Kalimantan, Pulau Paling Aman yang Kerap Diserbu Banjir dan Kebakaran Hutan (10)
Kalimantan sering disebut-sebut sebagai pulau yang paling aman dari bencana. Faktanya, kota-kota di pulau ini silih berganti dilanda banjir hingga kebakaran hutan dan lahan.
Belum lekang dari ingatan Muslimin (54) saat banjir menerjang kota Banjarmasin pada Januari 2021. Rumah panggungnya di Kelurahan Telawang, Banjarmasin Barat, yang biasanya aman saat itu ikut terendam.
”Rumah ulun (saya) waktu itu juga calap (terendam), kira-kira semata kaki di dalam rumah. Kalau di jalan muka rumah bisa 30-40 sentimeter (cm),” katanya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Selasa (9/5/2023).
Menurut Muslimin, kawasan rumahnya kerap terdampak pasang laut atau banjir rob. Namun, rob yang biasanya berlangsung 2-3 jam hanya menggenangi jalan dan tidak pernah mencapai lantai rumah. ”Tahun 2021 banyu (air) sampai masuk ke rumah ulun karena faktor hujan juga,” ujarnya.
Rumah Ahmad Taufik (50) di tepian sungai Martapura, Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat, selalu terendam air setinggi 30-40 cm. Padahal, rumah masa kecilnya bersama orangtua itu dulu tidak pernah terendam saat pasang laut, yang bisa terjadi siang maupun malam hari.
”Kalau cuma banyu pasang biasanya 2 jam sudah surut. Tetapi, kalau pas pasang itu hujan juga lebat, bisa agak lawas (lama) surut,” tuturnya.
Pemerintah Kota Banjarmasin mencatat ada 152 titik banjir pada 2021. Total ada 31.357 keluarga atau 101.601 jiwa terdampak, sekitar 14 persen dari jumlah penduduk kota. (Kompas, 6/2/2021).
Tak hanya di Banjarmasin, kota-kota lain di Kalimantan pun hampir bernasib serupa. Ada yang separah kota ”Seribu Sungai” itu, ada pula yang lebih ringan.
Baca juga: Banjir Landa Kalsel, Ribuan Warga Terdampak
Balikpapan salah satunya. Pada 2020, misalnya, kota ini dilanda 149 kali banjir dengan 78 keluarga terdampak. Total kerugian mencapai Rp 390 juta. Pada 2022, jumlah warga terdampak meningkat menjadi 312 rumah terendam dengan total 1.012 jiwa terdampak.
Kerawanan bencana juga terpetakan di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang berada di muara sungai Kapuas. Banjir besar belum pernah terjadi di kawasan ini, tetapi genangan kerap berulang. Jika hujan dalam beberapa jam dibarengi pasang air laut, biasanya muncul genangan air 3-20 cm. Bahkan, ada yang masuk ke rumah.
Potret keparahan banjir tergambar di delapan kabupaten lain di Kalbar, Oktober tahun lalu. Ribuan warga mengungsi. Banjir juga memutus transportasi jalur Trans-Kalimantan di Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, menuju Kalimantan Tengah.
Kabupaten dan kota di provinsi itu juga menghadapi masalah kabut asap karena kebakaran lahan gambut. Di Pontianak, jika tidak hujan dalam seminggu, di lahan gambut muncul titik api. Data BPBD Provinsi Kalbar menyebutkan lima orang meninggal serta ratusan ribu orang mengungsi dan menderita sebagai dampak bencana 2022 karena banjir, kabut asap, serta bencana lain.
Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah (Kalteng), juga langganan bencana. Saat musim hujan, kota yang luasnya hampir lima kali DKI Jakarta itu selalu direndam banjir. Saat musim kemarau, Palangkaraya juga kerap dikepung asap akibat kebakaran hutan serta lahan (karhutla).
Terbaru, stasiun Meteorologi Palangkaraya April lalu merilis adanya kenaikan suhu Kota Palangkaraya dari 33 derajat celsius menjadi 35 derajat celsius.
Baca juga: Kebakaran di Kalteng Muncul di Tengah La-Nina
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengatakan, sepanjang 2022 telah terjadi 382 karhutla dengan total 3.061 titik hotspot (HS). Kejadian karhutla tertinggi terjadi di Kabupaten Barito Utara dengan 530 titik HS dan 193 kali kejadian. Lima kabupaten rawan karhutla, antara lain, Barito Utara, Katingan, Murung Raya, Seruyan, dan Lamandau.
Sementara pada awal tahun 2023 telah terjadi 34 kejadian karhutla dengan 114 titik panas. Sebagian besar titik panas terdeteksi di Kabupaten Katingan, Sukamara, dan Kapuas. Di Kabupaten Kotawaringin Timur setidaknya telah terjadi 10 karhutla dengan 11 titik panas.
Sementara itu, satu-satunya kota di Kalimantan Utara, yakni Kota Tarakan, juga belum bebas dari banjir dan longsor.
Hulu dan tata kota
Seringnya bencana melanda kota-kota di Kalimantan tak lepas dari kondisi hulu serta hilir yang berkembang tak selaras alam.
Daerah hulu di Kalimantan Barat, misalnya, telah banyak berubah. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale mengatakan, luas administratif hutan Kalbar sekitar 14 juta hektar. Sekitar 8 juta hektar di antaranya diperuntukkan sebagai kawasan non-produksi, dan sekitar 6 juta hektar diperuntukkan sebagai kawasan produksi, yakni konsesi perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, setidaknya tahun 2018-2019, area yang diperuntukkan sebagai perkebunan sudah 5 juta hektar, hutan tanaman industri sudah 2 juta hektar lebih, dan pertambangan sekitar 3 juta hektar. Artinya, ada lahan non-produksi yang digunakan untuk produksi.
Baca juga: Tak Ada Bencana Alam
Di Kalimantan Selatan rusaknya hulu membuat sungai-sungai yang harusnya menjadi nadi kehidupan turut kritis. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banjarmasin Husni Thamrin mengatakan, pada 2021 banyak sungai di Banjarmasin tertutup bangunan, tersumbat sampah plastik, dan mendangkal karena tinggi sedimentasi. Saat hujan turun dengan intensitas tinggi disertai air laut pasang, banjir besar di Banjarmasin saat itu pun tak terelakkan.
Hal yang sama terjadi di Balikpapan. Banjir bermuara di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Ampal. Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Ariyaningsih dan Achmad Ghozali, menyebut penyebab banjir di antaranya kapasitas drainase, tata guna lahan, pemeliharaan bendungan pengendali, dan sistem pengendalian banjir yang kurang.
Analisis itu mereka tulis dalam artikel ilmiah berjudul ”Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Terjadinya Banjir di DAS Ampal/Klandasan Besar dan Kesesuaian Program dengan Faktor Penanganannya” dalam Jurnal Penataan Ruang Vol 15 No 2 Tahun 2020.
Mereka menyebut, Pemkot Balikpapan sudah mengeruk sedimen, mengevaluasi perizinan penggunaan lahan, dan melebarkan drainase. ”Namun, program tersebut belum dapat menangani banjir di DAS Ampal,” kata mereka.
Ancaman bencana ini bisa kian membesar seiring dengan berkembangnya kawasan. Balikpapan kini kian ramai lantaran banyaknya pembangunan untuk menunjang mobilitas menuju Ibu kota Negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sepaku berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Balikpapan.
Baca juga: Banjir di Balikpapan Terparah dalam Kurun Waktu 10 Tahun
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Balikpapan Muhammad Noor mengatakan, ada 18 rencana tapak perumahan yang telah dikeluarkan Pemkot Balikpapan seusai IKN ditetapkan di Kaltim. Kedepan kemungkinan akan bertambah seiring dengan perkembangan IKN.
Perkembangan kota bahkan sudah terjadi di Pontianak. Kota ini didesain dengan jumlah penduduk di bawah 1 juta jiwa. Saat ini kota ini sudah memiliki warga 700.000 orang. Jika dihitung dengan warga dari daerah lain yang bekerja di Pontianak, ada 800.000-900.000 orang berada di kota ini. Di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk itu tak diiringi oleh penataan kota yang baik sehingga genangan kerap timbul.
Ahmad Sofian, pegiat literasi dan penulis buku Pontianak Heritage, menuturkan, posisi Kota Pontianak di muara Sungai Kapuas yang rawan tergenang sudah disadari setidaknya pada masa kolonial Belanda. Belanda pun membangun parit-parit yang berfungsi sebagai sirkulasi air. Namun, di era modern saat ini parit itu banyak tertutup dan tak terkoneksi.
Baca juga: Seribu Parit di Pontianak
Penataan kota
Berkaca dari potensi bencana dan kondisi hulu-hilir, pemerintah daerah mulai melakukan langkah perbaikan baik jangka pendek hingga panjang.
Di Banjarmasin, menurut Husni, pemkot telah memitigasi fisik maupun non-fisik guna menghindari rob seperti tahun 2021. Mitigasi non-fisik dilakukan melalui komunikasi informasi dan edukasi (KIE) sebagai bentuk peringatan dini kepada warga, terutama yang tinggal di pinggiran sungai. Sementara itu, mitigasi fisik dilakukan oleh sejumlah dinas terkait.
Misalnya, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin menormalisasi dan merevitalisasi sungai. Dinas Lingkungan Hidup mengatasi permasalahan sampah di sungai. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman menata permukiman warga di pinggiran sungai.
”Pada tahun 2022 ada 33 sungai yang diintervensi oleh Dinas PUPR. Sungai-sungai itu dinormalisasi dan direvitalisasi supaya kembali ke fungsi semula. Kalau sungai lestari dan alirannya bagus, banjir dipastikan cepat surut,” katanya.
Pontianak pun butuh cetak biru yang jelas dan ditaati bersama. Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengatakan 36 parit primer sepanjang hampir 200 km dipertahankan. Demikian pula saluran sekunder yang panjangnya hampir 100 km. Saluran-saluran tersebut dipelihara dan dikoneksikan. Sungai Kapuas juga dipertahankan. ”Tentu saja penanganannya harus lintas wilayah," katanya.
Kota Pontianak yang rawan tergenang sudah disadari. Belanda pun membangun parit-parit yang berfungsi sebagai sirkulasi air. Namun, saat ini parit itu banyak tertutup dan tak terkoneksi.
Di Balikpapan, sejak September 2022, Pemkot sudah memulai proyek pengendalian banjir di enam titik DAS Ampal. Proyek itu masih berjalan sampai akhir 2023. Pemkot Balikpapan saat ini juga memperketat izin dan pengawasan pembangunan permukiman baru.
”Selain memfungsikan dan memperbaiki bendali (bendungan pengendali) yang eksis, saat ini setiap ada izin dari pengembang perumahan besar, mereka harus membangun bendali yang sesuai spesifikasi,” kata Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Balikpapan Muhammad Noor.
Wali Kota Tarakan di Kalimantan Utara, Khairul, mengatakan, ada pemetaan kawasan longsor. Jika permukiman tak memungkinkan dipindah, akan dilakukan rekayasa teknik untuk menahan tebing agar aman dan terhindar longsor.
Adapun untuk potensi kebakaran hutan dan lahan, Emi Abriyani ari BPBD Kota Palangkaraya menyiapkan tim pencegahan kebakaran hutan untuk mewaspadai kebakaran lahan. Selain itu, sosialisasi dan edukasi juga dilakukan masif. Ia percaya kebakaran lahan disebabkan ulah manusia sehingga sosialisasi menjadi sangat penting.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalsel Hanifah Dwi Nirwana menyebutkan, Pemprov Kalsel telah menginisiasi program Sungai Martapura Bungas yang berorientasi pada peningkatan fungsi sungai melalui perbaikan kualitas sungai.
Berdasar data Dinas Kehutanan Kalsel, luas lahan kritis di Kalsel yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013 seluas 642.580 hektar. Dengan gerakan revolusi hijau, luas lahan kritis berkurang menjadi 511.594 hektar (2018), kemudian menjadi 458.478 hektar pada 2022.
”Gerakan revolusi hijau berkontribusi positif dalam pengurangan lahan kritis. Sejak dicanangkan pada 2017, telah dilakukan pembagian bibit pohon dan penanaman di lahan seluas 137.243 hektar yang tersebar di seluruh kabupaten/kota,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Fathimatuzzahra.
Baca juga: Kabut Asap dan Banjir di Kalimantan Melanggar HAM
Meski berbagai program dalam normalisasi, revitalisasi, dan optimalisasi sungai telah dan sedang dilakukan, pengamat perkotaan yang tinggal di Banjarmasin, Subhan Syarief, menilai hal itu belum serius dilakukan. Ia menyarankan ada gerakan revolusioner, masif, dan berkesinambungan dalam membenahi kondisi sungai dan area resapan sehingga bencana benar-benar bisa ditekan.
Nikodemus Ale pun mendesak agar hulu turut diperbaiki. Program pembangunan ke depan juga jangan mengabaikan isu lingkungan terutama di hulu agar kondisi tidak bertambah parah.
Jika perbaikan hulu dan hilir dilakukan efektif dan berkesinambungan, seharusnya risiko bencana bisa ditekan. Namun, jika tidak, Kalimantan tetap akan diintai bencana sepanjang tahun.