Gelombang pengungsi Afghanistan yang baru dijanjikan akan mendapatkan ”rumah baru”. Namun, persoalannya tak mudah karena tak semua negara mau menampung para pengungsi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Batas akhir penarikan pasukan keamanan dan warga Amerika Serikat serta negara-negara koalisinya dari Afghanistan kian dekat. AS sudah menetapkan tenggat 31 Agustus dan rencana itu tidak berubah. Apalagi setelah dua ledakan bom bunuh diri yang didalangi NIIS Khurasan, kelompok pecahan dari milisi Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS, terjadi di Bandara Internasional Kabul hingga menewaskan sekitar 73 orang, Kamis lalu.
Berbagai negara bergegas menuntaskan proses evakuasi warganya dan warga Afghanistan yang selama ini membantu kepentingan negara terkait di Afghanistan. Warga Afghanistan yang dianggap akan bisa terancam nyawanya karena profesinya, seperti wartawan, penerjemah, dan aktivis hak asasi manusia, juga dievakuasi.
Sejumlah negara yang sudah menuntaskan proses evakuasi antara lain Jerman, Inggris, Australia, Spanyol, Italia, Turki, Perancis, Denmark, Polandia, Swiss, Ceko, Selandia Baru, India, Uni Emirat Arab, Hongaria, Austria, Belanda, dan Kanada.
Sementara AS masih akan tetap lanjut hingga detik terakhir meski ancaman keamanan meningkat. Sampai saat ini, AS sudah mengevakuasi dan memfasilitasi proses evakuasi lebih dari 113.500 orang dari Afghanistan sejak 14 Agustus lalu. Dalam satu hari saja, ada 14 kali penerbangan pesawat militer AS yang membawa 5.100 orang dan 39 pesawat koalisi yang membawa 2.400 orang.
Setelah dievakuasi dari Afghanistan dengan pesawat militer, warga yang dievakuasi dibawa ke negara-negara transit seperti Tashkent (Uzbekistan), Doha (Qatar), dan Islamabad (Pakistan). Dari negara transit itu, mereka dibawa ke negara-negara penerima dengan pesawat komersial. Namun, sebagian warga Afghanistan untuk sementara ditampung di Albania, Kosovo, atau Macedonia utara sambil menunggu proses pengurusan visa AS mereka. Selain ketiga negara Balkan itu, negara lain yang bersedia menjadi tempat penampungan sementara adalah Kolombia, Uganda, dan Qatar.
Rumah baru
Nasib warga Afghanistan yang memenuhi kualifikasi ini lebih ”beruntung” ketimbang warga Afghanistan lain yang tak punya pilihan lain. Pasalnya, mereka mendapat kepastian tempat tinggal baru. AS berjanji akan menerima 10.000 pengungsi, Inggris 20.000 orang, Australia 3.000 orang, dan Tajikistan 100.000 orang. Inggris juga akan menerima 20.000 pengungsi dengan mengutamakan perempuan, anak-anak, dan kelompok agama minoritas. Kanada pun menjanjikan hal yang sama.
Namun, sebagian besar negara di Eropa belum bisa menjanjikan hal serupa mengingat krisis gelombang pengungsi Suriah yang masuk Eropa pada tahun 2015-2016. Kanselir Jerman Angela Merkel masih membujuk rekan-rekan di partainya untuk mau menerima sekitar 10.000 pengungsi Afghanistan. Armin Laschet, kandidat kanselir Jerman selanjutnya, sejak pekan lalu sudah menegaskan Jerman tidak akan menampung pengungsi lagi karena tidak siap dan tidak mampu.
Presiden Perancis Emmanuel Macron kepada harian Financial Times, 18 Agustus lalu, menegaskan Uni Eropa perlu berkoordinasi dan bekerja sama dengan negara-negara transit seperti Pakistan, Turki, dan Iran untuk membantu kebutuhan para pengungsi dari jarak jauh saja.
Direktur Institut Kebijakan Migrasi Eropa Hanne Beirens menjelaskan, sejak 2015 UE ingin bekerja sama dengan negara ketiga supaya pengungsi tak pergi ke Eropa. Hanya saja, ini tak akan mudah karena hubungan UE yang kurang harmonis dengan Turki dan Iran. UE juga khawatir dengan risiko negara-negara tetangga yang justru bisa ”mempersenjatai” pengungsi, seperti yang terjadi di Belarus.
Krisis pengungsi
Inggris dan beberapa negara Barat pesimistis semua warga asing dan Afghanistan yang memenuhi kualifikasi akan bisa dievakuasi sebelum tenggat. Ditambah 1-2 hari lagi pun tak akan selesai. Di luar pagar bandara, masih banyak warga Afghanistan yang berharap bisa dievakuasi. Bagi warga yang tak memenuhi kualifikasi, pilihan meninggalkan Afghanistan terbatas karena kelompok Taliban sudah menutup semua pintu perbatasan darat dengan negara-negara tetangga Afghanistan.
”Mayoritas warga Afghanistan tak bisa pergi,” kata juru bicara Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) kepada BBC.
Meski sudah ditutup semua, ribuan warga Afghanistan berhasil menyeberang ke Pakistan dan Uzbekistan dan terpaksa tinggal di tenda-tenda di dekat garis perbatasan. UNHCR khawatir gelombang pengungsi baru ini menambah daftar panjang jumlah pengungsi Afghanistan yang sebelumnya sudah mengungsi ke negara-negara tetangga yang jumlahnya mencapai 2,2 juta jiwa.
Hingga akhir tahun ini, diperkirakan ada 500.000 orang lagi yang mengungsi. Untuk itu, UNHCR meminta semua negara tetangga Afghanistan, seperti Iran, Pakistan, dan negara-negara di Asia Tengah, tetap membuka perbatasannya untuk pengungsi. Pakistan dan Iran selama ini menjadi negara tetangga yang paling banyak menampung pengungsi dari Afghanistan. Sekitar 1,5 juta pengungsi di Pakistan dan 780.000 pengungsi di Iran untuk tahun lalu saja. Jerman menjadi negara ketiga penampung terbanyak dengan 180.000 pengungsi dan Turki sebanyak 130.000 pengungsi.
Iran berjanji akan membantu dengan membangun tenda-tenda darurat di tiga provinsi dekat perbatasan Afghanistan. Namun, itu hanya sementara. Jika kondisi Afghanistan membaik, para pengungsi harus kembali pulang. Ini karena Iran sudah kewalahan menampung 3,5 juta pengungsi Afghanistan.
Filippo Grandi dari UNHCR sudah meminta Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan negara-negara donor lainnya untuk memberikan bantuan finansial kepada rencana UNHCR untuk menyediakan tempat penampungan sementara dan fasilitas lainnya bagi para pengungsi yang baru. (AP/REUTERS)