Menuju Australia, Menunggu Kepastian di Indonesia
Saat ini, ada lebih dari 13.000 pengungsi tujuan Australia di Indonesia. Mereka menanti kepastian untuk ditempatkan di negara ketiga hingga bertahun-tahun.
Lebih dari 7.000 pengungsi Afghanistan masih hidup di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, yang dihubungi Minggu (11/9/2022) mengatakan, sesuai aturan internasional, ada prinsip segera dalam penanganan pengungsi atau pencari suaka.
Berdasarkan data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) hingga Juni 2021, ada lebih dari 25.000 pengungsi Afghanistan di Malaysia. Tersisa sekitar 100 pengungsi di Papua Niugini sebagai tempat hunian sementara yang disediakan Pemerintah Australia bagi para pengungsi korban perang Amerika Serikat dan sekutu Barat melawan kelompok Taliban tahun 2001–2021.
”Para pengungsi harus segera mendapat kepastian untuk ditempatkan ke negara ketiga, yaitu negara tujuan seperti Australia dan negara lainnya. Jika tetap berada di Indonesia, harus dibuatkan undang-undang tentang pengungsi yang memberikan kepastian hukum bagi pengungsi dan pencari suaka,” kata Julius yang akrab disapa Izul.
Menurut Izul, para pengungsi terutama berasal dari Timur Tengah, Afghanistan, dan daerah konflik lainnya di Asia Tenggara. Mereka secara umum berusaha mencari perlindungan di Australia sebagai negara tujuan akhir. Fenomena ini sama halnya dengan pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah yang berusaha masuk ke wilayah Uni Eropa sejak beberapa tahun terakhir.
Banyak pengungsi dengan tujuan Uni Eropa tersebut yang tertahan di Turki. Demikian pula pengungsi dengan tujuan Australia yang tertahan bertahun-tahun di Indonesia, Malaysia, dan kamp pengungsi yang dibuatkan Pemerintah Australia di Papua Niugini. ”Posisi Indonesia bagi Australia dalam hal membanjirnya pengungsi seperti keberadaan Turki menampung pengungsi yang akan ke Uni Eropa,” kata Izul.
Saat ini, ada lebih dari 13.000 pengungsi tujuan Australia di Indonesia. Lebih dari separuhnya adalah pengungsi Afghanistan yang tersebar di sejumlah Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di beberapa wilayah Indonesia. Secara umum, soal keimigrasian memang menjadi salah satu perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden baru saja menegur soal kinerja imigrasi di Indonesia, terutama dalam hal penanganan bisnis dan wisatawan.
Baca juga: UNHCR Diminta Bergerak Cepat Mencari Negara Penempatan bagi Pengungsi di Indonesia
Kembalinya Taliban berkuasa, risiko kelaparan di Afghanistan—yang diberitakan laman democracynow di Amerika Serikat—serta tekanan Amerika Serikat kepada China dikhawatirkan memicu ketidakstablian di Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Dampak terburuknya adalah banjir pengungsi di Asia Tenggara.
Menurut Izul, Australia adalah negeri impian para pengungsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara karena dianggap sebagai negara Barat yang damai dan terdekat dari negara asal mereka.
Sengsara di Pulau Manus
Sejak 2013, Pemerintah Australia menolak imigran dan pengungsi serta pencari suaka yang datang melalui laut. Kamp Manus, yang juga disebut Manus Regional Processing Centre, awalnya ditujukan untuk para imigran gelap yang mencoba masuk ke Australia. Sempat ditutup pada 2008, tetapi pada 2012 kembali dibuka. Sejak itu pula, terutama oleh pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd, tempat itu digunakan untuk ”menampung” para pengungsi atau pencari suaka.
Dilansir dari laman media Australia, ABC, saat itu PM Rudd bahkan menyatakan bahwa mereka yang tiba dengan perahu tidak akan pernah bisa menetap di Australia. Hal ini kembali ditegaskan pemerintahan PM Tony Abbot yang menyatakan pencari suaka yang datang dengan perahu tidak akan pernah direlokasi di Australia.
Sejak saat itulah banyak pencari suaka yang tiba dengan perahu di pesisir Australia, langsung dipindahkan ke Kamp Pulau Manus. Potensi konflik sudah bisa terbaca. Pasalnya, para penghuni dengan berbagai latar belakang budaya, ideologi, dan politik disatukan dalam satu tempat. Perselisihan demi perselisihan terjadi. Puncaknya, pada Februari 2014, terjadi kerusuhan di Kamp Pulau Manus.
Baca juga: Kondisi Pengungsi Global Semakin Ruwet, Perlu Solusi Radikal
Akibatnya, seorang pengungsi dari Iran, Reza Berati, tewas karena dianiaya petugas. Puluhan pengungsi lainnya luka-luka. Dalam situs ABC edisi 26 Mei 2014 disebutkan, berdasarkan penyelidikan oleh mantan Sekretaris Jaksa Agung Australia, Robert Cornall, kerusuhan terjadi dikarenakan memuncaknya rasa frustrasi dan kemarahan para pengungsi karena permohonan mereka tidak pernah ada kejelasan.
Kekerasan fisik, mogok makan, menjahit mulut, kerusuhan dengan penduduk setempat mewarnai penderitaan pengungsi di Kamp Pulau Manus. Harta milik pengungsi juga dihancurkan oleh polisi yang menjaga kamp mereka.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi ABC, yang kemudian ditayangkan dalam kanal Youtube, aktivis hak asasi manusia Behrouz Boochani mengatakan, kondisi mengenaskan di kamp pengungsi Pulau Manus bukanlah barang baru. Semuanya sudah terjadi begitu lama dan tidak ada perubahan nyata yang dilakukan Pemerintah Australia.
Ia menambahkan, Kamp Manus justru dijadikan ladang propaganda oleh kaum liberal di pemerintahan Australia tentang pengakuan dan perlindungan terhadap pengungsi.
Boochani menyatakan betapa para pengungsi tidak mendapat kejelasan tentang status mereka yang digantung bertahun-tahun. Bahkan, saat mengosongkan kamp pengungsi Pulau Manus, kepolisian setempat, seperti dilaporkan situs berita Inggris, The Guardian, edisi 23 November 2017, memukuli para pengungsi dengan pipa besi hingga babak belur!
Ketika para pengungsi Afghanistan serta Timur Tengah yang tersisa dipindah dari Pulau Manus ke penampungan di dekat ibu kota Papua Niugini, Port Moresby, kekerasan masih menghantui mereka. Media Selandia Baru, Radio New Zealand di laman rnz.co.nz, dalam laporan pada 15 Agustus 2022 menceritakan, para pengungsi kerap dirampok dan dianiaya di tempat penampungan. Laptop, telepon genggam, dan barang-barang lainnya lenyap.
Media Australia, SBS, dalam laporan di laman sbs.com.au pada 22 April 2021 memberitakan, segerombolan orang menyerbu masuk tempat penampungan pengungsi eks Pulau Manus di Kompleks Apartemen Citi di Port Moresby. Tiga pengungsi dianiaya dan harus dirawat di rumah sakit.
Petenis dan pengungsi
Bersama Janet Galbraith, Boochani menulis artikel di koran The Washington Post edisi 12 Januari 2022 yang menyoroti kasus petenis kelas dunia, Novak Djokovic, yang saat itu ditahan imigrasi Australia karena tidak divaksin Covid-19. Vaksin itu sebagai persyaratan untuk mengikuti turnamen Autralia Terbuka. Djokovic ditahan di Park Hotel, tempat yang sama dengan 32 pengungsi yang menunggu giliran untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan.
Dia membandingkan betapa ”beruntung” Djokovic yang punya hak dalam hukum, terwakilkan haknya, dan bisa mendapat kepastian hukum dalam waktu singkat. Sementara para pengungsi yang kebetulan satu hotel dengan dia sudah bertahun-tahun terkatung-katung tanpa kejelasan nasib.
Baca juga: Djokovic Ditahan di Australia, Serbia Pun Berang
Boochani, yang menulis memoar tentang pengalamannya di kamp Manus, berjudul ”No Friend But The Mountain”, akhirnya bisa keluar dari kamp Pulau Manus. Ia bermukim di Selandia Baru setelah melalui proses panjang dan dibantu oleh aktivis, jurnalis, serta pemerhati sosial di Selandia Baru dan Australia.
Pada 31 Januari 2019, karyanya mendapat penghargaan Victorian Prize for Literature. Tidak lama kemudian, per Juli 2020, statusnya sebagai pengungsi disahkan oleh Selandia Baru. Adapun Australia, di satu sisi tetap bersikeras tidak mengakui statusnya dan tidak akan mengizinkannya tinggal.
Sementara itu, dengan alasan kemanusiaan, Pemerintah Indonesia menerima para pengungsi dari Afghanistan. Padahal, Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 tentang status pengungsi ataupun Protokol 1967.
Oleh sebab itu, Indonesia tidak punya kewenangan menetapkan status pengungsi, apalagi menerimanya. Maka, Indonesia berpatokan pada UU Keimigrasian, di mana pengungsi termasuk dalam kategori orang yang masuk secara ilegal dan tidak diinginkan berada di Indonesia.
Selain pengungsi Afghanistan, masih ada puluhan ribu pengungsi Rohingya dan pengungsi lain yang berada di Malaysia. Sebagian besar bermimpi untuk masuk ke Australia melalui laut. Tentu saja titik transit mereka adalah wilayah Indonesia.
Berakhirnya konflik di Afghanistan, yang diikuti sanksi ekonomi Amerika Serikat dengan pembekuan dana 7 miliar dollar AS yang penting bagi keselamatan rakyat, dan masih adanya puluhan ribu pengungsi di Asia Tenggara dan Papua Niugini seharusnya menjadi perhatian Amerika Serikat dan Australia sebagai negara maju pelopor demokrasi dan hak asasi manusia.