Bencana Kabut Asap dan Banjir di Kalimantan Melanggar HAM
Bencana kabut asap dan banjir di Kalimantan dinilai merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia, terutama terkait hak atas lingkungan yang sehat dan aman. Karena itu, penyebab bencana tersebut mesti diinvestigasi.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana kabut asap dan banjir yang kian intens melanda Kalimantan menandai merosotnya daya dukung lingkungan karena eksploitasi berlebih oleh korporasi besar. Bencana lingkungan ini dinilai merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia, terutama terkait hak atas lingkungan yang sehat dan aman.
”Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman telah diakui sebagai bagian dari HAM (hak asasi manusia) melalui Resolusi Dewan HAM PBB tahun 2021. Ini harus jadi rujukan bagi Komnas (Komisi Nasional) HAM untuk memprioritaskan pemenuhan lingkungan yang sehat dan aman,” kata Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar dalam diskusi tentang pertanggungjawaban atas dampak multidimensi kabut asap Kalimantan Tengah di Jakarta, Senin (29/11/2021).
Menurut Wahyudi, jika generasi pertama HAM fokus pada perlindungan hak sipil dan politik, generasi kedua tentang perlindungan ekonomi, sosial, dan budaya. ”Sekarang generasi ketiga HAM adalah tentang hak atas lingkungan yang sehat dan aman,” tuturnya.
Direktur Justice Peace and Integrity of Cretion (JPIC) Kalimantan Romo Frans Sani Lake mengatakan, kabut asap yang melanda Kalimantan Tengah pada 2015 menjadi bukti nyata dampak multidimensi dari kerusakan lingkungan dan harus ada pihak yang bertanggung jawab. ”Banyak orang, terutama anak-anak, yang terdampak kesehatannya. Saya sendiri merasakan sulitnya bernapas,” ujarnya.
Sani mengatakan, akibat kabut asap ini, banyak orang kesulitan bekerja, bahkan ada anak sekolah yang kehabisan napas saat naik sepeda dan akhirnya meninggal di tempat. ”Karena itu, kami membuat petisi kepada Komnas HAM meminta agar menginvestigasi perusahaan besar yang memicu kebakaran dan kabut asap ini,” katanya.
Gugatan warga negara
Menurut Sani, para korban kabut asap di Kalimantan Tengah pada 2015 juga telah melakukan gugatan warga negara (citizen law suit/CLS) dan pengadilan telah memutuskan bahwa Presiden dan aparatnya serta Gubernur Kalimantan Tengah dan jajarannya telah melakukan perbuatan melawan hukum atas krisis kabut asap 2015.
”Salah satu tuntutan warga adalah merehabilitasi korban dan juga lahan yang terbakar. Namun, kebakaran hutan dan lahan tetap berulang dan pelakunya justru mendapatkan impunitas,” katanya.
Mahkamah Agung memenangkan warga dalam gugatan warga tentang kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah pada tingkat kasasi tahun 2019. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dinyatakan, telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk memenuhi 10 tuntutan penggugat.
Salah satu tuntutan warga adalah merehabilitasi korban dan juga lahan yang terbakar. Namun, kebakaran hutan dan lahan tetap berulang dan pelakunya justru mendapatkan impunitas.
Direktur Palangka Raya Ecological & Human Right Studies (PROGRESS) Kartika Sari mengatakan, ada 17.676 titik api di area konsesi perusahaan di Kalimantan Tengah pada September 2015. Sementara ISPU (Indeks Standar Polusi Udara) pada 19-22 September 2015 di Kalimantan Tengah mencapai 3.169 miligram per meter persegi.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 289 Tahun 2003, ISPU di atas 400 miligram per meter persegi sudah berbahaya. ”Udara saat itu menguning, 8 orang meninggal, terkena ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) 52.142 orang, diare 5.178 orang, sekolah ditutup, petani gagal panen, dan soal ekonomi,” kata Kartika, salah satu penggugat CLS kabut asap di Kalimatan Tengah.
Tergugat terbukti bersalah, tetapi sampai kini tidak ada tuntutan dan putusan pengadilan. ”Hari ini memang tidak ada kebakaran karena hujan tinggi. Tetapi bagaimana kalau kemarau panjang lagi, kami khawatir kembali terjadi kebakaran. Sementara di musim hujan sekarang juga terjadi banjir,” ujarnya.
Lily Dwiyanti, warga Palangkaraya yang menjadi korban kabut asap tahun 2015, mengatakan, saat kejadian memiliki tiga anak dan dua di antaranya masih berusia bawah lima tahun (balita).
”Saya sudah mencoba melindungi keluarga. Waktu itu, anak saya yang balita, saya kurung di dalam rumah. Akses ke luar dibatasi. Semua ventilasi ditutup. Harus mengompres bagian muka atau hidung agar bisa menyaring partikel. Namun, anak-anak saya tetap kena ISPA, bahkan sampai sekarang anak nomor dua ada masalah paru-paru. Itu yang membuat saya geram,” katanya.
Lily meminta agar pemerintah menjalankan gugatan warga dengan menghukum perusahaan yang konsesinya terbakar dan menjamin tidak lagi ada kebakaran hutan dan lahan ke depan. ”Tolong selamatkan generasai muda. Anak-anak kami sudah sering tidak sekolah karena kabut asap, sampai berbulan-bulan,” katanya.
Penurunan daya dukung
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan, pihaknya akan mempelajari dan menindaklanjuti laporan warga mengenai kabut asap di Kalimantan Tengah. ”Kami akan mendiskusikan dengan komisioner yang lain, akan dilihat langkah yang bisa diambil,” katanya.
”Kami akan menindaklanjuti dengan mengundang KLHK dan juga pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Pemulihan itu tanggung jawabnya harusnya di kabupaten/kota. Komnas akan membantu memberi rekomendasi bagaimana pemulihannya,” katanya.
Menurut Amiruddin, daya dukung ekologi Indonesia saat ini sudah memburuk. ”Ini bukan hanya di Kalimantan, melainkan juga di daerah lain. Kalau tidak cepat diatasi, terutama oleh KLHK, kita akan ulangi terus. Di wilayah yang tidak pernah banjir saja sekarang kebanjiran,” ujarnya.
Amiruddin mengkhawatirkan, bencana kabut asap dan banjir akan semakin meningkat dengan perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan, persisnya di Kalimantan Timur, jika tidak ada upaya perbaikan kualitas lingkungan.
”Ibu kota negara bukan hanya gedung baru, melainkan juga orang. Kalau 1 juta pegawai negeri sipil yang dipindahkan ke Kalimantan, bawa 3 orang anggota keluarga, sudah ada 4 juta orang. Konsekuensinya lahan. Sementara daya dukung ekologi seperti sekarang ini yang buruk,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Iman Prihandono berpendapat, Komnas HAM bisa melakukan penyelidikan dan mandat mediasi dalam berlarutnya kasus kabut asap di Kalimantan tengah. ”Kasus kabut asap ini melibatkan korban yang luas yang dampak HAM-nya bisa berbeda. Pemulihannya juga bisa berbeda-beda,” katanya.
Menurut dia, sejauh ini upaya untuk menghukum korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan juga tersendat. ”Sebagian kasus sudah dimasukkan LHK dan negara menang Rp 18 triliun terhadap perusahaan, tetapi pada umumnya tidak bisa dieksekusi. Bahkan, salah satu perusahaan di Palangkaraya pada November 2021 bebas walaupun perdatanya masih lanjut,” katanya.
Imam menambahkan, proses judicial yang berkaitan dengan koporasi, khusus untuk asap, masih kurang efektif. ”Bahkan, putusan kasasi MA, pemerintah masih enggan melaksanakan. Belum lagi masalah nonteknis. Peran Komnas HAM menjadi penting di sini,” katanya.