Dua Kasus Pemerkosaan Anak di Surabaya, Pelaku Incar Korban Lewat Media Sosial
Dua kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan di Surabaya, Jawa Timur, terungkap dua pekan terakhir. Keselamatan anak-anak terancam oleh pelaku kejahatan seksual.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kasus dua anak perempuan di Surabaya, Jawa Timur, menjadi korban pemerkosaan mencuat dalam sepekan terakhir. Pola kejahatan dari dua kasus tersebut mirip, pelaku mendekati korban lewat media sosial.
Kasus pertama dialami oleh M (15), siswi kelas 8 salah satu SMP negeri, warga Bubutan. Korban diperkosa oleh tiga pemuda pada Desember 2022, tetapi kasus ini baru terungkap pada 22 April 2023.
Terungkapnya kasus ini bermula dari kecurigaan orangtua terhadap perubahan perilaku M. Setelah ditanya, korban mengakui hamil lima bulan setelah dipaksa mengonsumsi minuman beralkohol dan diperkosa oleh pelaku. Orangtua korban lantas mengadukan kasus ini ke anggota DPRD Kota Surabaya, Imam Syafii, yang kemudian meneruskannya ke Polrestabes Surabaya.
Menurut Kepala Unit Perlindungan Perempuan Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Wardi Waluyo, Rabu (3/5/2023), dua dari tiga tersangka pelaku pemerkosaan telah ditangkap. Pelaku pertama, W (20), ditangkap pada Jumat (28/4/2023). Pelaku kedua, F (15), ditangkap pada Minggu (30/4/2023). ”Kami masih mengejar satu tersangka berinisial A (20),” katanya.
Wardi mengatakan, korban berkenalan dengan tersangka F melalui media sosial. Perkenalan itu berlanjut dengan komunikasi melalui Whatsapp.
Suatu hari, F mengajak pergi korban ke rumah W. Di sana ternyata telah tersedia minuman beralkohol. Korban dipaksa meminum sehingga mabuk dan diperkosa oleh ketiga pemuda itu. Akibat kejadian yang menimpanya, korban sempat menjalani pemeriksaan di RSUD Dr Mohamad Soewandhie Surabaya karena trauma.
”Kasus ini masih dalam penyelidikan, sedangkan satu tersangka masih dalam pengejaran,” ujar Wardi.
Secara terpisah, anggota Komisi A DPRD Surabaya, Imam Syafii, mengatakan, setelah kasus itu, dirinya mendapat pengaduan dari warga lainnya yang memiliki anak perempuan dan menjadi korban pemerkosaan. Korban berusia 13 tahun, warga dan siswi kelas 7 SMP negeri di Surabaya Barat.
Latar belakang kasus yang dialami korban ini mirip dengan sebelumnya, yakni berkenalan lewat media sosial. Komunikasi berlanjut hingga bertemu langsung. Pada Jumat (28/4/2023), korban diajak pergi jalan-jalan oleh pelaku ke kawasan Mojokerto.
Di sanalah korban kemudian mengalami pemerkosaan dan perampokan. Korban sempat diantar sampai Margomulyo, Surabaya, tetapi kemudian ditinggalkan.
”Korban menghubungi orangtua lewat telepon orang lain sehingga kemudian dijemput,” kata Imam.
Orangtua kemudian mengadukan persoalan itu kepada Imam, yang kemudian diteruskan ke Polda Jatim. Korban juga menjalani visum dan pemeriksaan kesehatan di RS Bhayangkara HS Samsoeri Mertojoso Polda Jatim.
”Kasus pertama ditangani Polrestabes Surabaya, sedangkan yang kedua ditangani Polda Jatim. Kami berharap semua pelaku ditangkap dan menghadapi jerat hukuman berat,” ujarnya.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan keprihatinan terhadap anak-anak korban pemerkosaan itu. Ia memerintahkan jajarannya untuk memberikan pendampingan psikologi, bantuan hukum hingga pengamanan, dan jaminan keberlanjutan pendidikan korban. Korban bisa tetap sekolah dan akan terus dilindungi.
”Kami meminta pengawasan lebih dari keluarga dan orangtua atau wali terhadap keselamatan anak-anak. Mari bersinergi untuk melindungi anak-anak kita,” ujar Eri.
Pemerintah Kota Surabaya segera menerbitkan modul keremajaan putri bagi para guru dengan harapan memperkuat perlindungan terhadap para pelajar.
Kedua kasus perkosaan itu menambah daftar kejahatan seksual terhadap anak perempuan di Surabaya. Padahal, ibu kota Jatim ini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kota layak anak.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia yang berbasis di Surabaya, Yuliati Umrah, mengatakan, kasus-kasus pemerkosaan anak yang mengemuka menunjukkan bahwa Surabaya sebagai kota layak anak masih sebatas jargon.
”Secara sederhana, semakin suatu kota tidak terdapat kasus kejahatan, apalagi kejahatan seksual terhadap anak, kota itu semakin layak anak. Jika masih ada, bagaimana bisa menjadi layak anak?” kata Yuliati.
Secara sosial, menurut dia, kasus-kasus kejahatan terhadap anak berakar dari pemahaman keluarga atau orangtua bahwa anak adalah aset. Keluarga merasa berhak memiliki dan menentukan hidup anak. Keluarga membangun ”benteng” yang sulit diintervensi oleh luar, yakni lingkungan, sehingga tidak bisa menjangkau seorang anak yang notabene menjadi korban kejahatan keluarga inti dan kerabat.
”Benar, keluarga sepatutnya menjadi tempat teraman bagi kehidupan anak, tetapi banyak kasus memperlihatkan predator juga berasal dari keluarga. Di sinilah perlu ditekankan perlindungan anak, bukan melulu kewajiban keluarga, melainkan juga masyarakat dan negara atau pemerintah,” kata Yuliati.
Ia mendesak agar kasus-kasus pemerkosaan diusut tuntas dan pelaku mendapat hukuman berat sehingga jera. Pemerintah bukan sekadar memenuhi kebutuhan fisik perkotaan, melainkan membangun dan memperkuat kohesi sosial dalam perlindungan anak.
Yuliati mencontohkan, jika banyak anak yang berani bepergian sendiri di Surabaya karena merasa yakin dengan keselamatan, serta sikap hidup masyarakat benar-benar baik dan menghargai sesama, di sanalah wujud ideal kota layak anak.