Kerusakan lingkungan di hulu dan buruknya sistem drainase di hilir membuat penanganan banjir di Kota Medan tak berjalan. Banjir kian sering dan titik banjir semakin banyak akibat sedimen. Muara sungai juga tumpat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Bagi warga Medan, banjir bak langganan. Mereka yang tinggal di tepi sungai dihantui waswas rumahnya bakal terendam jika hujan turun dalam hitungan jam. Sementara mereka yang tidak tinggal di bantaran sungai bersiap-siap menghadapi kemacetan di jalan dan hambatan mobilitas akibat banyaknya titik jalanan kota yang terendam banjir.
Kondisi itu sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan menimbulkan korban jiwa. Kasus banjir menelan korban jiwa terakhir terjadi pada Desember 2020. Tercatat lima orang meninggal terseret banjir di Perumahan de Flamboyan, Medan Tuntungan, Kota Medan. Setiap menjelang akhir tahun hingga awal tahun, banjir mengintai merendam dalam skala kecil beberapa kawasan, hingga belasan kecamatan jika skalanya besar.
Kerusakan lingkungan di hulu dan buruknya sistem drainase di hilir membuat penanganan banjir di Kota Medan, Sumatera Utara, jalan di tempat. Banjir semakin sering dan titik banjir tidak berkurang dari tahun ke tahun akibat pendangkalan drainase, sungai, dan kanal. Muara sungai-sungai di perairan Belawan juga tumpat.
”Lebih dari 80 persen sistem drainase di Kota Medan, baik tersier, sekunder, maupun primer, dipenuhi sedimen. Kalau mau mengatasi banjir, semua ini harus dikeruk,” kata pengamat lingkungan hidup dari Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna, Rabu (10/5/2023).
Jaya mengatakan, titik banjir di Kota Medan bertambah dari tahun ke tahun. Jika pada 2011 jumlah titik banjir masih 117, saat ini titik banjir di Medan lebih dari 1.500 titik dan terus bertambah. Penyebab banjir selalu dibicarakan dan diinventarisasi setiap kali terjadi banjir di Medan, tetapi pelaksanaan untuk mengatasinya jalan di tempat.
Jaya mengatakan, Medan adalah sebuah kota yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda dengan standar kota-kota besar di Eropa. Penanganan banjir sejak awal sudah disiapkan. Belanda membangun 200 kilometer kanal di Medan, antara lain Kanal Bedara, Sikambing, Selayang, dan Putih. ”Kota Medan bahkan dirancang untuk tidak banjir ketika terjadi hujan sangat lebat dengan curah 112 milimeter per hari,” kata Jaya.
Kondisi kanal saat ini sudah dipenuhi sedimen. Pengerukan kanal sangat mendesak sebagai mitigasi bencana banjir di Medan. Namun, pengerukan sedimen di kanal hingga kini tidak dilakukan.
Jaya mengatakan, sungai-sungai di Medan juga mendesak dikeruk dan dinormalisasi, seperti Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Babura, Sungai Kera, Pegatalan, dan sungai lainnya. Sungai dan kanal ini diurus Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Muara sungai-sungai di Medan juga tumpat. Jaya mencontohkan Kuala Deli, yakni muara Sungai Deli dan Sungai Pegatalan di Belawan yang saat ini hampir 90 persen dipenuhi sedimentasi, sebanyak 65 persen di antaranya adalah sampah plastik. ”Sampah plastik itu tidak akan pernah hancur dan Sungai Deli akan selalu tumpat kalau Kuala Deli tidak dikeruk. Ketinggian air di sana sekarang hanya setinggi lutut,” kata Jaya.
Jika muara sungai tumpat, kata Jaya, tidak ada gunanya memperbaiki drainase tersier ataupun sekunder di Kota Medan. Saat pendangkalan di Kuala Deli tidak separah sekarang, hanya Kampung Bagan Deli dan Kampung Kurnia yang banjir. Saat ini, hampir semua daerah Belawan tergenang banjir jika air dari Kuala Deli meluap.
Jaya mengatakan, pembangunan sistem drainase Kota Medan seharusnya tidak sulit karena berada di ketinggian 2,5 meter sampai 37,5 meter di atas permukaan laut. Medan berbeda dengan Jakarta, Surabaya, atau kota lain yang sangat rendah sehingga perlu rekayasa khusus.
Menurut Jaya, banjir di Medan juga tidak lepas dari kerusakan hutan di hulu. Selain luas tutupan hutan yang terus menurun, kualitas hutan yang tersisa juga menurun karena lapisan humusnya telah diambil untuk dijual sebagai pupuk.
Selain luas tutupan hutan yang terus menurun, kualitas hutan yang tersisa juga menurun karena lapisan humusnya telah diambil untuk dijual sebagai pupuk.
Di hulu Sungai Deli, Sungai Belawan, dan Sungai Sulang-Saling, lapisan humus yang merupakan hasil pengomposan alami daun dan batang pohon selama ratusan hingga ribuan tahun awalnya mempunyai ketebalan 35-50 sentimeter. ”Penelitian saya, lapisan ini dapat menyerap 250 liter air per meter persegi. Lapisan ini kini hilang dan dampaknya sangat luar biasa. Pemerintah seharusnya bisa mengendalikan ini sejak awal,” kata Jaya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan Muhammad Husni mengatakan, mitigasi bencana banjir menjadi salah satu prioritas Pemerintah Kota Medan. Menurut Husni, pengurangan titik banjir di Kota Medan terus dilakukan dengan pembangunan dan perbaikan drainase. Pemkot Medan juga berkoordinasi dengan BWS Sumatera II untuk melakukan pengerukan sungai dan kanal.
”Kami juga sedang membangun sistem peringatan dini bencana banjir. Posko Pemantauan didirikan di daerah rawan banjir,” kata Husni.
Husni mengatakan, pihaknya juga terus menyosialisasikan kebijakan penataan kawasan yang lebih sadar pada mitigasi bencana. Dia menyebut, partisipasi masyarakat juga sangat penting untuk melakukan mitigasi bencana.