Ekosistem Pesisir Rusak, Suku Laut di Kepri Kekurangan Bahan Pangan
Kerusakan ekosistem laut membuat komunitas adat suku Laut di Kepri kesulitan bertahan hidup menghadapi tantangan cuaca ekstrem dan pandemi Covid-19 yang datang secara bersamaan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dan gelombang laut yang tinggi pada musim angin utara membatasi akses warga suku Laut terhadap dunia luar di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Tantangan semakin berat karena ekosistem pesisir tidak lagi bisa diandalkan menopang kebutuhan pangan akibat kerusakan alam yang semakin parah.
Dua perahu sampan beratap daun nipah datang ke Daik, pusat pemerintahan Lingga, Senin (1/2/2021). Pagi itu, Puase (54) membawa dua istri serta tiga anaknya. Mereka lapar dan ingin membeli sagu, tetapi tidak memiliki uang.
Tidak tahu harus berbuat apa, Puase lalu datang mengadu kepada Ketua Yayasan Kajang Densy Fluzianti. Selama enam tahun terakhir, perempuan berusia 46 tahun itu dikenal sebagai aktivis sosial dan pegiat kesetaraan pendidikan bagi komunitas adat di Lingga.
Selama pandemi Covid-19, kapal-kapal semakin jarang menyambangi tempat tinggal Puase di Pulau Air Bingkai, Kecamatan Temiang Pesisir. Hal ini membuat warga sulit membeli bahan makanan dan menjual hasil tangkapan kala melaut.
Saat ini, kondisi bertambah parah karena warga juga sulit melaut selama musim angin utara. Pada periode Desember hingga Maret, ketinggian gelombang bisa mencapai 4 meter atau lebih. Beberapa waktu lalu, perahu Puase hampir saja terbalik dihantam ombak.
Menurut Densy, persoalan gelombang tinggi biasanya tidak menjadi masalah karena berlangsung rutin setiap tahun. Selama musim angin utara, biasanya warga bertahan hidup dengan mencari ikan di perairan dangkal. Akan tetapi, kini pesisir tidak lagi dapat menghidupi warga Suku Laut karena ekosistemnya sudah rusak.
”Sekarang, mereka sedang susah betul. Jangankan menangkap ikan untuk dijual, buat dimakan sendiri pun kurang,” kata Densy saat dihubungi lewat telepon dari Batam.
Sebagian besar warga suku Laut di Lingga masih mengonsumsi sagu. Bahan pokok itu harganya Rp 2.500 per kilogram (kg), jauh lebih murah daripada beras yang berkisar Rp 10.000 per kg. Namun, untuk membeli sagu pun, Puase tidak memiliki uang.
Menurut Puase, bertahan hidup saat musim angin utara menjadi lebih sulit karena hutan bakau banyak yang digunduli. Hewan laut, seperti kepiting, ikut lenyap saat bakau ditebang. Akibatnya, saat cuaca ekstrem, warga suku Laut sering kekurangan makanan karena kini untuk menangkap ikan mereka harus mendayung sampai jauh.
Ironisnya, kini sebagian warga suku Laut terpaksa harus ikut menjadi buruh tebang bakau karena hal itu satu-satunya yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan uang selama musim gelombang tinggi. Mereka diupah Rp 120.000 untuk setiap ton bakau yang ditebang.
”Seharusnya mereka yang menjaga bakau, tetapi sekarang terpaksa ikut menebang. Nah, itulah dilemanya,” ujar Densy.
Di Kepri, diperkirakan ada 44 kelompok suku Laut yang jumlahnya sekitar 12.800 jiwa. Sebagian besar, 30 kelompok di antaranya, tersebar di pulau-pulau kecil sekitar Kabupaten Lingga.
Menurut Densy, pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Departemen Sosial berupaya mengubah cara hidup suku Laut. Di pulau-pulau utama Kepri, seperti Batam dan Bintan, pemerintah membangunkan rumah agar orang suku Laut bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan modern.
Namun, sampai sekarang, hal itu tidak juga berhasil membuat mereka bisa hidup beradab sesuai dengan standar pemerintah. Orang suku Laut yang dipaksa ”mendarat” oleh pemerintah itu kini justru hidup sangat miskin.
Densy mengatakan, sebenarnya yang paling dibutuhkan suku Laut bukanlah bantuan rumah dari pemerintah, melainkan pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan dan keberbedaannya sebagai suku pengembara lautan. Memaksa mereka menjalani hidup seperti orang di darat hanya akan membuat orang suku Laut semakin terpinggirkan dan terlupakan.
Tanpa adanya hak untuk diprioritaskan, wilayah hidup orang suku Laut akan terancam oleh aktivitas pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Reklamasi, alih fungsi hutan bakau, dan penangkapan ikan skala besar bisa saja menimbulkan konflik jika tumpang-tindih dengan wilayah tradisional suku Laut.