Suku Laut, Anak Tiri di Tanah Air Sendiri
Sebagai masyarakat maritim, suku Laut sangat bergantung pada ekosistem pesisir yang lestari. Ironis, pembangunan pesisir di Kepulauan Riau yang masif justru membuat mereka semakin terasing di Tanah Air. sendiri.
Pulau Kojong sangat indah. Rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu berdiri di pinggir pulau kecil yang berpasir putih. Rumput ilalang dan bunga bugenvil tumbuh subur di tepi pantai mengelilingi rumah warga.
Suasana damai di Pulau Kojong sangat kontras dengan pemandangan pulau di seberangnya, Pulau Lingga. Hanya dipisahkan selat sempit yang lebarnya beberapa ratus meter saja, alat-alat berat sedang lalu lalang mengeruk pasir kuarsa.
Pulau Kojong terletak di Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Masyarakat yang tinggal di pulau itu adalah Suku Laut, penduduk asli yang dulu hidupnya berpindah-pindah mengembara dengan sampan dayung.
Namun, warga Suku Laut di Pulau Kojong sudah tak lagi hidup mengembara. Sekitar 20 tahun lalu, mereka mendapat rumah bantuan dari pemerintah. Kini, mereka menetap di pulau kecil yang luasnya lebih kurang tiga kali lapangan bola itu.
Sore itu, salah satu warga Pulau Kojong, Yusuf, tengah bersiap melaut untuk menangkap ikan. Ia membawa beberapa helai senar yang telah diikat mata pancing menuju ke pompong (kapal kayu bermesin) yang ditambatkan di tepi pulau.
”Sudah tiga hari, saya cuma dapat satu ekor ikan. Itu pun jenis ikan yang tak dapat dimakan,” katanya, Kamis (21/7/2022).
Hujan yang turun beberapa hari belakangan membuat limbah tambang kuarsa di pulau seberang hanyut ke perairan Pulau Kojong. Pencemaran itu membuat ikan pergi menjauh dari perairan sekitar.
”Kalau hujan, lumpur hitam dari seberang hanyut ke sini. Terus air laut warnanya berubah jadi kuning. Kalau sudah begitu lama sekali hilangnya,” ujar Yusuf.
Warga lain di Pulau Kojong, Usman, menambahkan, limbah lumpur atau ”tailing” dari tambang pasir kuarsa itu juga menyebabkan ikan di keramba banyak yang mati. Padahal, keramba itu isinya ikan yang harganya mahal.
”Keramba kami itu isinya ikan sunu (sejenis kerapu). Harga ikan itu per kilogram Rp 230.000. Yang mati jumlahnya sudah ratusan, bayangkan banyak sekali kami rugi,” tutur Usman.
Karpet merah
Selain di Kecamatan Senayang, tambang pasir kuarsa juga banyak terdapat di sekitar Pulau Singkep. Data Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Lingga menunjukkan, pertambangan pasir menyumbang Rp 19,5 miliar bagi pendapatan asli daerah (PAD) pada 2021.
Jumlah tersebut terbilang sangat besar mengingat total PAD Kabupaten Lingga pada 2021 yang jumlahnya hanya 62,9 miliar. Maka tak heran bila kemudian pemerintah memberi karpet merah kepada pengusaha-pengusaha tambang.
Saat ini, pemerintah tengah berencana memberi lampu hijau kepada pengusaha untuk mengeruk pasir kuarsa di Kecamatan Lingga Utara. Hal ini memicu penolakan keras dari warga Suku Laut di sekitar lokasi tersebut.
”Kalau tambang pasir dikasih masuk, ikan pasti hilang. Sudah banyak suku Laut jadi lapar karena tambang pasir, kami tak mau seperti itu,” kata Tinong, warga Suku Laut di Pulau Linau, Kecamatan Lingga Utara.
Sebelumnya, warga Suku Laut di Pulau Linau telah menolak ganti rugi Rp 700.000 per bulan yang ditawarkan perusahan tambang. ”Laut itu seperti ibu bagi Suku Laut, tak bisa laut kami diganti dengan uang,” ucap Tinong.
Berebut ruang
Selain terpengaruh aktivitas tambang pasir, periuk nasi Suku Laut juga terenggut oleh penangkapan ikan yang berlebih. Kehadiran kapal-kapal ikan berukuran besar membuat suku Laut semakin sulit bersaing menangkap ikan.
Untuk menangkap ikan, Suku Laut hanya mengandalkan satu jenis alat tangkap, yakni serampang atau tombak. Mereka hanya menangkap ikan dalam jumlah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan makan satu hari.
Menurut ketua kelompok suku Laut di Kampung Air Bingkai, Akub, dulu Suku Laut terkenal pandai menentukan tempat dan waktu menangkap ikan. Namun, kini sekadar memiliki pemahaman soal siklus alam saja tak cukup untuk membantu mereka bertahan hidup.
”Dulu Suku Laut memang ternama pandai cari ikan, tetapi sekarang sudah kalah sama orang-orang darat. Alat mereka besar dan canggih, sedangkan yang kami punya cuma serampang," kata Akub.
Selain menangkap ikan, sebenarnya Suku Laut kadang-kadang juga pergi ke darat untuk berburu babi dan kancil. Namun, alih fungsi hutan di pulau-pulau kecil menjadi permukiman penduduk membuat Suku Laut sulit berburu.
”Kalau begini terus, kerja di laut sulit dan di darat pun sulit, mau makan apa kami,” kata Aan, salah satu warga Suku Laut di Kampung Air Bingkai.
Baca juga: Pengembara Laut yang Dipaksa ke Darat
Kelestarian laut
Sebagai masyarakat maritim, Suku Laut sangat bergantung kepada ekosistem pesisir dan laut yang lestari. Ketergantungan itu semakin nyata setelah mereka mengikuti program pemerintah untuk hidup secara menetap.
Peneliti sea nomads di Universitas Chulalongkorn, Thailand, Wengki Ariando, mengatakan, setelah menetap, wilayah jelajah suku Laut menjadi terbatas. Kini, mereka telah meninggalkan cara hidup nomadik yang berpindah menyesuaikan musim dan ketersediaan sumber daya alam.
”Setelah Suku Laut hidup menetap, mereka hanya bisa mengambil hasil laut dari sekitar lokasi mereka bermukim. Mereka tak lagi bisa berpindah bila daya dukung lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka menurun,” kata Wengki, Sabtu (30/7/2022).
Itu sebabnya, pada Minggu (17/7/2022), sebanyak 60 perwakilan Suku Laut dari Lingga dan Batam bertolak ke ibu kota Provinsi Kepri di Tanjung Pinang. Mereka mengadu kepada Gubernur Kepri soal munculnya sejumlah tambang pasir kuarsa yang mengganggu ekosistem laut dan pesisir.
Warga Suku Laut meminta pemerintah mengakui perairan sekitar tempat tinggal mereka menjadi wilayah adat. Mereka ingin perairan itu dilindungi dari kegiatan-kegiatan yang mengganggu kelestarian laut.
Menanggapi hal itu, Gubernur Kepri Ansar Ahmad menegaskan, pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir, termasuk Suku Laut. Ia berjanji akan segera mendorong terbitnya peraturan daerah mengenai perairan adat seperti yang diminta warga Suku Laut.
Namun, Ansar menilai perlu dilakukan kajian akademis secara teliti sebelum perda mengenai perairan adat itu dibuat. ”Beri kami waktu untuk mencari referensi hukum agar jangan sampai setelah ada penetapan wilayah adat malah terjadi konflik lain,” kata Ansar, Senin (18/7/2022).
Ratusan kilometer dari Kantor Gubernur, para perempuan Suku Laut di Pulau Kojong menatap penuh tanya ke beberapa pompong yang tampak samar pada sore itu. Akankah suami mereka membawa pulang tangkapan yang cukup? Apakah hari ini laut masih bisa memberi sepotong lauk untuk disantap?
Baca Juga: Ekosistem Pesisir Rusak, Suku Laut di Kepri Kekurangan Bahan Pangan