Masih Lemahnya Perlindungan terhadap Anak di Sulut
Sulut memasuki bulan kedua 2023 dengan rekor buruk kekerasan terhadap anak. Pembunuhan bayi JV oleh ayahnya adalah satu dari empat kasus yang terungkap. Di balik itu bisa jadi jauh lebih banyak kasus yang terpendam.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast (tengah) memberikan keterangan pers, Selasa (7/2/2023), tentang pembunuhan yang dilakukan AB (25, berbaju oranye) terhadap anaknya yang berusia 6 bulan 22 hari, di Manado, Sulawesi Utara.
”Welcome to Mobile Legends!” Bila suara itu sudah terdengar dari ponsel AB, AB betul-betul tak mau diganggu. Tukang bangunan berusia 25 tahun yang tinggal di bilangan Wanea, Manado, Sulawesi Utara, itu akan tenggelam dalam keseruan pertarungan antar-hero di arena pertarungan daring multipemain (MOBA), dan ia tak ingin ditarik paksa ke dunia nyata.
Namun, keinginan AB itu agaknya belum sepenuhnya dipahami JV. Bagaimana lagi, JV hanya bayi mungil usia 6 bulan lebih 22 hari yang belum mengerti bahasa sang ayah, apalagi jalan pikirannya. Yang ia tahu hanya menangis. Haus, lapar, perut kembung, buang air, atau tidak nyaman sedikit saja, hanya satu suara yang ia tahu, ”Oeeeeeee!”
Pada Senin (6/2/2023) sore itu, sekitar pukul 15.00 Wita, tangis keras JV si bayi seolah berusaha menyeret AB keluar dari dunia MOBA menuju dunia nyata. Mulanya ia tak mau acuh, tetapi tangis anak kandungnya yang kedua itu sangat berisik. Konsentrasinya buyar.

Ilustrasi: Onic Esports merupakan tim esport Mobile Legend terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara. Mereka menjadi juara MPL-ID musim ketiga dan kompetisi Mobile Legend di Asia Tenggara.
Lama-lama, ayah muda itu naik pitam. Ia mendatangi JV dan mendapatinya sedang terbaring. Alih-alih menenangkan, dengan murka yang meluap-luap ia langsung memukul bayi itu di bagian wajah, tepatnya di mulut, kemudian juga bagian belakang kepalanya.
Si orok malang itu hanya bisa menerima tanpa melawan, sebagaimana telah kerap terjadi padanya dua bulan terakhir. Setiap kali ia menangis kala ayahnya bermain Mobil Legends, perutnya jadi sasaran. AB rupanya tak pernah pikir dua kali sebelum menyundutkan rokok ke perut anaknya atau menggigitnya.
Jika sebelumnya JV hanya menangis lebih keras, kali ini pukulan AB membuatnya hilang kesadaran. AB yang sedang muntab tiba-tiba jadi panik. Maka, segeralah ia membawa si bayi ke Rumah Sakit Bhayangkara Manado, tetapi nyawanya tak tertolong. JV si bayi tewas di rumah sakit.
Tak ingin disalahkan akibat perbuatannya sendiri, AB memutar otak. Ia sempat berbohong kepada petugas medis. Dia bilang, putri mungilnya itu punya penyakit jantung. Namun, akalnya itu tak mampu membohongi kejelian petugas kesehatan yang kemudian justru menyampaikan keadaan JV kepada Kepolisian Daerah Sulut.

Ilustrasi: Pemain gim digital PUBG bermain di sekitar Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8/2018). Gim digital banyak diminati karena bisa bermain bersama-sama.
”Kasus ini terungkap setelah penyidik Subdit Renakta (Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita) Polda Sulut mendapat informasi dari petugas medis di RS Bhayangkara. Mereka menyatakan ada kejanggalan dari kematian korban JV, diduga akibat penganiayaan,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast, Selasa (7/2) sore.
Baca juga: Kekerasan Seksual Mendominasi Kriminalitas di Sulut
Dari laporan itu, polisi memersuasi AB dan istrinya agar JV diautopsi malam itu juga, dan keluarga tak sanggup menolak. ”Hasil sementara, korban meninggal akibat kekerasan benda tumpul,” ungkap Jules.
Berbekal barang bukti tersebut, malam itu juga AB digelandang oleh Tim Reserse Mobil (Resmob) Presisi Direktorat Reserse Kriminal Umum ke markas Polda Sulut. Ketika diperiksa, ia mengakui segala bentuk kekerasan yang ia lakukan terhadap JV sejak usia empat bulan. Semua cuma gara-gara ia terganggu ketika asyik main Mobile Legends.

Atas perbuatannya, AB terancam 15 tahun penjara ditambah sepertiga serta denda Rp 3 miliar karena melanggar Pasal 80 Ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. ”Pelaku sudah ditahan di markas Polda Sulut untuk diperiksa lebih lanjut,” kata Jules.
Sementara itu, istri AB sekaligus ibu kandung JV serta anak pertama mereka telah menerima pendampingan dari Pemerintah Kota Manado. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Manado Lenda Pelealu mengatakan, pihaknya telah berkunjung ke rumah korban serta melaksanakan pemeriksaan di kantor dinas.
Kepala Dinas PPPA Sulut Kartika Devi Tanos juga angkat suara. Pihaknya akan mendampingi ibu dan kakak korban. Ia mengecam tindakan AB, menyebutnya sangat tidak manusiawi.

Ilustrasi: Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Inspektur Jenderal Mulyatno (berseragam) dan Kepala Dinas Pemeberdayaan Perempuan dan Anak Sulut Kartika Devi Tanos (tengah) memberikan keterangan pers mengenai CT (10), korban kekerasan seksual, di Markas Polda Sulut, Manado, pada Jumat (21/1/2022).
Pedofilia
Sulut memasuki bulan kedua 2023 dengan rekor buruk kekerasan terhadap anak. Pembunuhan JV oleh ayahnya hanya satu dari setidaknya empat kasus yang terungkap. Bentuk kekerasan pun tak terbatas pada fisik, tetapi juga menjangkau ranah seksual, sebagaimana terjadi di Minahasa Selatan.
Pada Selasa (7/2) siang, seorang pria gempal dihadirkan di belakang mimbar konferensi pers di markas Kepolsian Resor Minahasa Selatan. Dia mengenakan baju oranye bertuliskan ”TAHANAN” di punggung. Dia tak lain adalah RL (29), guru honorer di SMP Negeri 2 Tompaso Baru, yang terletak di Desa Karowa.
Lima hari sebelumnya, pihak sekolah beserta keluarga beberapa korban melaporkannya ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual terhadap 16 murid. Semua korbannya laki-laki yang usianya berkisar 11-15 tahun. Kejahatan RL itu diduga dilakukan di lingkungan sekolah dan rumahnya.
”Pelaku adalah seorang wali kelas sehingga kedekatannya cukup besar (dengan para siswa),” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Minahasa Selatan Inspektur Satu Lesly Lihawa yang memberikan keterangan pers.

Ilustrasi, Toto Sihono, ilustrasi-kekerasan-seksual
Tindakan tersebut ditengarai sudah RL lakukan selama 2022, tetapi baru terungkap setelah satu dari tiga korban yang ia sodomi menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada orangtuanya. Sejak itu, satu demi satu korban terungkap.
” Pelaku melanggar Pasal 82 Ayat 1, 2, dan 4 UU Perlindungan anak. Ancamannya 15 tahun penjara ditambah sepertiga karena dia adalah tenaga pendidik yang seharusnya mengayomi-anak sehingga ada pemberatan,” kata Lesly.
Baca juga: Kementerian PPPA Siap Susun DIM RUU TPKS
Di depan para wartawan, Lesly mengungkapkan, tindakan RL itu adalah dampak dari trauma masa kecil karena ia sendiri adalah korban kekerasan seksual. Trauma ini tersembunyi di balik keaktifan RL di berbagai kegiatan pemuda gereja yang ia ekspos di laman Facebook. Pada 4 Februari, tiga hari sebelum ditangkap, ia bahkan masih memublikasikan pamflet digital berisi undangan ibadah pemuda yang merupakan jemaat satu gereja di Desa Karowa.
”Kami akan koordinasi dengan psikolog untuk mendampingi tersangka. Menurut pemeriksaan awal, dia melakukan ini bukan untuk kepuasan seksual, tetapi ini sangat traumatis untuknya sehingga harus ada pemeriksaan psikologis,” papar Lesly.

Rentetan kekerasan terhadap anak di Sulut belum berakhir. Pada hari yang sama dengan konferensi pers tentang RL, seorang pria berinisial JB (37) diringkus dan dibawa ke markas Kepolisian Resor Kota Manado, tiga jam setelah mencabuli seorang bocah laki-laku berusia 17 tahun di daerah Mapanget.
Pada Rabu (8/2), pemuda 22 tahun, FA, juga ditangkap karena mencabuli anak perempuan berusia 13 tahun di Airmadidi, Minahasa Utara, dengan iming-iming akan dijadikan kekasih. Sementara itu di Manado, pada hari yang sama, pria berinisial BG (23) dibekuk setelah ketahuan menghamili pacarnya yang masih berusia 13 tahun.
Dampak pemberitaan
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena kekerasan terhadap anak ini?
Ruth Ketsia Wangkai, aktivis perlindungan perempuan dan anak dari Gerakan Perempuan Sulut, yakin empat kasus di awal Februari 2023 ini hanyalah segelintir yang dilaporkan. Ini kemudian menjadi viral karena bahkan disampaikan oleh satuan kepolisian tertinggi di tingkat provinsi, yaitu Polda Sulut, secara kasus per kasus sehingga kemudian diberitakan media massa daring.

Mural berisi pesan untuk menghindari kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020).
”Media sosial dan media online memang cepat sekali memberitakan kekerasan seperti ini. Tetapi, bukan berarti tidak ada kasus di waktu yang sudah lalu. Tidak berarti juga dulu jumlah kasusnya lebih sedikit,” ujar Ruth, yang dihubungi melalui telepon, Jumat (10/2).
Karena faktor media tersebut, kekerasan terhadap anak dan perempuan terkesan sangat fenomenal dan begitu endemik di Sulut. Setiap minggu selalu ada kasus baru, dan siapa pun bisa menjadi korban, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa dan bahkan anak-anak.
Kendati demikian, Ruth tak sepakat dengan anggapan kekerasan terhadap anak dan perempuan hanya terjadi di Sulut. ”Ini gejala yang umum di seluruh daerah di Indonesia, tidak spesifik atau khas di satu daerah. Cari saja catatan tahunan di Komnas Perempuan, misalnya. Dia menghimpun data dari lembaga layanan pendampingan yang jumlahnya 100-an di seluruh Indonesia,” katanya.
Menurut catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan, sepanjang 2021 ada 338.496 pengaduan kekerasan berbasis gender, baik terhadap orang dewasa maupun anak. Catatan tahunan tersebut tidak memuat kekerasan terhadap laki-laki dan anak laki-laki.

Sambil membawa poster sosialisasi gerakan "Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak", warga mengikuti acara jalan sehat bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (25/9/2022).
Pada tahun yang sama, Polda Sulut hanya menerima ratusan laporan kekerasan berbasis gender, termasuk 296 pemerkosaan dan pencabulan. Sementara itu, lembaga layanan pendampingan di Sulut, seperti Swara Parangpuan, terakhir kali menerbitkan catatan tahunan yang bisa diakses publik pada 2019, yakni dengan 174 pengaduan kekerasan.
Artinya, kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi di mana pun di Indonesia tanpa terkecuali. Lalu, faktor apa yang menimbulkannya?
Ruth menyebut budaya patriarki, antara lain, yang menjadi penyebabnya. ”Tetapi, patriarki itu abstrak. Konkretnya bisa kita lihat pada bagaimana korban tidak berani melapor setelah mengalami kekerasan. Di kasus bayi (JV), misalnya, itu terungkap juga karena korban meninggal. Seandainya tidak, belum tentu,” kata Ruth.
Faktor lain yang ia yakini berpengaruh adalah terbatasnya kesempatan kerja di Sulut, misalnya tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,5 persen. Angka pengangguran bahkan hampir dua kali lipat di Manado saja. Keadaan ini ia sebut membuat warga frustrasi tanpa arah serta tujuan hidup.

Para tersangka kasus kekerasan seksual ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020). Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon menangani 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Mei 2020. Dari jumlah itu, 26 kasus merupakan pencabulan/pemerkosaan dan 6 kasus kekerasan anak.
”Di luar itu, banyak faktor lain yang berkelindan, seperti ketidaksadaran hukum, penegakan hukum yang lemah, ataupun paparan informasi yang negatif. Solusinya, semua harus kerja bersama, tidak hanya dari pihak pemerintah. Karena itulah, kami para aktivis juga ikut bergerak,” ujar Ruth.
Satu pihak yang ia sebut harus turut bekerja dalam konteks Sulut adalah gereja. Para pemuka agama pun harus ikut turun ke level akar rumput untuk menyosialisasikan sikap menghargai anak dan perempuan, serta peraturan-peraturan yang melindungi mereka.
”Kebijakan gereja harus terintegrasi dengan hukum positif negara. Urusan gereja itu bukan hanya surga, karena gereja juga ada di dunia,” kata Ruth.