Kekerasan Seksual Mendominasi Kriminalitas di Sulut
Kekerasan seksual menjadi kejahatan yang paling sering terjadi di Sulawesi Utara sepanjang 2021. Pihak penegak hukum dan aktivis pun berharap RUU TPKS segera dibahas dan diberlakukan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kekerasan seksual menjadi kejahatan paling sering terjadi di Sulawesi Utara sepanjang 2021. Penegak hukum dan aktivis pun berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera dibahas dan diberlakukan.
Polda Sulut mencatat 296 laporan kasus kekerasan seksual selama 2021, terbagi atas 271 kasus pencabulan dan 25 kasus pemerkosaan. Terjadi tren penurunan dibandingkan 2020, ketika kepolisian menerima 365 laporan yang terdiri atas 331 kasus pencabulan dan 34 kasus pemerkosaan.
Meski demikian, jika digabung, kekerasan seksual selama dua tahun itu terus menempati peringkat pertama jenis kriminalitas menonjol yang paling sering terjadi di Sulut. Jumlah laporan pencurian kendaraan bermotor di peringkat kedua bahkan kurang dari setengah jumlah laporan kekerasan seksual.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast, Jumat (21/1/2022), mengatakan, mayoritas korban adalah perempuan dewasa. ”Tetapi, bukan berarti kasus yang korbannya anak-anak sedikit. Mereka sangat rentan karena belum mampu menilai bujukan dari pelaku sebagai tipu daya,” kata dia ketika ditemui di Manado.
Meski tak menyebut data secara spesifik, Jules menyebut orang terdekat korban sebagai pelaku kekerasan seksual, baik orangtua, paman, teman, maupun tetangga. ”Banyak modus yang mendasari tindakan pelaku, salah satunya dengan menggunakan minuman keras,” lanjut dia.
Pada 12 November 2021, misalnya, keluarga bocah perempuan 14 tahun asal Bolaang Uki, Bolaang Mongondow Selatan, melaporkan dua laki-laki berinisial YYS (39) dan FT (16) atas tuduhan pelecehan dan pemerkosaan. Kedua tersangka mencekoki korban dengan minuman keras Cap Tikus hingga tak sadarkan diri, kemudian membawanya ke tempat tersembunyi.
Menurut Jules, YYS dan FT masih membantah tuduhan pemerkosaan. Namun, hasil visum et repertum terhadap korban menunjukkan pemerkosaan terjadi. Keduanya pun ditahan dan diancam hukuman paling lama 15 tahun penjara karena melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pada kasus lain, bocah perempuan berusia 10 tahun di Manado juga menjadi korban pemerkosaan hingga mengalami pendarahan berat di alat kelaminnya. Kini, ia dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr RD Kandou Manado.
Jules mengatakan, kasus itu dilaporkan ibu korban pada 28 Desember 2021. Saat itu, sang ibu mengira putrinya memasuki masa pubertas. Namun, setelah tiga minggu, pendarahan tidak berhenti.
Kepolisian telah memeriksa beberapa saksi, seperti ibu, ayah kandung, ayah tiri, serta tetangga korban. ”Setelah hampir tiga minggu dirawat, korban belum bisa dimintai keterangan. Kami akan cek silang kesaksiannya dengan keterangan saksi lain untuk menetapkan tersangka,” ujar Jules..
Salah satu aktivis perlindungan perempuan dan anak di Sulut, Jull Takaliuang, mengatakan, banyaknya laporan kekerasan seksual bukan berarti semua kasus bisa dituntaskan kepolisian. Menurut dia, di berbagai daerah terpencil, seperti desa-desa pelosok di kepulauan, laporan masyarakat kerap kali berakhir damai.
”Semakin terpelosok, korban akan semakin jauh dari akses layanan penegakan hukum yang memadai. Masyarakat tidak terlalu paham, datang ke kepolisian malah mendapatkan layanan yang tidak berkeadilan bagi mereka. Kepolisian kadang malah menjadi mediator untuk damai. Akhirnya, pelaku masih bebas berkeliaran,” ujar Jull.
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Sulut akan meningkatkan layanan terhadap aduan masyarakat di Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA). ”Sosialisasi kesadaran melapor ketika melihat kasus (kekerasan terhadap perempuan dan anak) juga harus ditingkatkan,” ujar Kartika Devi Tanos, yang mengepalai dinas itu dalam pernyataan resmi.
Sepanjang 2021, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) Sulut mencatat 475 kasus kekerasan. Namun, masih ada petugas di tingkat kabupaten/kota maupun lembaga layanan perempuan dan anak yang melaporkan kasus tersebut ke provinsi sehingga penanganan terhambat.
”Permasalahan ini terjadi karena ada beberapa wilayah yang terhalang masalah teknis, seperti jaringan internet. Ada juga pergantian administrator pengelola data. Maka, kami akan mengadakan rapat koordinasi data tiga bulan sekali,” ujar Devi.
Lebih cepat
Seiring tren kekerasan seksual yang meningkat di Sulut, kepolisian pun berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera dibahas dan diberlakukan. RUU ini telah disahkan sebagai inisiatif DPR pada Selasa (18/1/2022) lalu.
Jules mengatakan, RUU ini nantinya akan dapat mengatasi berbagai keterbatasan bagi penyidik dalam mengungkap kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Misalnya, kepolisian kurang leluasa untuk menginvestigasi karena waktu untuk mengumpulkan alat bukti sangat sedikit.
Saat ini, pencabulan dan pemerkosaan masih tergolong pidana umum. Penyidik hanya memiliki waktu 1 x 24 jam untuk mengumpulkan alat bukti setelah tersangka ditahan. ”Padahal, alat bukti kekerasan seksual sulit didapatkan karena kerap tidak bisa dibuktikan dengan visum fisik. Ketika korban dilecehkan, bisa jadi juga tidak ada saksi,” kata dia.
Jules pun berharap ada beberapa terobosan, seperti visum psikologis, agar proses hukum lebih berpihak pada korban. ”Pimpinan (Kapolri) sudah mewacanakan pengembangan Subdirektorat Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi direktorat. Harapannya, makin banyak penyidik khusus kekerasan seksual dan penyelesaian kasus bisa lebih baik dan cepat,” ujar Jules.
Jull Takaliuang juga berharap RUU TPKS segera diberlakukan agar penanganan kasus oleh kepolisian bisa mengutamakan perspektif korban. Kepolisian pun diharapkan bisa mendapatkan pelatihan khusus dalam menangani kasus ini tanpa membuat korban semakin tramuatis karena diminta menceritakan berulang-ulang pelecehan yang ia alami.
”Pada beberapa kasus, sangat sulit mendapatkan bukti kekerasan seksual yang tidak melibatkan penetrasi. Kalau korban disuruh menceritakan lagi, dia akan semakin terluka luar biasa. Jadi RUU TPKS nantinya harus bisa meringankan beban korban, dan kalau bisa polwan yang ditugasi menyidik agar perspektif korban bisa diutamakan,” ujarnya.
Di samping itu, Jull juga berharap RUU TPKS dapat mengakomodasi pemberatan hukuman bagi pelaku, bukan hanya dalam hal lama hukuman, tetapi juga ganti rugi yang harus dibayarkan kepada korban. Hal ini penting terutama bagi korban anak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat dilibatkan untuk menghitung ganti rugi demi menjamin masa depan anak korban kekerasan seksual.