Hamili Anak Kandung dan Anak Hasil Insesnya, Pria asal Minahasa Dipolisikan
Seorang pria 52 tahun asal Kabupaten Minahasa dipolisikan dengan tuduhan menghamili anak 17 tahun. Korban adalah keturunan hasil inses pelaku dengan anak kandungnya sendiri belasan tahun lalu.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Seorang pria 52 tahun asal Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dipolisikan dengan tuduhan menghamili anak berusia 17 tahun. Korban adalah keturunan hasil inses pelaku dengan anak kandungnya sendiri belasan tahun lalu.
Tersangka adalah HM atau Herman Matheos, seorang petani yang tinggal di Desa Kombi, Kecamatan Kombi, Minahasa. Antara 2006 dan 2007, ia diduga memerkosa anak kandungnya, A, hingga hamil dan melahirkan Y. Pada 2022, HM memerkosa Y yang sudah berusia 17 tahun hingga hamil.
”Y baru saja melahirkan anak laki-laki tanggal 10 Maret lalu. Kejadian ini baru terungkap sekarang, tetapi sudah berlangsung dan berkelanjutan sejak lama. Sejak kapan, kami belum tahu, masih perlu pengembangan,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Minahasa Ajun Komisaris Jesli Hinonaung, Kamis (4/5/2023), via telepon.
Menurut Jesli, kasus ini terungkap Februari-Maret lalu. Saat itu, seorang petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Minahasa berkunjung ke rumah keluarga HM dan mendapati Y sedang hamil, padahal masih berumur 17 tahun dan belum menikah.
Si petugas kemudian melapor ke kantor pemerintah desa. Ternyata, kondisi ini juga telah lama dicurigai warga. Jesli mengatakan, seorang bidan di desa kemudian melapor ke Kepolisian Sektor Kombi, yang kemudian mengatur siasat untuk memeriksa HM.
”Melalui bidan ini, korban (Y) diajak ke RSUD Sam Ratulangi Tondano. Si terlapor ini diajak juga seakan-akan untuk mendampingi korban. Namun, keduanya kemudian diarahkan ke unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Minahasa untuk diinterogasi,” katanya.
Dari inteograsi itu, HM mengakui perbuatannya, begitu pula Y mengaku sebagai korban pemerkosaan. Hal ini diperkuat oleh keterangan suami A, yang kini sudah berusia 35 tahun, selaku ayah angkat Y.
Menurut keterangan, HM yang adalah petani kelapa, melakukan kejahatan itu terhadap A dan Y di kebun yang terletak jauh dari permukiman warga. Modus HM adalah menuntut balas budi dari kedua korban karena telah membesarkan mereka.
”Korban ini putus sekolah, jadi dari segi SDM (sumber daya manusia) memang lemah pengetahuannya. Istri HM kemungkinan besar tahu aksi ini, tetapi pura-pura enggak tahu,” kata Jesli.
Kini HM telah dua bulan mendekam di tahanan Polres Minahasa sembari menunggu proses berkasnya di kejaksaan. Ia diduga melanggar Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ia diancam maksimal 20 tahun penjara.
Kami perintahkan staf untuk turun ke lokasi bersama psikolog untuk memberi pendampingan kepada korban.
Sementara itu, Y telah mendapat perlindungan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA Sulut. Kepala Dinas Pemberdayaan PPA Sulut Kartika Devi Tanos menyebut korban telah mendapat layanan sejak 28 Maret 2023 di klinik ramah anak di Watulambot, Minahasa.
”Setelah mendapat informasi ini, kami perintahkan staf untuk turun ke lokasi bersama psikolog untuk memberi pendampingan kepada korban. Pendampingan korban sekarang dilakukan Dinas PPPA Kabupatan Minahasa. Visum et repertum tidak berbayar, begitu juga pendampingan psikolog dan pelayanan kesehatan setelah melahirkan,” kata Kartika.
Sejak 1 Januari hingga 4 Mei 2023, Dinas PPPA Sulut telah menerima 106 laporan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 15 korban adalah perempuan dewasa, sementara 91 lainnya anak-anak. Sebagai perbandingan, sepanjang 2021, ada 296 pemerkosaan dan pencabulan yang dilaporkan ke kepolisian.
Kartika yakin, laporan yang diterima hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus. Menurut dia, Sulut tidaklah unik karena kekerasan seksual juga marak terjadi di daerah lain. ”Tentunya kita bukan hanya melihat sedikit banyaknya kasus, tetapi bagaimana penanganan secara cepat dalam kolaborasi dengan lembaga lain,” katanya.
Di samping itu, ia menyatakan sosialisasi tentang kekerasan seksual telah digencarkan dalam kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, termasuk gereja dan sekolah. ”Kami juga memiliki layanan pelaporan kekerasan seksual melalui aplikasi Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak),” kata Kartika.
Kendati begitu, Nurhasanah, aktivis perlindungan perempuan dan anak yang tergabung dalam lembaga nonprofit Swara Parangpuan, menyatakan, pemerintah seharusnya bisa berbuat lebih untuk mencegah kekerasan seksual. Fakta bahwa keluarga dan tetangga HM diam saja meski mengetahui kejahatannya adalah bukti lemahnya kesadaran masyarakat.
”Warga sekarang ini belum mendapatkan pencerahan soal hukum. Apakah sudah ada gerakan pemerintah terkait itu? Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ketidakpedulian warga karena mereka kekurangan informasi bahwa itu adalah kejahatan yang harus dilaporkan dan ada sanksinya,” katanya.
Nurhasanah juga menyebut Sulut sebenarnya unik. Dibandingkan dengan daerah lain, kedudukan laki-laki dan perempuan di wilayah Sulut, terutama Minahasa, sebenarnya setara. Salah satu buktinya adalah jumlah anggota DPRD Sulut perempuan yang nyaris menyentuh angka 30 persen sesuai ketentuan undang-undang.
Di samping itu, jumlah perempuan yang menjadi kepala instansi daerah juga cukup banyak. Hal ini, kata Nurhasanah, menunjukkan tingginya keterlibatan perempuan di sektor publik. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan pembagian peran domestik yang lebih seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini pun dilanggengkan, pertama, oleh tafsir agama. Kedua, pendidikan juga turut mempertahankan tatanan itu, misalnya dalam bentuk penyampaian peran laki-laki sebagai kepala keluarga yang bekerja dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.
”Ini menyebabkan beban ganda untuk perempuan. Karena peran domestik dianggap kelas dua, perempuan juga jadi dianggap kelas dua, tidak kompeten. Itulah salah satu faktor kekerasan terjadi terhadap perempuan,” kata Nurhasanah.