Memburu Siput-siput Terakhir hingga ke Dasar Laut
Selain menjadi makanan khas yang populer di Batam, siput gonggong juga menjadi sumber penghidupan bagi nelayan di pesisir. Agar gonggong dapat terus dinikmati, ancaman eksploitasi berlebih perlu diwaspadai.
Laki-laki bertubuh gempal, Yupen (35), berjalan ke arah laut. Ia menyeret sebuah kotak stirofoam dengan tali yang terikat ke perutnya. Orang itu terus berjalan ke tengah laut sampai air hampir menyentuh hidungnya.
Yupen kemudian memasang kacamata renang dan menghirup udara banyak-banyak dari mulut sampai pipinya mengembang sebesar bakpao. Lalu dengan gesit ia menukik ke dasar laut.
Yang tersisa di permukaan tinggal kotak stirofoam yang terikat dengan tali ke perut Yupen. Kotak itu bergerak ke kanan dan kiri, maju dan mundur, kadang berputar-putar. Hal itu berlangsung sampai kira-kira 1,5 menit.
Akhirnya, Yupen muncul ke permukaan sambil menunjukkan tangkapannya, siput gonggong (Laevistrombus turturella). Ia melemparkan siput sebesar jempol orang dewasa itu ke dalam kotak stirofoam.
”Nyelam lagi pungut satu, lalu nyelam pungut satu lagi. Begitu terus sampai sore nanti," kata Yupen, Sabtu (15/4/2023) pagi.
Menangkap gonggong dari dasar laut menjadi profesi utama bagi sebagian warga di pesisir Kampung Monggak, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Yupen telah bekerja sebagai nelayan gonggong sejak usia remaja.
”Saya enggak sekolah, tetapi saya bisa menyekolahkan anak berkat gonggong,” ujarnya.
Baca juga : Orang Darat Terakhir, Sinyal Punahnya Suku Asli di Pulau Batam
Setiap hari, Yupen menyelam dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Selama tujuh jam, ia bekerja hampir tanpa henti, hanya beristirahat untuk minum pada tengah hari saat panas matahari mencapai puncaknya.
Dasar laut di pesisir Kampung Monggak merupakan kombinasi pasir dan lumpur yang ditumbuhi lamun (seagrass). Padang lamun di kedalaman laut 1-4 meter itu menjadi habitat gonggong.
Gonggong merupakan makanan khas warga Kepri. Cara memasak gonggong tinggal direbus dalam air mendidih. Bisa juga ditambah jahe dan serai untuk menghilangkan bau amis. Gonggong yang telah direbus itu lazimnya dinikmati dengan dicocol sambal.
Menurut Yupen, menangkap gonggong sebenarnya mudah saja, tinggal dipungut dari dasar laut. Namun, bagi orang yang belum berpengalaman, hal itu tidak semudah yang dibayangkan.
Cangkang gonggong tertutup lumpur sehingga sulit dilihat oleh mata yang tidak berpengalaman. Kata Yupen, triknya adalah saat menyelam jangan terlalu dekat dengan dasar laut agar lumpur tak mengepul dan membuat mata sulit melihat.
Selain itu, tantangan lain saat menangkap gonggong adalah bahaya ikan lepu (Synanceia verrucosa). Apabila menginjak ikan dengan sirip berduri itu, kaki nelayan akan lebam dan terasa amat nyeri hingga berminggu-minggu.
Oleh karena itu, nelayan di Kampung Monggak memakai sepatu karet agar terlindung dari ikan beracun itu. Sepatu karet yang dimaksud bukan sepatu katak seperti yang dikenakan penyelam profesional, melainkan hanya alas kaki sederhana yang biasa dipakai juga oleh petani di hutan atau di pegunungan.
Baca juga : Upaya Warga Batam Menjaga Mangrove Berbuat Penghargaan Desa Wisata
Berkurang
Dalam satu hari, Yupen bisa menangkap lebih kurang 200 ekor gonggong atau 5-7 kilogram (kg). Siput laut yang terkumpul itu lalu dijual ke pengepul dengan harga Rp 20.000 per kg.
”Sekarang gonggong semakin berkurang. Dulu satu minggu bisa dapat 60-70 kg, tetapi sekarang cuma 30-40 kg," ucapnya.
Hal senada juga dikeluhkan nelayan lain, Halim (40). Halim mengatakan, dulu gonggong bisa dengan mudah ditemukan di bawah rumah-rumah panggung warga yang berdiri di atas laut. Namun, kini ia merasa gonggong semakin menjauh ke tengah laut.
”Saya sekarang kalau cari gonggong harus dayung sampan dulu ke Pulau Kalok (sekitar 2 km dari Kampung Monggak), baru menyelam di sana. Kalau di dekat-dekat sini sekarang sudah agak jarang,” katanya.
Ia menambahkan, gonggong yang ditangkap nelayan pun kini ukurannya semakin kecil. Yang tadinya seukuran jempol orang dewasa, kini kebanyakan gonggong yang berhasil ditangkap hanya seukuran jari kelingking.
Budidaya masih sulit dilakukan karena sejumlah hal tentang gonggong masih menjadi misteri.
Secara terpisah, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Perikanan dan Budidaya Laut (BPBL) Batam Ikhsan Kamil, Senin (1/5/2023), mengatakan, banyak nelayan mengeluh semakin berkurangnya gonggong di pesisir Batam. Upaya budidaya pernah dicoba, tetapi tidak berhasil.
”Dulu BPBL Batam pernah mencoba pembesaran gonggong. Gonggong kecil diambil dari laut untuk dibesarkan tempat kami. Namun, usaha itu gagal karena kami tidak tahu gonggong itu makanannya apa,” ujar Ikhsan.
Baca juga : Mata Lembu hingga Kelapa Ijo, Ragam Kuliner Jabar Selatan
Pengajar Program Studi Budidaya Perikanan di Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muzahar, mengatakan, sebenarnya gonggong dapat berkembang biak dengan amat cepat. Satu induk gonggong dapat bertelur hingga 100.000 butir. Tingkat menetas telur gonggong juga terbilang tinggi, yakni sekitar 90 persen.
Meskipun gonggong bisa berkembang biak dengan amat cepat, permintaan konsumsi gonggong yang tinggi akhirnya tetap membuat populasi hewan itu menurun. Menurut Muzahar, hal ini tak hanya terjadi di Batam, tetapi juga di banyak daerah lain di Kepri.
Selain itu, masalahnya juga belum ada budidaya, pemijahan, dan pembesaran, gonggong di Kepri. Budidaya masih sulit dilakukan karena sejumlah hal tentang gonggong masih menjadi misteri.
”Salah satu yang belum diketahui adalah apa sebenarnya makanan larva gonggong. Ukuran larva itu sangat amat kecil, sekitar 209 mikrometer,” katanya .
Menurut Muzahar, yang kini paling mungkin dilakukan untuk menghindari eksploitasi gonggong secara berlebih adalah menggunakan konsep penangkapan maksimum lestari. Nelayan disarankan hanya menangkap gonggong yang ukurannya lebih besar dari indukan.
Indukan gonggong diketahui besarnya berkisar 6,3-6,7 sentimeter (cm). Dengan pembatasan ukuran tangkap tersebut diharapkan gonggong dewasa dapat berkembang biak sebelum ditangkap dan dikonsumsi warga.
”Biar alam yang menyediakan makanan dan membesarkan gonggong. Manusia tinggal membatasi diri untuk tidak menangkap dengan terlalu serakah. Itu satu-satunya yang bisa dilakukan sekarang,” ucap Muzahar.
Baca juga : Geliat Wisata dan Batik Mangrove Pangkal Babu