Kuah Beulangong yang Mempersatukan
Tradisi kenduri kuah beulangong di Ateuk Munjeng bukan hanya pesta menyantap makanan, tetapi juga ajang silaturahmi baik sesama warga desa sendiri maupun dengan warga desa tetangga.
Bagi warga Provinsi Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh memasak kari kambing atau sapi dikenal dengan sebutan ‘kuah beulangong’ bukan sekadar untuk menikmati kuliner semata. Kuah beulangong merupakan tradisi yang diwariskan turun-temurun menjadi momen mempererat silaturahmi dan memperkuat kesalehan sosial.
Bersama keluar matahari, Sabtu (15/4/2023), warga Gampong/Desa Ateuk Munjeng, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh telah berkumpul di meunasah (mushalla) desa.
Hari itu Gampong Ateuk Munjeng menggelar peringatan Nuzulul Quran dengan kenduri raya, masak kuah beulangong. Jadwal perayaan digeser dari 17 Ramadhan karena agar tidak beradu dengan desa-desa tetangga.
Baca Juga : Semarak Kuliner Lokal di Panggung Wisata Aceh
Tahun ini sebanyak 4 ekor sapi ukuran besar disembelih. Sapi ini sebanyak tiga ekor sumbangan dari warga yang memiliki ekonomi berlebih dan satu ekor urunan warga desa. Jika ditotalkan dengan uang kenduri kuah beulangong hari itu memakan biaya Rp 70 juta. Semuanya hasil swakelola warga desa.
Mereka berbaur tanpa ada sekat status sosial dan usia. Mengerjakan apa pun untuk menyukseskan kenduri raya itu. Beberapa orang memotong dan membersihkan daging. Di sudut lain terlihat sedang mengupas nangka untuk dijadikan sayur. Ada juga yang menata dapur dan mempersiapkan bumbu.
Semua warga yang hadir tidak ada yang berdiam mematung. Semuanya terlihat melakukan aktivitas, tetapi terlihat santai. Sambil bekerja mereka bercerita tentang apa saja, seperti politik hingga harga barang yang naik. Suasananya terasa hangat dan penuh kekeluargaan.
Namun, yang terlihat di sana hanya kaum laki-laki, baik usia muda maupun tua. Alasannya tidak elok perempuan dan laki-laki berbaur di ruang publik. Perempuan dipercaya menyiapkan menu lain di rumah.
Baca Juga: Silaturahmi Egaliter Tanpa Kepentingan
Syahrul (62), seorang pensiunan, tidak mau melewati momen masak kuah beulangong. Karena usia telah senja, dia hanya melakukan hal-hal ringan seperti memotong daging dengan pisau yang dia bawa sendiri.
Momen ini selalu membawanya ke masa lampau. Dulu saat usia masih kanak-kanak dia selalu diajak oleh ayah melihat-lihat masak kuah beulangong. Sore hari berbuka puasa bersama di meunasah dan malamnya bertadarus.
Kini saat usianya telah melewati setengah abad, Syahrul tetap ingin terlibat dalam tradisi kenduri raya kuah beulangong. ”Dulu karena penduduk tidak ramai, beulangong (belanga) tidak sebanyak ini,” ujar Syahrul.
Di antara semua yang hadir, Fajar Baizuri (29) terlihat paling sibuk. Pemuda yang baru menikah tiga bulan lalu itu dipercaya sebagai penanggung jawab atau juru masak. Bukan tanpa alasan Fajar menjadi juru masak, dia mewarisi ilmu memasak kuah beulangong dari sang ayah dan kakek. Meski usia muda, dalam perkara ini Fajar adalah pawangnya.
”Bumbunya diaduk terus ke dalam belanga,” Fajar memberikan aba-aba kepada warga.
Sebanyak 28 belanga besi ukuran besar ditaruh rapi di atas tungku dari drum besi. Bubuk kayu dijadikan bahan bakar. Butuh waktu tiga jam sampai kuah beulangong benar-benar matang.
Baca Juga: Mudik Lebaran dan Pemilu
Bumbu kuah beulangong terdiri dari rempah-rempah lokal. Fajar meracik sendiri. ”Dua hari sebelum acara saya sudah persiapkan bumbu, racikan harus pas, supaya rasanya kari enak,” kata Fajar.
Ragam bumbu yang dipakai di antaranya kelapa gongseng, kelapa parut, ketumbar, lada, cabai kering, bawang, kapulaga, dan daun kari.
Kari Aceh Besar dan Banda Aceh memiliki ciri khas warnanya lebih gelap dan terdapat kelapa kukur yang halus. ”Kuah lebih hitam karena pengaruh belanga besi, kalau pakai belanga aluminium rasanya jadi beda,” kata Fajar.
Menjelang siang, aroma kari menguar dari 28 buah belanga. Padahal, jadwal buka puasa masih panjang. Fajar hilir mudik ke belanga-belanga itu untuk mengaduk dan memeriksa masakan. Jika ada sesuatu yang kurang dia meminta warga untuk menambahnya.
Fajar belajar masak kuah beulangong sejak usia belasan dari sang ayah seorang koki, begitu juga dengan kakeknya seorang koki andal. Fajar mengatakan sejak dia kecil tradisi masak kuah beulangong selalu meriah.
”Sejak ayah meninggal tahun 2013, warga menunjuk saya menjadi juru masak. Saya hanya memakai bumbu-bumbu yang diajarkan oleh ayah. Mungkin warga sudah cocok dengan masakan ayah saya,” ujar Fajar merendah.
Tradisi kenduri kuah beulangong di Ateuk Munjeng bukan hanya pesta menyantap makanan, tetapi juga ajang silaturahmi baik sesama warga desa sendiri maupun dengan warga desa tetangga.
Keuchik/Kepala Desa Ateuk Munjeng Yusri menuturkan, kuah beulangong dibagi rata kepada 600 keluarga. Pokoknya semua warga desa mesti harus menikmati kuah beulangong.
Warga urunan sebesar Rp 75.000 per keluarga, tetapi bagi keluarga warga miskin tidak dipungut biaya. Istilahnya subsidi silang.
Pada pukul 15.00 dengan menenteng wadah warga berbondong-bondong ke meunasah untuk mengambil kuah beulangong. Yusri memastikan semuanya harus dapat bagian.
Beberapa belanga disimpan sebagai menu utama buka puasa bersama di meunasah. Bukan hanya warga sendiri, warga dari desa tetangga juga diundang untuk menikmati kuah beulangong. Selain kuah beulangong, warga juga menyumbang ragam makanan untuk berbuka puasa.
”Sudah jadi tradisi saling undang, makanya jadwal kenduri tidak boleh beradu,” kata Yusri.
Tahun lalu karena pandemi Covid-19 kenduri kuah beulangong hanya untuk warga desa sendiri. Namun, tahun ini lebih meriah karena sudah dapat kembali mengundang desa tetangga. Yusri merasa ikatan silaturahmi semakin erat.
Dalam banyak sumber disebutkan bumbu-bumbu kari kuah beulangong pengaruh dari India. Namun, setiap daerah di Aceh memiliki cita rasa yang khas. Kini kuah beulangong telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tradisi kuah beulangong tidak lekang oleh waktu. Bukan hanya sebagai santapan semata, tetapi juga membangun kebersamaan. Tidak berlebihan bila disebut kuah beulangong dapat mempersatukan.