Orang Darat Terakhir, Sinyal Punahnya Suku Asli di Pulau Batam
Suku Orang Darat, yang merupakan penduduk asli di Batam, jumlahnya kini tinggal lima orang. Kepunahan suku bangsa proto-Melayu itu telah di depan mata.
Seorang laki-laki berumur sekitar 60 tahun, keluar dari dalam hutan. Sebelah tangannya menggenggam kapak panjang. Kulitnya legam, wajahnya ditumbuhi kumis dan janggut tipis.
Pak tua itu memandang gugup kepada tiga orang asing yang telah menunggu di pinggir hutan. Sorot matanya memancarkan ketakutan. Ia kemudian duduk di tanah dan menunduk.
”Pak Lamat, jangan takut. Tiga orang ini wartawan, mereka cuma mau nanya-nanya soal suku asli,” kata Bakti (55) berusaha menenangkan pak tua yang ketakutan itu, Sabtu (18/2/2023) sore.
Bakti adalah Ketua RT 003 RW 001 Kelurahan Rempang Cate di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Sebelumnya, ia menawarkan diri untuk mengantar Kompas menemui Lamat yang dikenal warga sekitar sebagai ”orang asli”.
”Orang asli biasanya lari ke hutan kalau ada orang asing datang. Harus didampingi orang yang sudah mereka kenal baru bisa jumpa,” ujar Bakti.
Lamat tinggal di Kampung Sadap yang terpisah cukup jauh dari permukiman lain di Kelurahan Rempang Cate. Itu adalah permukiman suku Orang Darat. Mereka etnis asli Batam yang kini di ambang punah.
Setelah mendengar penjelasan Bakti, Lamat bersedia menerima Kompas untuk bermalam. Gelap telah mendahului saat rombongan tiba di rumah Lamat.
Pelita harus segera dinyalakan karena tak ada jaringan listrik di sana. Ironis mengingat tempat itu jaraknya hanya sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Batam yang gemerlap.
Lamat tinggal sendiri di rumah panggung yang terbuat dari kayu. Ia tak memiliki anak, sedangkan istrinya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu.
”Saya baru bisa tenang beberapa hari ini. Sebelumnya keingat dia terus,” kata Lamat dengan agak terbata karena harus berpikir keras saat berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Istri Lamat, Yangna, mengidap kebutaan, tak lama setelah mereka menikah. Meskipun buta, kata Lamat, mendiang istrinya bisa beraktivitas dengan mandiri.
”Dulu, kalau lagi potong kayu di hutan rasanya selalu pengin cepat-cepat pulang. Kalau malam begini kami suka ngobrol,” ujarnya sambil memalingkan wajah dari cahaya api untuk menyembunyikan air mata.
Nomaden
Lamat bercerita, dulu suku Orang Darat tidak hidup menetap seperti sekarang. Saat hutan di Pulau Rempang masih luas, mereka hidup secara nomaden atau berpindah-pindah menyesuaikan ketersediaan pangan di sekitarnya.
”Rumah ayah saya dulu atapnya dari daun dan alasnya dari ranting pohon. Tak ada dinding. Jadi mudah kalau mau pindah,” kata Lamat.
Hanya ada segelintir penelitian yang membahas suku Orang Darat. Salah satunya adalah riset etnogafi dan linguistik oleh peneliti asal Jerman bernama Hans Kahler.
Kahler melakukan penelitian di Pulau Batam dan Pulau Rempang pada Juli-September 1939. Saat itu ia menemui 13 Orang Darat di Pulau Batam dan 17 Orang Darat di Pulau Rempang.
Menurut Kahler, suku Orang Darat merupakan pemburu yang ulung. Kebanyakan memelihara anjing dan memiliki senjata sumpit serta tombak. Mereka mengonsumsi hampir semua jenis hewan di hutan, kecuali ular berbisa.
Laki-laki dan perempuan suku Orang Darat sama-sama gemar mengunyah buah pinang, merokok, minum tuak, dan mengisap candu. Bahan-bahan itu mereka dapat dari pedagang China yang dibarter dengan rotan dan hasil hutan lainnya.
Selain itu, suku Orang Darat menggunakan bahasa yang berbeda dengan orang Melayu. Misalnya, mereka menggunakan istilah ”amo” untuk menyebut diri sendiri, lain dengan orang Melayu yang memakai ”saya”. Konsonan ”d” dan ”g” juga dilafalkan dengan amat dalam, tidak seperti orang Melayu yang melafalkannya dengan samar dan amat cepat.
Hampir punah
Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, Sabtu (25/3/2023), mengatakan, populasi Orang Darat terus menyusut setelah dimukimkan oleh pemerintah pada 1970-an. Daya hidup mereka surut seiring menyusutnya hutan di sekitar tempat tinggal mereka.
Permukiman suku Orang Darat saat ini di Kampung Sadap adalah sisa restlement (program permukiman) oleh pemerintah pada 1974. Saat itu, ada 19 jiwa di kampung tersebut. Tiga puluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut menjadi 13 jiwa (Kompas, 18/7/2005).
Pada 2023, suku Orang Darat di Kampung Sadap tinggal tersisa lima orang. Selain Lamat, ada Senah yang merupakan mertua Lamat; Opo yang adalah adik Lamat; serta Tongku dan Baru keponakan Lamat. Lima orang itu tak mengetahui berapa umur mereka karena tak bisa baca dan tulis.
Dari lima Orang Darat yang tersisa itu, hanya Tongku yang memiliki keturunan. Ia menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki tiga anak.
Menurut Dedi, penyebab berkurangnya populasi Orang Darat itu salah satunya disebabkan oleh penyakit malaria dan beri-beri. Hal serupa juga dicatat Kahler dalam penelitiannya pada 1936.
Selain itu, kata Dedi, penyebab lain adalah kecenderungan Orang Darat yang bermigrasi setelah menikah dengan suku lain. ”Mayoritas lalu menyebut diri sebagai suku Melayu, enggan mengakui akarnya sebagai Orang Darat,” ucapnya.
Baca juga: Orang Darat, Suku Asli Batam yang Nyaris Punah
Terabaikan
Menurut Dedi, menyusutnya hutan di Pulau Rempang membuat suku Orang Darat kini semakin terdesak. Mereka tak lagi dapat menggantungkan hidup kepada hutan, sedangkan beralih ke cara hidup modern juga bukan perkara mudah.
”Hilangnya hutan membuat suku Orang Darat yang dulu mampu hidup dari alam, kini jadi amat bergantung pada bantuan orang lain,” ujar Dedi.
Lamat ingat betul, setelah hutan di Pulau Rempang nyaris habis, Orang Darat mencoba bertahan dengan mencari makan di laut. Namun, mereka hanya pandai sekadar menangkap ketam dan ikan dengan bubu di pesisir.
Suku Orang Darat di Kampung Sadap hanya memiliki satu sampan kayu yang digunakan secara bergantian. Sampan itu adalah salah satu dari dua sampan bantuan yang diberikan pembaca Kompas pada 28 Juli 2005.
Anggota Komisi II DPRD Batam, Rahmad, Minggu (5/3/2023), mengatakan, karena jumlahnya amat sedikit, keberadaan suku Orang Darat jarang diketahui orang. Ia mendesak Pemerintah Kota Batam lewat Dinas Sosial agar segera membuat rancangan kebijakan untuk memberdayakan Orang Darat yang tersisa di Kampung Sadap.
”Hutan di Pulau Rempang sudah amat menipis, padahal hidup suku Orang Darat bergantung pada hutan. Pemerintah harus turun tangan membantu mereka,” ujar Rahmad.
Kepala Dinas Sosial Kota Batam, Hasyimah, Rabu (29/3/2023), mengatakan, mayoritas suku Orang Darat melakukan perkawinan dengan orang dekat. Hal itu berdampak buruk terhadap kesehatan keturunan mereka. Inilah salah satu sebab yang diduga memicu berkurangnya populasi suku Orang Darat.
Sebenarnya, dalam penelitian Kahler disebutkan, dulu suku Orang Darat masih bisa kawin dengan orang yang tidak sedarah karena mereka hidup dalam sejumlah kelompok yang berbeda di Pulau Batam dan Pulau Rempang. Namun, itu tak bisa dilakukan lagi sejak semua Orang Darat dimukimkan oleh pemerintah di Kampung Sadap pada 1974.
Hasyimah menambahkan, habisnya hutan di Pulau Rempang juga berdampak kepada suku Orang Darat yang kini kehilangan sumber pangan. Namun, di lain sisi, suku Orang Darat juga menolak tinggal di perkampungan bersama warga lain.
”Pemerintah setempat, camat dan lurah, selama ini sudah menjaga dan membantu suku Orang Darat. Mereka juga telah dimasukkan dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial di Kota Batam,” kata Hasyimah.
Dedi menilai, punahnya suku Orang Darat bakal menjadi kehilangan amat besar bagi sejarah Kepri. Suku Orang Darat, seperti juga suku Orang Laut dan suku Akit, adalah suku bangsa proto-Melayu yang membentuk kebudayaan Melayu di Kepri saat ini.
”Setiap hari (pemerintah daerah) bicara tentang Kepri sebagai bunda tanah Melayu. Namun, yang nyata di depan mata, seperti suku Orang Darat yang nyaris punah, justru tidak diperhatikan. Itu yang menurut saya amat ironis,” ucap Dedi.
Baca juga: Suku Laut, Anak Tiri di Tanah Air Sendiri