia, termasuk para imigran asal Afghanistan. Ketidakjelasan status mereka berdampak jangka panjang, tidak hanya kepada para imigran itu sendiri, tetapi juga negara yang menjadi lokasi singgah, seperti Indonesia.
Harapan tersebut disampaikan pakar hukum internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Profesor Hikmahanto Juwana saat berbicara pada diskusi virtual ”Mencari Kepastian Para Pengungsi Afghanistan di Indonesia” yang diselenggarakan Hukum Online, Kamis (16/9/2021). ”Para pengungsi Afghanistan yang ada di Indonesia saat ini, menurut saya, adalah imigran gelap. Status mereka belum ditentukan oleh UNHCR,” kata Hikmahanto.
Data UNHCR pada bulan Maret lalu menyebutkan, terdapat 13.497 individu di Indonesia yang memiliki status pengungsi dan pencari suaka. Sebanyak 73 persen dari jumlah itu adalah orang dewasa. Sisanya adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Dari angka tersebut, sebanyak 7.583 orang di antaranya berasal dari Afghanistan (Kompas.id, 25 Juni 2021).
Menurut Hikmahanto, berlarut-larutnya penetapan status terhadap ribuan warga Afghanistan yang ada di Indonesia saat ini, dinilainya, membuat Pemerintah Indonesia repot. Dia juga mengatakan, tersebarnya pengungsi di beberapa kota besar di Indonesia membuat pemerintah pusat dan pemerintah daerah saling lempar tanggung jawab.
Dia berharap UNHCR bisa segera mencari negara ke tiga untuk bisa menerima para pencari suaka. Selain itu, dia berharap Pemerintah Australia kembali mengucurkan dana sokongan terhadap lembaga International Organization for Migratin (IOM) yang membantu mengurusi penempatan para pengungsi dan pencari suaka di negara tujuan atau negara ketiga.
Hikmahanto juga menyesalkan Pemerintah Australia yang dinilainya menjadikan Indonesia sebagai bumper persoalan pengungsi. Saat ini, Canberra dengan kebijakannya menutup pintu rapat-rapat masuknya pengungsi ke negara tersebut.
Abdul Samad Hadari, salah satu warga Afghanistan pencari suaka, mengatakan, ada perbedaan waktu antara tiap individu untuk mendapatkan status sebagai pengungsi atau pencari suaka. Ada yang satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan lebih dari itu.
Pada saat yang sama, mereka juga membutuhkan kepastian status secepatnya karena hal ini berhubungan dengan masa depan mereka dan keluarganya, terutama anak-anak, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pemberdayaan pengungsi
Diovio Alfath, legal associate UNHCR Indonesia, mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk membantu pemberdayaan para pengungsi yang ada di beberapa kota di negara ini. Komitmen itu disampaikan pada Global Refugee Forum 2019 bertujuan agar negara-negara tujuan atau negara ke tiga tertarik membawa mereka ke negaranya.
Namun, sampai saat ini, menurut Diovio, sayangnya para pengungsi belum bisa berpartisipasi dalam kerja-kerja formal, terutama di perkantoran atau di perusahaan-perusahan swasta karena sampai saat ini belum ada fondasi dan landasan hukum yang kuat. Meski begitu, dia mengatakan, wacana pemberdayaan para pengungsi telah muncul di level para pengambil kebijakan dan tengah dibicarakan pada sebuah gugus tugas yang terkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Dikutip dari laporan Mix Migration Center, Mei 2021, disebutkan, salah satu alasan pemerintah menolak membuka kemungkinan para pengungsi untuk bisa bekerja adalah karena hal itu berpotensi membuat mereka tinggal lebih lama lagi. Selain itu, para pengungsi akan menjadi pesaing bagi para pencari kerja Indonesia sendiri.
Atika Yuanita, koordinator bidang bantuan hukum Suaka, mengakui masih banyak kendala bagi para pengungsi di lapangan untuk mengakses lapangan kerja. ”Tidak hanya formal, tetapi juga informal mereka masih kesulitan,” kata Atika.
Yang bisa dilakukan saat ini, menurut Atika, para pengungsi yang dinilai sudah cukup umur atau layak bekerja bisa diikutkan dalam program magang atau internship untuk membantu peningkatan kemampuan mereka nantinya.